Judul : Seeking Eden (Quaker Trilogy #3)
Penulis : Ann Turnbull
Tebal : 384 halaman
Penerbit : Walker
Will and Susanna Heywood, now in their thirties, move, with their four children, to Pennsylvania, where freedom of religious thought is everyone's right. This is the story of their eldest child, Josiah, who finds work with George Bainbrigg in the dock area of Philadelphia and falls in love with his daughter, Kate. When they travel to Barbados on business and stay with Friends who are harassed by local laws, Josiah is shocked to learn that Quakers have slaves and that his boss deals in the slave trade. Once they return home, Josiah and Kate try to help two slaves who are in love, Antony and Patience, to attain their freedom - knowing the risks involved may result in lives that are even more unbearable.
Review:
Buku ini jauh lebih bagus dari dua buku sebelumnya. Tokoh utamanya memang bukan Will dan Susanna lagi, tapi anak mereka, Josiah, yang sudah berusia enam belas tahun dan sedang berusaha mencari jati dirinya sendiri.
Seeking Eden menggambarkan pencarian surga atau kehidupan yang lebih baik di tanah baru. Dulu di Inggris, orang-orang yang tidak punya gelar bangsawan memang jauh lebih sulit untuk menjadi orang kaya. Mereka yang berani menantang nasib pergi merantau ke Amerika untuk mencari peruntungan. Pada masa itu, Amerika adalah negeri harapan yang sangat menjanjikan.
Josiah tadinya seorang berandalan yang hidup asal-asalan di Inggris. Ia tidak mau membantu ayahnya di toko percetakan, bermalas-malasan saat diberikan kerja magang di teman ayahnya, dan akhirnya membuat orang tuanya malu dengan bekerja sebagai tukang daging. Padahal dia punya kemampuan lebih dan sudah diajari ayahnya ilmu keuangan dan pembukuan yang jauh lebih terpelajar.
Buku ini jauh lebih bagus dari dua buku sebelumnya. Tokoh utamanya memang bukan Will dan Susanna lagi, tapi anak mereka, Josiah, yang sudah berusia enam belas tahun dan sedang berusaha mencari jati dirinya sendiri.
Seeking Eden menggambarkan pencarian surga atau kehidupan yang lebih baik di tanah baru. Dulu di Inggris, orang-orang yang tidak punya gelar bangsawan memang jauh lebih sulit untuk menjadi orang kaya. Mereka yang berani menantang nasib pergi merantau ke Amerika untuk mencari peruntungan. Pada masa itu, Amerika adalah negeri harapan yang sangat menjanjikan.
Josiah tadinya seorang berandalan yang hidup asal-asalan di Inggris. Ia tidak mau membantu ayahnya di toko percetakan, bermalas-malasan saat diberikan kerja magang di teman ayahnya, dan akhirnya membuat orang tuanya malu dengan bekerja sebagai tukang daging. Padahal dia punya kemampuan lebih dan sudah diajari ayahnya ilmu keuangan dan pembukuan yang jauh lebih terpelajar.
Saat pindah ke Pennsylvania, Josiah seperti orang lain merasa seakan diberikan kesempatan baru untuk mengubah hidupnya. Ia pun mulai serius mencari orang yang mau menerimanya sebagai pekerja magang. Ia bertemu George Bainbrigg dan akhirnya bekerja di perusahaan dagangnya.
"I felt that I had entered the Garden of Eden and found the serpent coiled at its heart."
Kalau dua buku sebelumnya membahas diskriminasi atas kaum Quaker, buku ketiga ini membahas soal perbudakan. Tidak ada diskriminasi terhadap Quaker lagi karena banyak rakyat baru di Amerika sana juga orang-orang Quaker. Awalnya Josiah merasa Amerika seperti surga di mana keluarganya tidak lagi menjadi bulan-bulanan kaum bukan Quaker. Tapi ternyata ia menemukan sistem perbudakan orang kulit hitam. Kebetulan ia berkenalan dengan Tokpa, seorang budak yang menjadi temannya. Josiah membenci sistem itu dan menantang atasannya agar tidak terlibat dalam penjualan budak.
Dalam pembelaan terhadap temannya itu, Josiah dipecat dari kerja magangnya dan tidak boleh bertemu lagi dengan Katherine, anak atasannya lagi. Bosnya berpendapat bahwa Katherine telah mendapat pengaruh jelek dari Josiah. Dengan malu, Josiah pulang ke rumah orang tuanya. Ia meminta maaf karena telah gagal lagi. Tapi ia tidak menyangka ayahnya malah menerimanya dengan tangan terbuka dan memaafkannya, bahkan setuju dengan apa yang telah dilakukan Josiah. Will mengerti bagaimana dirinya sewaktu muda dan melihat sisi itu di anaknya. Saya suka sekali sewaktu Josiah mulai memahami alasan kenapa kedua orang tuanya tetap teguh memegang kepercayaan dan menerima saja penindasan orang-orang Non-Quaker.
Menurut saya, cerita ini bagus sekali. Bahasanya beneran beautiful, yet simple. Kekurangannya hanyalah di bagian penokohan. Cuma Josiah dan Tokpa saja yang benar-benar nyata. Sisanya tidak terlalu dijelaskan. Saya bisa merasakan antisipasi dan harapan keluarga Heywood, kebingungan seorang Josiah sebagai remaja yang ingin beranjak dewasa, rasa takut dan kerinduan Tokpa pada kampung halamannya, rasa frustrasi Katherine dan Josiah atas segala hal yang tidak sesuai dengan idealisme muda mereka... Saya sangat menikmati perjalanan membaca saya di masa-masa Amerika belum merdeka itu. Saya juga senang bisa bertemu dengan Will dan Susanna lagi yang ternyata masih tetap rendah hati dan berpegang teguh pada kepercayaan mereka sekalipun sudah bertahun-tahun mereka dinomorduakan di Inggris. Dan terutama saya suka sekali membaca pikiran Josiah yang pemberontak namun penuh rasa keadilan. Keren!
Akhirnya, saya berhasil menamatkan cerita keluarga Heywood ini. Cerita kehidupan mereka begitu penuh gejolak dan pasang surut, sesuai dengan kejadian tak menentu di sejarah masa lalu. Entah kenapa saya suka membaca kehidupan seperti itu. Seru dan bikin kangen, anehnya. Selain itu, mungkin bagian diri saya yang menyukai petualangan sudah bosan dengan ketenangan dan rutinitas stabil dunia modern.
Nice :)
Seri Quaker Trilogy:
3. Seeking Eden
4/5
No comments:
Post a Comment