Thursday, 12 June 2014

Champion


Judul : Champion (Legend #3)
Penulis : Marie Lu
Tebal : 353 halaman
Penerbit : Penguin

June and Day have sacrificed so much for the people of the Republic - and each other - and now their country is on the brink of a new peaceful existence. June is back in the good graces of the Republic, working within the government's elite circles while Day has been assigned a high level military position.


Review:

Warning: Spoiler!

Sebelum saya mulai mencerocos tak terkontrol, saya akan memulai review pendapat saya tentang buku ini dengan hal-hal normal. Buku ini membuat emosi saya campur aduk dan pikiran saya dihantui buku ini berhari-hari. 

Buku ketiga ini membuka seluruhnya. Tidak hanya Amerika yang disebut, seluruh dunia disebut. Rupanya sejak es Antartika meleleh, volume air di bumi naik hingga banyak negara tenggelam dan hilang. Termasuk Indonesia sayangnya, hahaha... Antartika menjadi pusat teknologi dan kebudayaan paling utama. Sistem negara itu sangat unik, menggunakan sistem game. Ada levelnya di atas kepala masing-masing orangnya. Lucu banget! Saya suka konsep ini. Kalau kita berbuat baik, poin kita naik dan bisa naik level. Kalau kita berbuat jahat, poin berkurang. Semakin tinggi level, semakin mudah mencari pekerjaan bergaji tinggi. Jadi, kriminalitas di negara ini sangat kecil. Wah!

Colony dan Republic awalnya sudah mau gencatan senjata. Tapi virus yang menyebar di Colony membuat Republic menjadi tersangka utama. Mereka menginginkan obat virus itu, namun sayangnya Republic tidak memilikinya. Dalam keputusasaan, Anden meminta bantuan militer dan teknologi dari Antartika. 

Intinya, buku ini penuh dengan intrik dan perang. Kita juga dipertanyakan: apakah Colony dengan sistem korporasinya lebih baik dari Republic yang menggunakan kekuatan militer? Semua kejadian di sini membuat saya kasihan dengan tokoh-tokohnya. Belum lagi endingnya yang super epik!!

Oke, setelah saya mengungkapkan pendapat saya dengan normal, saya mau mencerocos. Pokoknya asal tahu saja, saya suka sekali buku ini hingga mulut saya pengen ngomong terus soal buku ini. Jadi abaikan saja komentar selanjutnya yang sangat spoiler.

Begini. Saya kalau baca buku, saya lebih memperhatikan karakternya daripada ceritanya sendiri. Selain itu, saya suka sekali tokoh yang kasihan dan tragis. Apalagi yang kesepian. Itu sebabnya saya suka sama June. Dia tokoh paling kasihan yang pernah saya baca di buku distopia. Dia sudah tidak punya keluarga, kecuali anjing milik kakaknya. Satu-satunya teman yang posisi dan latar belakangnya cukup mirip dengannya adalah Anden, namun cowok itu punya tanggung jawab sebuah negara. June mencintai Day dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk cowok itu karena memang hanya Day yang dimilikinya. Tapi Day berbeda darinya. Day berasal dari keluarga miskin dan masih punya seorang adik juga Tess yang menemaninya. Tanpa June, Day masih bisa hidup. Apalagi masyarakat menyukai Day. Mary Sue dalam bentuk cowok, kasarnya. Belum lagi Day masih memiliki ganjalan di hatinya mengenai June. Setiap kali ia melihat June, dia teringat pada pembunuhan ibu dan kakaknya. Tanpa sadar ia menyalahkan June atas kemalangannya. Egois, betul. Tapi saya jadi makin suka sama June. Saya memang aneh =.=

Lalu bayangkan. Setelah bercinta dengan June untuk pertama kalinya, Day pergi ke rumah orang tuanya yang dulu dan menangis di sana. June melihatnya setelah membuntuti Day. Kejam!! Seharusnya Day bisa menahan diri agar tidak membenci dirinya sendiri karena mencintai June. Kasihan June, padahal semuanya bukan salah June sepenuhnya. 

Di akhir, Day tertembak dan hampir mati. Dokter berusaha menyelamatkan Day sekaligus mengoperasi tumor di kepalanya. June menunggui Day sadar sampai berbulan-bulan tanpa berani beranjak pergi. Tapi apa yang didapatkannya di akhir? Day membuka mata dan tidak mengenali June. Memori Day hilang sampai sejauh sebelum bertemu June. Teringat akan tangisan Day dulu, June memutuskan untuk membiarkan Day melupakannya supaya Day tidak perlu menderita. Dia menjauh dan mengamati Day yang akhirnya pergi ke Antartika bersama adiknya. Day dan Eden pergi dengan diiringi elu-elu masyarakat yang menganggap Day seorang pahlawan. Sementara itu, June menangis sendirian di apartemennya. 

Epilog buku ini adalah epilog terkeren dalam sejarah baca saya. Singkat namun bikin saya nangis sakit hati banget, jleb!! June hidup sendirian bersama anjingnya selama bertahun-tahun dan Day tidak pernah hilang dari ingatannya. Dia akhirnya menerima Anden sebagai pacarnya selama beberapa tahun sebelum menyerah dan putus karena tidak bisa melupakan Day. Anjingnya juga akhirnya mati dan dia sendirian tinggal di apartemennya. How lonely... Day tidak pernah sekalipun mencarinya karena pria itu tidak ingat apa-apa. Semua luka masa lalu hanya June seorang yang menanggungnya. 

Di hari ulang tahunnya yang ke-27, June mendapat kabar kalau Day dan Eden kembali dari Antartika untuk bekerja sebagai wakil intelijen Antartika. Demi dirinya sendiri, June pergi ke stasiun kereta api. Ia hanya ingin melihat Day dari jauh (Oh, man... Why are you so pitiful, June?). Day sudah jadi pria dewasa yang sangat berkharisma. June menangis dalam diam. Lalu Day melihatnya dengan sorot mata tenang tanpa rasa kenal. Tidak ada kepedihan dan penderitaan masa lalu, waktu telah menyembuhkan semuanya. Dan entah dari mana... Day seakan merasa pernah bertemu dengan June. Mereka berkenalan lagi dari awal, seperti angan-angan Day dulu saat sudah mengenal June. Seandainya mereka berkenalan dalam kejadian yang berbeda, apakah segalanya akan berbeda? 

Saya beneran nangis, senangis-nangisnya. Bittersweet. Dan June!!! Akhirnya kau mendapatkan kebahagiaan setelah sekian tahun lamanya. Huaaaa....

Sudahlah. Intinya buku ini epik dan sudah jelas buku favorit saya banget.

Seri Legend:
1. Legend
2. Prodigy
3. Champion

5/5

No comments:

Post a Comment