Tema opini bareng bulan ini adalah tentang
Ekspektasi. Topiknya sangat menarik karena saya jadi bisa menganalisis sedikit terhadap buku bacaan saya. Jadi, saya mau cuap-cuap sedikit soal hasil pemikiran (cieee... kayak filsuf saja) saya yang pastinya
nggak penting banget.
Saya rasa setiap orang pasti punya ekspektasi berbeda terhadap buku yang ingin dibacanya. Tapi saya menemukan beberapa hal yang menjadi dasar saya memasang ekspektasi terhadap sebuah buku. Saya akan bahas satu-satu.
1. Cover buku
Ada kalimat terkenal yang bilang "
don't judge a book by its cover". Kata saya sih itu bohong. Bagaimanapun manusia itu kan terkadang suka dangkal juga. Penampilan itu berpengaruh besar. Siapa sih yang nggak senang lihat cowok ganteng/cewek cantik? Saya juga yakin hal pertama yang dilihat pewawancara dari orang yang datang melamar kerja adalah penampilannya dulu.
Sama kasusnya dengan
cover buku alias baju yang membungkus si buku
(iya, saya info junk banget deh). Kalau saya lagi di toko buku dan sedang iseng
browsing tanpa melihat
wishlist, saya pasti langsung mengambil buku yang
cover-nya paling menarik. Saya baca sinopsisnya dengan pikiran kalau bukunya kemungkinan isinya bagus. Padahal penampilan bisa menipu.
2. Sinopsis di belakang buku
Nah, ini yang paling penting. Sinopsis yang dimaksud bukannya
spoiler ya. Memang, saya sih nggak keberatan sama
spoiler. Apalagi untuk
historical romance dan novel-novel Harlequin. Toh, saya tahu akhirnya pasti
happy ending. Tapi sinopsis itu kadang bisa membuat saya berimajinasi dan menebak-nebak. Kira-kira ceritanya gimana ya? Eh, sepertinya tokoh utamanya menarik ya? Atau kalau dalam kasus buku misteri, siapa pembunuhnya?
Jadi, buku yang tidak punya sinopsis tidak bakal saya lirik. Kecuali kalau saya lagi rajin dan niat buka Goodreads. Saya tinggal baca review orang lain buat buku tak bersinopsis tersebut supaya saya dapat gambaran isinya tentang apa. Itulah kenapa saya suka melewati saja rak-rak buku yang memajang novel
romance terbitan Gagasmedia, Gradien, Bukune, atau penerbit apapun yang saya tahu tidak pernah pasang sinopsis di belakang bukunya. Bukan berarti saya anti baca buku terbitan mereka. Kalau kebetulan saya baca review bagus soal salah satu bukunya, saya bakal cari kok. Hanya saja buku tanpa sinopsis tidak bisa membuat saya memasang ekspektasi. Tanpa ekspektasi, saya tidak mungkin membelinya.
3. Penulis buku
Ini hanya berlaku untuk penulis yang sudah saya kenal. Misalnya, Julie Kagawa. Karena dia penulis favorit saya, pasti saya memasang ekspektasi tinggi. Saya menganggap buku apapun yang dia tulis pasti bagus. Hal ini berlaku juga sebaliknya untuk penulis yang tidak saya sukai. Tapi kebetulan Julie Kagawa hanya menulis fantasi remaja. Kalau kasusnya seperti J.K. Rowling yang menulis buku bergenre lain setelah Harry Potter, saya malah tidak bisa memasang ekspektasi apa-apa. Saya akan membaca murni karena penasaran saja. Kira-kira si J.K. Rowling yang jago banget nulis fantasi, bisa nggak ya nulis genre lain?
4. Review
Buat saya, review berarti Goodreads. Dan Goodreads buat saya adalah racunnnnnnnn. Kalau orang lain suka buka Facebook, Twitter, Path, Instagram, atau media sosial lainnya, saya buka Goodreads. Inilah kenapa
wishlist saya nambah terus dan nggak habis-habis. Biasanya saya baca
recent updates dari teman saya dulu. Lalu mulai iseng
browse lewat genre, sambung-menyambung hingga satu jam telah berlalu.
Goodreads berpengaruh besar buat ekspektasi membaca saya. Terutama rating dan review orang-orang (kalau lagi gila, saya bisa bacain semua review untuk satu buku). Saya punya beberapa teman Goodreads yang saya jadikan patokan menilai suatu buku walaupun selera saya nggak selalu sama dengan mereka. Biasanya sih kalau rating bukunya sudah di atas angka empat, sangat besar kemungkinannya buku itu ada di
wishlist saya.
5. Judul buku
Sebenarnya sih judul buku tidak terlalu berpengaruh terhadap ekspektasi saya dalam membaca. Toh, judul hanyalah sekumpulan atau sebuah kata yang mungkin tidak menjelaskan apa isi buku itu. Kecuali kalau judulnya super mencolok seperti: The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared. Saya langsung penasaran karena sepertinya isinya unik.
6. Buku yang terkenal
Buku terkenal otomatis bikin saya penasaran. Yang terkenal bagus ya, kalau terkenal jelek sih nggak bakal saya baca karena membuang-buang waktu. Tapi saya paling penasaran sama buku yang kontroversial dan penuh perdebatan karena ada yang suka banget dan ada yang benci banget sama bukunya. Saya pasti terpancing ingin tahu bagaimana pendapat saya terhadap buku itu. Apakah selera saya mayoritas atau minoritas? Tapi karena status buku itu terkenal, saya biasanya memasang ekspektasi tinggi dan saya cukup yakin bakal suka sama bukunya. Kan saya nggak terlalu rewel, selama buku itu fiksi. Saya hanya rewel kalau sudah ngomongin buku seperti apa yang bakal saya kasih lima bintang. Tiga atau empat bintang sih makanan sehari-hari.
Memangnya sejak kapan kamu makan bintang, Sab? Nangkepnya di mana? Terbang gitu? Tapi sejauh ini sih, kalau bukunya benar-benar
booming, saya biasanya selalu masuk kaum minoritas. (Contoh: Twilight dan The Fault in Our Stars) Kecuali genre fantasi dan distopia. The Hunger Games? Epik!
7. Genre
Genre juga berpengaruh dalam membangun ekspektasi. Kalau genrenya disukai, pasti ekspektasinya tinggi. Begitu juga sebaliknya. Saya juga begitu. Saya pasti lebih memilih fiksi daripada nonfiksi, karena selama ini saya tidak pernah suka membaca buku nonfiksi. Saya sudah keburu pasang ekspektasi jelek setiap kali disodorkan bacaan nonfiksi.
8. Buku yang difilmkan
Kecepatan membaca saya sangat lambat. Saya terkadang belum sempat membaca bukunya dan malah sudah nonton filmnya. Dalam kasus begini, saya pasti akan mencari bukunya dan membacanya. Dan ekspektasi saya selalu sama: buku lebih bagus dari filmnya. Kebetulan ekspektasi itu nggak pernah salah, kecuali Stardust karya Neil Gaiman. Filmnya luar biasa, bukunya... meh.
Jadi, itulah kesimpulan dari renungan saya tentang ekspektasi terhadap bahan bacaan. :)