Saturday 12 April 2014

No Shame, No Fear


Judul : No Shame, No Fear (Quaker Trilogy #1)
Penulis : Ann Turnbull
Tebal : 304 halaman
Penerbit : Candlewick Press

"Don't cry. We won't be parted. I promise."

It is 1662, and England is reeling from the aftereffects of civil war, with its clashes of faith and culture. Susanna, a young Quaker girl, leaves her family to become a servant in town. Seventeen-year-old Will returns home after completing his studies to begin an apprenticeship arranged by his wealthy father. Susanna and Will meet and fall in love, but can their bond survive — no matter what? Theirs is a story that speaks across the centuries, telling of love and the fight to stay true to what is most important, in spite of parents, society, and even the law.

Review: 
Saya beli buku ini secara impulsif saja. Buku ini lagi diskon dan saya pikir sinopsisnya menarik. Historical dan ada unsur cinta terlarang. Aihh... (Apa sih?)

Buku ini dibagi dua sudut pandang, Will dan Susanna secara selang-seling. Sesuai sinopsisnya, ini memang kisah dua orang di masa kepercayaan dianggap tabu. Terus-terang saya tidak terlalu mengerti sistem kepercayaan apa yang dimaksud. Saya harus membuka Wikipedia dulu. Itu pun saya hanya baca sekilas.

Pada dasarnya, di zaman itu Inggris memegang kuat sistem kebangsawanan. Seorang "Quaker" (panggilan untuk sesama penganut kepercayaan) memandang kesetaraan di atas segalanya. Mereka masih menggunakan bahasa Inggris kuno (thou, thy, thine) dan para bangsawan tidak menyukai mereka (biasanya bangsawan kan dipanggil My Lord, Your Grace atau apalah). Itu sebabnya dibuat hukum yang melarang mereka beribadah di satu tempat. Tapi namanya juga orang. Keukeuh melanggar dan banyak yang dipenjara juga dibunuh, termasuk teman-teman Susanna.

Will baru lulus sekolah dan sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti apprenticeship. Masa depannya sudah terjamin sampai ia bertemu dengan Susanna. Saya tidak terlalu suka bagaimana hubungan keduanya dimulai. Terlalu instan dan merupakan cinta pada pandangan pertama yang tidak believable, khas zaman dulu banget. Pokoknya Will menyukai aliran kepercayaan itu dan menjadi pengikut setia hingga ayahnya mengetahui semuanya. Sang ayah melapor pada walikota untuk menghancurkan tempat ibadah Susanna sekaligus memenjarakan orang-orang yang melawan. 

Novel ini ingin menunjukkan keteguhan dalam memegang kepercayaan masing-masing. Mungkin karena saya bukan orang-orang seperti Will dan Susanna yang rela dipenjara demi tetap setia pada kepercayaan mereka, saya tidak bisa ikut simpati. Will rela bersikap kurang ajar dan mengecewakan ayahnya yang sudah susah-susah menjamin masa depan putranya itu. Dia juga lebih memilih Susanna dibanding keluarganya sendiri. Bagus sih, hanya saja saya tetap merasa Will terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan yang ceroboh. Untungnya, majikan Susanna mampu menasehati Will. Bagaimanapun Will ingin menikahi Susanna, ia tidak akan bisa menafkahi sebuah keluarga tanpa warisan ayahnya. Ia harus berjuang sendiri jika ingin tetap mencari jalan dengan caranya sendiri. Dasar anak muda labil, ckckckck...

Ceritanya cukup menarik walau emosinya tidak terlalu dalam. Realistis, namun kurang bikin greget. Karakter Will dan Susanna juga terlalu biasa, tidak unik gitu. Jadi, mudah dilupakan.

3/5

No comments:

Post a Comment