Judul : Cewek Matre
Penulis : Alberthiene Endah
Tebal : 464 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Lola humas radio City Girls FM yang cerdas, cantik, seksi, dan... miskin! Miskin? Yah, tentu saja! Dengan gaji yang seadanya, Lola tidak mampu membeli tas branded, sepatu mahal, gaun mewah, dan jelas tak bisa bersaing dengan teman-temannya yang pulang-pergi belanja di Singapura dan Hong Kong. Bosan berkeluh-kesah, Lola menjalankan taktik baru: jadi cewek matre! Memang itu kan fungsi adanya pria-pria kaya dan mapan di Jakarta ini? Dengan segera Lola bergelimang kebahagiaan. Sepatu dan tas baru, gaun indah, dan perawatan tubuh yang membuatnya tampil semakin kinclong. Tapi semua itu bukannya tanpa harga yang mahal. Hatinya kusut. Otaknya ruwet. Dan saat cinta sejati datang, Lola menangis... cinta dan harta sama-sama merupakan pilihan yang menarik!
Review:
Warning spoiler.
Prolognya kocak banget. Terutama bagian yang kira-kira bilang begini: "Hidup di kota metropolitan, ya harus gaya. Mau gaya? Ya harus kaya. Mau kaya? Ya harus berupaya. Tidak ada jalan untuk berupaya? Ya cari cowok kaya." Hahahaha... Saya langsung semangat baca bab selanjutnya.
Cerita ini pasti beneran terjadi di Jakarta sana: para perempuan yang tidak tahan iman terhadap godaan barang-barang bermerek dan gengsi. Seperti Lola dalam buku ini. Saya tidak suka dengan tingkahnya sebagai cewek matre. Murahan gitu. Tidur sama cowok , demi duitnya. Memang sih dia merasa bersalah dan tidak rela menyerahkan tubuhnya. Tapi karena dia tidak tahan dengan pikiran menjadi miskin kembali, harga diri pun langsung dibuang jauh-jauh demi segepok uang. Ugh!! Dari awal saya juga sudah tidak simpati sama dia. Gajinya lumayan besar padahal. Tapi masa amblas habis dalam beberapa hari hanya untuk belanja? Nggak pernah diajar menabung ya, Mbak? Ampun, deh. Mungkin memang saya bukan tipe yang senang akan barang bermerek. Lagipula saya nggak suka punya segunung tas. Kapan pakenya, coba?
Yang saya suka dari buku ini adalah bahasa Alberthiene Endah yang mengalir, enak dibaca, dan lucu. Sangat chicklit. Cara penulis menjelaskan perasaan Lola membuat saya tertawa juga merinding geli sendiri. Beneran si Lola ini murahan banget deh. Waktu cowoknya nanya soal cinta, di dalam hatinya ia menjawab kalau dia cinta uang cowok itu sementara mulutnya berkata lain. Gila banget. Dan saya malah ketawa padahal saya kasihan sama cowok-cowok korban Lola.
Sebenarnya novel tebal ini agak terlalu bertele-tele. Semuanya hanya mengisahkan petualangan Lola sebagai cewek matre. Berpindah-pindah dari satu cowok ke cowok lain. Tapi karena bahasa Alberthiene Endah enak dibaca, saya jadi nggak merasa bosan.
Semakin akhir, saya semakin terbuka matanya (jiahhh, bahasanya). Orang melihat penampilan itu ternyata memang betul sekali. Yah, tokoh Lola ini agak terlalu sempurna sih. Cantik banget, jadi kalau didandani makin cantik saja. Dia bisa menggandeng cowok ganteng yang kaya juga karena modal dari cowok-cowok sebelumnya. Bahkan dia bisa membuat cowok keren langsung tertarik padanya dalam sekali pandang karena penampilannya yang berkelas gitu. Entah kenapa saya jadi merasa kasihan juga. Pantas saja orang berlomba-lomba ingin punya barang bermerek yang kualitas barangnya memang "wah". Demi menjerat orang kaya dan keren. Sudah terbukti dalam buku ini. Jadi, tinggal pembaca yang menilai: mau dapat cowok keren seperti Lola dengan cara murahan begini atau mau dapat pasangan yang biasa saja dengan harga diri utuh. Tapi kalau dipikir lagi, orang lain juga sudah tidak peduli. Lihat saja Lola. Teman-temannya tetap menerima dia apa adanya, mengerti kenapa dia berbuat begitu. Ah, terlalu perfect memang hidup si Lola ini.
Endingnya cukup realistis. Lola akhirnya sadar walau terlambat. Cowok yang dia "porotin" adalah paman dari cowok yang dia suka. Tapi karena hidupnya sempurna, cowok yang dia suka juga maafin dia begitu saja. Namun Lola menolak karena dia ingin memaafkan dirinya sendiri dulu dan mencoba mencari uang dengan usahanya sendiri.
Akhir kata, saya berpendapat hidup di Jakarta memang agak mengerikan. Terutama bagi orang yang takut akan pendapat orang lain. Mata-mata lincah yang bisa menatap dari ujung kepala sampai ujung jari kaki memang cukup mengintimidasi. Tapi apakah pendapat orang lain sepenting itu? Buat apa capek-capek membuat orang lain kagum sama diri kita sendiri. Toh, orang yang benar-benar baik adalah orang yang menerima kita apa adanya.
4/5
Yah, terpaksa gak baca reviunya karena mengandung spoiler. Cuma sempat liat bintangnya. 4/5, berarti oke banget. :D
ReplyDeletemayan menghibur :) ayo dibaca, pasti ketawa ketiwi kayak saya hehe
Delete