Sunday, 14 December 2014

Wang Si Macan


Judul : Wang Si Macan (House of Earth #2)
Penulis : Pearl S. Buck
Tebal : 360, 344 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Wang si Macan makin berkuasa. Dengan penuh nafsu dan didorong oleh ambisinya yang besar, dia memperluas daerah kekuasaannya, demi cita-citanya untuk menjadi Kaisar Cina. Dengan sopan, dengan akal, dan kalau perlu dengan membunuh siapa pun yang menghalanginya.

Tapi kekuasaan, harta berlimpah, serta ribuan serdadu dan rakyat yang taat padanya tak membuatnya puas. Ada yang hilang dari dirinya---sesuatu yang rasanya takkan pernah bisa diraihnya kembali sejak ayahnya mengambil Pear Blossom, gadis yang dicintainya, sebagai gundik ayahnya.

Lalu dia menemukan wanita itu. Wanita cantik menarik yang tak jelas asal-usulnya, bekas gundik Leopard, kepala penyamun yang mati di tangannya. Wang si Macan tergila-gila pada wanita itu. Dia tak peduli lagi pada ambisinya. Padahal wanita itu berhati culas seperti serigala....


Review:
Buku lama ini saya temukan di lemari buku Mama saya. Kebetulan saya suka sama buku pertamanya yang berjudul "Bumi yang Subur" (The Good Earth), jadi saya pun memutuskan untuk membaca lanjutannya. 

Di buku pertama, Wang Lung si petani sudah menjadi orang kaya dan dihormati. Di buku kedua ini, cerita dimulai dengan kematian Wang Lung dan pembagian warisan. Tanah-tanah miliknya dibagi tiga kepada anak laki-lakinya: Wang si Tuan Tanah, Wang si Saudagar, dan si bungsu Wang si Macan. Dua selir Wang Lung juga mendapat bagian. Dari semua orang yang mendapat warisan, hanya si selir muda Pear Blossom yang paling baik dan menghargai kenangan Wang Lung.  Pear Blossom merasa berhutang pada kebaikan Wang Lung semasa petani itu masih hidup. Ia pun memutuskan tetap tinggal di rumah kecil di tengah sawah bersama anak perempuan cacat milik Wang Lung. Setiap minggu ia rajin mengunjungi makam Wang Lung dan mendoakan arwah almarhum, tidak seperti anggota keluarga yang lain.

Judul asli buku ini adalah "Sons" yang berarti menceritakan ketiga putra Wang Lung. Karena Wang Si Macan yang paling dominan, novel terjemahannya memakai namanya sebagai judul. Tapi cerita dalam buku ini lebih kompleks dari sekadar menceritakan ambisi Wang Si Macan untuk menjadi kaisar. Jadi, saya akan membahas satu-satu nasib anak Wang Lung tersebut.

Anak sulung Wang Lung dijuluki Wang si Tuan Tanah karena ia memang hanya bekerja sebagai penyewa tanah saja. Setiap hari ia hidup berfoya-foya dengan berjudi dan main perempuan. Sementara itu, istrinya sendiri sangat sombong dan gila hormat. Istrinya itu senang menyumbang ke kuil-kuil demi dipandang baik, padahal di belakang ia selalu menjelek-jelekkan orang lain. Kemalasan Wang si Tuan Tanah dalam mengurus tanah warisannya membuat dirinya sering ditipu oleh petani-petaninya. Selain itu, ia menjual sedikit demi sedikit bagian tanahnya demi memenuhi gaya hidupnya yang berlebihan. 

Anak kedua Wang Lung terkenal sebagai Wang si Saudagar. Ia adalah kebalikan kakaknya. Ia sangat pelit dan penuh hitungan. Ia dan istrinya yang tidak terpelajar hidup dengan sangat sederhana sekalipun mereka punya banyak uang. Wang si Saudagar sangat licik dan kejam kalau sudah menyangkut uang sehingga banyak orang benci padanya. Tapi kekuasaannya memang besar dalam hal perdagangan. 

Dari ketiga putra Wang Lung, memang hanya Wang si Macan yang paling mending. Dia adalah seorang prajurit yang idealis. Ia yang awalnya mengabdi setia pada seorang kapten hebat mulai merasa kecewa saat kapten tersebut tidak lagi berperang merebut kekuasaan demi mewujudkan negara yang lebih baik. Setelah puas dengan kemenangan kecil yang didapatnya, kapten  tersebut malah berubah malas dan hidup berfoya-foya. Itulah awalnya, Wang si Macan pun memberontak dan memimpin sebagian prajurit kaptennya untuk memulai mimpinya menguasai Cina. 

Kita akan dibawa ke dalam detail kehidupan Wang si Macan yang penuh lika-liku masalah. Ia berjuang dari nol dengan mengumpulkan prajurit, mencari senjata, merebut wilayah-wilayah yang dikuasai perampok, dan mencari segala cara untuk mendapatkan uang supaya bisa menggaji prajuritnya. Yang membuat saya kesal membaca perjuangan ini adalah kebodohan dan rasa tidak tahu terima kasih dari para bawahan Wang si Macan. Para prajurit bawahan Wang si Macan tidak berpendidikan dan sangat kasar. Setiap menang perang, mereka selalu menuntut untuk bisa menjarah rakyat serta memperkosa wanita-wanita sesuka mereka. Wang si Macan yang tidak menyukai hal itu tidak bisa berbuat apa-apa demi membeli kesetiaan bawahannya. 

Wang si Macan memang terlihat kejam, tapi hatinya sangat lembut. Ia pernah mencintai Pear Blossom sehingga merasa terkhianati saat ayahnya sendiri menikahi gadis itu. Wang si Macan membenci ayahnya, termasuk masa lalunya sebagai anak petani. Ia berusaha menjadi tentara dan mendapatkan ketenaran di luar karena tidak mau berurusan dengan sawah. Selain Pear Blossom, Wang si Macan sempat jatuh cinta pada wanita yang merupakan mantan gundik perampok yang dikalahkannya. Sayangnya, wanita itu mengkhianatinya. Wang si Macan pun berubah menjadi sosok yang membenci wanita. Ia akhirnya menikah hanya demi mendapatkan anak. 

Wang si Macan memang akhirnya mendapatkan seorang putra yang disayanginya lebih dari apapun. Ia bahkan tidak memperhatikan anak-anak perempuannya. Ia memberikan segala hadiah mahal untuk putranya itu. Ia berharap bisa mewariskan kerajaan pada putranya itu. Tapi perhatian intens itu tidak berbalas. Putranya memang selalu patuh. Putranya tidak pernah menolak saat disuruh belajar berkuda, menembak, ataupun bermain pedang sekalipun jelas sekali putranya itu tidak menyukai semua itu. Tapi ironisnya, anak laki-laki kebanggaannya itu ingin menjadi petani.

Apa yang sudah saya tulis di atas hanya mewakili sebagian dari cerita di buku ini. Ada banyak kejadian dan adegan yang membuat saya gemas, sedih, kesal, dan kecewa. Sedih sekali melihat anak-anak Wang Lung merusak apa yang sudah dibangun ayahnya dengan susah payah dulunya. Saya kecewa melihat kalau ternyata harapan orang tua tidak selalu bisa diteruskan oleh anak-anaknya. Wang Lung selalu mencintai tanahnya, tanah yang membuatnya bisa menghidupi keluarganya serta menjadi kaya. Wang Lung pernah berpesan pada anak-anaknya untuk tidak menjual tanahnya. Tapi kecuali Wang si Saudagar, kedua anaknya yang lain seenaknya menjual tanah warisannya. Yang satu buat hidup berfoya-foya, yang satu buat membayari prajurit bawahannya. 

Kisah mengaduk-aduk perasaan ini diakhiri dengan ending yang sangat sempurna: bahwa pada akhirnya seorang manusia hanyalah setetes air di tengah samudra yang luas, bahwa apa yang kita anggap benar ternyata salah di mata orang lain. Wang si Macan selalu membenci perampok yang seenaknya menyiksa rakyat dan merampas apa yang rakyat miliki. Ia pikir ia berhasil memerintah dengan lebih adil, padahal ia tidak ada bedanya dengan perampok-perampok itu. Ia pikir ia pasti sangat terkenal dan dihormati karena berhasil menguasai beberapa wilayah, tapi bahkan banyak orang tidak mengenal namanya. Ia pikir menjadi prajurit lebih baik daripada menjadi petani, tapi putranya sendiri membenci profesi ayahnya dan malah ingin membantu para petani menanam padi.

Intinya, cerita ini keren sekali. Pearl S. Buck sangat ahli menciptakan tokoh-tokoh yang manusiawi, nyata, berkesan, dan juga menjengkelkan. Memang novel terjemahan ini sangat jadul bahasanya, tapi saya tidak merasa terganggu sama sekali. Saya sangat menikmati ceritanya yang sangat mengalir dan penuh kejutan. Mantap! Saya jadi pengen lanjut baca buku ketiganya. Hehe...

5/5

3 comments:

  1. Terbitan tahun berapa buku ini? kayaknya udah lama banget ya... tapi ceritanya menarik.. jadi inget cerita Putri Huang Zu (nggak tau nulisnya)

    ReplyDelete
    Replies
    1. terbitan tahun 1989... jadul banget ya hehe.... Putri Huan Zhu :) Itu favorit saya juga XP

      Delete
  2. Stoknya selalu habis di mana-mana -_-"

    ReplyDelete