Sunday, 23 November 2014

The Scarlet Letter


Judul : The Scarlet Letter
Penulis : Nathaniel Hawthorne
Tebal : 336 halaman
Penerbit : Harper Teen

There was a fire in her and throughout her.

Hester Prynne’s husband had been abroad for years, maybe lost at sea. Many men used the opportunity to try to charm her. . . . There was only one Hester couldn’t resist.

When Hester’s sin is discovered, the townspeople of Boston force her to wear the scarlet letter as a stamp of shame. But Hester refuses to give up the name of the man she loves. She’ll protect him and their forbidden love—to the very end.


Review:
Selalu ada yang mengganjal setiap kali saya baca buku klasik. Entah kenapa saya tidak pernah bisa lupa sama cerita-ceritanya. Sangat haunting kadang-kadang, seperti kisah roman gelap ini.

Buku ini sangat sederhana. Hanya ada tiga tokoh utama yang paling berperan banyak: Hester, suaminya, dan pria yang dicintainya. Sejak halaman awal, saya langsung tertarik dengan ceritanya. Apalagi di awal itu, Hester sedang diarak di depan semua rakyat menuju panggung pengadilan. Dengan huruf A (Adultery/selingkuh) berwarna merah di dadanya, ia berjalan tegak membawa bayi hasil hubungan gelapnya. Saat ditanya oleh hakim, Hester tidak mau memberikan nama pria rahasia yang menjadi ayah bayinya.

Sementara itu, di antara kerumunan rakyat, suami Hester berdiri menonton dengan penuh kemarahan. Nantinya ia berkunjung ke penjara dan menuntut Hester untuk jujur. Namun ia tetap tidak mendapat jawaban dari istri yang telah ditinggalkannya selama merantau ke pulau lain. Ia berubah menjadi pria penuh dengan kebencian dan dendam. Ia malu sehingga mengganti namanya menjadi Roger Chillingworth supaya tidak ada yang tahu kalau dia adalah suami wanita yang telah berzinah.

Roger berbaur ke dalam kehidupan kota itu sebagai seorang dokter yang bekerja khusus mengobati seorang pastor muda sakit-sakitan bernama Arthur Dimmesdale. Ia menginap di rumah pastor itu dan mereka pun berteman baik. 

Seiring dengan dekatnya hubungan mereka, Roger mulai curiga kalau penyakit yang diderita Arthur disebabkan oleh rahasia buruk yang dipendamnya. Dan suatu hari, ia menemukan huruf A merah di dada pasiennya itu.

Merasa terkhianati, Roger menghadap Hester untuk memberitahu wanita itu kalau ia akan membunuh kekasihnya. Di sisi lain, Arthur yang merasa bersalah karena tidak bersikap gentleman dan membiarkan Hester menanggung malu sendirian pun meminta maaf pada wanita itu. Ia bahkan menangis dan berharap bisa mengenal putrinya dengan lebih baik. 

Di hari pelantikan walikota, Arthur berpidato dan dielu-elukan masyarakat sebagai pastor kesayangan mereka. Namun hatinya tidak kuat lagi menanggung dustanya, ia pun mengaku di depan orang banyak tentang dosa yang selama ini disembunyikannya.

Terus-terang saya tidak tahu harus berkomentar apa. Cerita tragedi ini membuat saya sesak karena tidak tahu harus membela siapa. Arthur dan Hester tidak sanggup mengingkari perasaan mereka walaupun keduanya sudah memiliki kewajiban masing-masing: Arthur sebagai pastor dan Hester sebagai istri orang lain. Roger yang dikhianati tidak bisa disalahkan karena kepergiannya yang terlalu lama dari rumah. Ia juga tidak bisa disalahkan karena ingin membunuh Arthur. Di dalam hati kecilnya, Roger juga tidak benar-benar ingin membunuh. Ia hanya terluka dan tidak bisa berbuat apa-apa.  Tapi saya harus memuji karena dia akhirnya mewariskan hartanya pada putri Hester dan Arthur. 

Endingnya banyak mengandung spekulasi dari penulis. Tapi bukti kisah tragis itu masih ada dan nyata. 

Pokoknya buku ini bikin saya merinding, entah kenapa. Keren uy.

4/5

2 comments:

  1. aku pun sering mendapati buku klasik meninggalkan kesan lebih dalam

    ReplyDelete
  2. iya, betul. makanya klasik hehehe...

    ReplyDelete