Judul : Melbourne: Rewind (Setiap Tempat Punya Cerita #4)
Penulis : Winna Efendi
Tebal : 340 halaman
Penerbit : Gagasmedia
Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.
Review:
Sebenarnya saya agak bingung dengan pendapat saya sendiri sama novel ini. Jujur, saya nggak suka ceritanya. Endingnya tidak memuaskan dan seperti biasa saya tidak suka sama tokoh utama cewek yang diciptakan Winna. Tapi begitu saya menutup novel ini, saya merasa kehilangan.
Buku ini dibagi ke dalam empat bagian: Rewind, Pause, Play, dan Fast Forward. Setiap babnya diselipkan lirik-lirik lagu yang tidak saya kenal. Lagu-lagu unik itu adalah lagu favorit Laura dan sangat cocok menghiasi setiap bab ceritanya. Sudut pandang yang dipakai adalah orang pertama, bergantian antara Laura dan Max. Max menggunakan "gue-lo" dan Laura menggunakan "aku-kamu". Ceritanya sendiri hanya berputar sekitar kenangan akan hubungan masa lalu.
Setelah pergi lama, Max kembali ke Melbourne. Ia masih memegang harapan untuk bisa bertemu kembali dengan Laura. Kepergiannya dulu membuat mereka putus hubungan, namun Max masih mencintai sosok gadis yang dikenalnya sewaktu kuliah di kota itu.
Seiring dengan berjalannya cerita, kita dibawa ke masa lalu. Winna Efendi mengupas sedikit demi sedikit hubungan Max dan Laura dulu: mulai dari perkenalan, jadian, hingga puncak pertengkaran mereka yang berakibat putusnya hubungan mereka. Alurnya maju mundur dengan setting Kota Melbourne yang sangat menarik.
Seperti yang saya bilang di awal, saya tidak suka ceritanya. Minim konflik dan datar. Saya tidak suka sikap Laura yang terkesan setengah-setengah, maju mundur dalam keputusannya mengenai perasaan hatinya kepada Max. Bahkan Laura masih sempat tertarik pada pacar sahabatnya sendiri. Labil dan rapuh. Apalagi setelah saya mengetahui alasan putusnya hubungan mereka. Ugh.
Di sisi lain, ada Max si pemuja cahaya yang mata pencahariannya sungguh unik. Saya baru tahu ada orang yang suka menata cahaya konser. Saya cukup tersentuh setiap kali membaca narasinya mengenai Laura. Saya bisa merasakan betapa sayangnya Max pada Laura walaupun Laura bukan sosok gadis yang sempurna. Setiap kalimat yang menjelaskan kebiasaan-kebiasaan kecil Laura membuat saya memahami betapa Max sangat mengenal gadis itu. Sayangnya, perasaan itu hanya dibalas setengah saja oleh Laura. Saya mengerti kalau Laura takut disakiti lagi. Saya juga tahu perkataan Max sewaktu mereka bertengkar dulu memang agak keterlaluan, tapi menurut saya Laura terlalu lemah dan saya tidak suka orang lemah seperti itu.
Kalau cerita seperti ini ditulis orang lain, mungkin saya langsung membencinya. Tapi Winna Efendi adalah salah satu penulis yang bisa merangkai kata-katanya dengan sangat baik. Plotnya rapi, dialog-dialognya bagus dan meaningful, deskripsi tempat dan tokohnya detail serta hidup. Saya juga bingung bagaimana bisa sebuah hubungan cinta yang biasa bisa terkesan luar biasa. Pertemuan pertama Max dan Laura cuma di kampus dan entah kenapa kok kesannya kayak di mana gitu. Penjelasan pertemuan biasa itu juga sangat memorable. Terus bisa-bisanya membahas kalimat ajakan minum kopi sampai beberapa halaman dan saya malah merasa itu sangat bagus. Keren malah.
Nuansa novelnya mellow dan sendu, sekalipun tidak dramatis. Saya suka mengamati setiap kebiasaan-kebiasaan kecil Max dan Laura: minum kopi sambil bekerja bersama, bergadang sampai pagi di kedai kopi dan berburu breakfast di tempat-tempat tersembunyi setiap Sabtu pagi. Pokoknya saya cuma bisa bilang wow. Max dan Laura sangat nyata, saya bisa dengan mudah memahami karakter serta jalan pikiran mereka berdua.
Dan Winna pintar sekali memilih Kota Melbourne. Dari semua tempat di dunia, Melbourne adalah kota terfavorit saya mengalahkan semua kota indah yang pernah saya kunjungi di Eropa. Saya jatuh cinta pada Melbourne sejak pertama kali saya menginjak kaki di kota itu sekitar satu setengah tahun yang lalu. Saya punya impian ingin punya rumah di sana supaya setiap kali kangen, saya bisa langsung terbang dan main di sana. Novel ini beneran bikin saya pengen ke sana lagi.
Jadi, dengan segala macam pendapat aneh saya tentang novel ini, saya akhirnya memutuskan untuk memberi bintang empat. Bukan karena ceritanya, tapi karena Melbourne-nya, hahaha...
4/5
No comments:
Post a Comment