Judul : Girl Meets Boy
Penulis : Winna Efendi
Tebal : 391 halaman
Penerbit : Gagasmedia
Ava selalu menjadi bayang-bayang Rae. Kakaknya itu lebih cantik, supel, populer, berbakat, dan disukai banyak orang. Walaupun begitu, dia sangat menyayangi Rae dan mengagumi kakaknya itu.
Lalu Rae meninggal.
Ava merasa sangat kehilangan. Dia masuk ke sekolah musik yang sama dengan Rae dan itu sama sekali tidak membantu. Ada banyak jejak yang Rae tinggalkan di sekolah itu. Prestasi, pujian, kenangan... Ava tidak bisa berlari dari Rae dan bahkan ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya itu. Yang jelas dia tidak seberbakat Rae.
Di sisi lain, ada Kai, cowok playboy dan populer yang disukai banyak cewek di sekolah itu. Awalnya, Ava penasaran pada sosok itu karena nama Kai sempat disebut-sebut di dalam diari Rae. Tampaknya Rae sangat mencintai Kai.
Tapi Kai juga punya rahasia. Rahasia yang disimpannya selama berpacaran secara sembunyi-sembunyi dengan Rae. Dan rahasia itu terus menghantuinya dan tidak bisa dilupakannya.
Review:
Warning: Spoiler!
Saya selalu suka dengan gaya penulisan Winna Efendi. Menurut saya, dia adalah penulis lokal yang diksinya paling sempurna. Apalagi dia senang menulis kisah yang melankolis, sepi, sedih, dan dengan tokoh yang kesepian. Cocok sudah sama selera saya. Sekalipun cerita yang ditulisnya sederhana, saya betah membacanya sampai akhir.
Untuk buku ini, saya tidak begitu sreg dengan ceritanya. Oh, jangan salah. Saya suka sekali hubungan Ava dan Rae. Saya suka membaca diari Rae dan mengetahui seperti apa sosoknya saat dia masih hidup. Saya setuju dengan Ava. Rae sempurna. Keceriaan yang dipancarkan Rae membuatnya mudah disukai. Bahkan sekalipun Ava memendam rasa iri, dia tetap tidak bisa membenci kakaknya yang baik hati itu.
Boleh dibilang, novel ini punya alur yang sangat lambat. Hari-hari awal Ava di sekolah musik, pertemuannya dengan teman-teman baru, dan pelajaran-pelajaran sekolahnya agak membosankan. Ava terlalu biasa dan tak berkarakter untuk membuat narasinya lebih hidup. Teman-teman barunya juga kurang berkesan dan memiliki karakter yang kuat. Padahal mereka lumayan weird.
Tapi saya cukup terkesan dengan tokoh Kai. Entah bagaimana Winna bisa membuat tokoh itu jadi sangat seksi dan menarik. Penggambaran gestur, kata-kata, dan ekspresi Kai sangat tipikal bad boy. Yah, saya tidak suka caranya berbicara pada Ava di awal-awal. Brengsek sekali. Sangat annoying. Apalagi Ava-nya cuma pasif doang. Ngeselin. Saya juga tidak setuju dengan perlakuan Kai ke Rae sewaktu mereka pacaran dulu. Bagaimanapun juga, saya menuntut tokoh utama yang setia di genre romance. Tapi tetap saja. Saya swoon juga sama si Kai.
Sebenarnya ceritanya bagus-bagus saja sampai akhirnya saya membaca seperlima bagian terakhir. Alur lambat yang sudah mulai terasa nyaman menjadi super cepat. Sifat dan perasaan Kai berubah 180 derajat secara tiba-tiba. Saya bahkan tidak paham bagaimana caranya dia bisa suka ke Ava saat dia masih belum melupakan Rae. Ava dibilang pengganti juga bukan soalnya dia sama sekali tidak mirip Rae. Jadi, kenapa si Kai bisa suka sama Ava? Aneh banget.
Yah, di luar keganjilan itu, saya suka dengan tema yang diangkat Winna di buku ini. Saya sangat sedih membaca diari Rae, terutama bagian yang menceritakan perasaannya untuk Ava. Narasi Ava tentang Rae dan surat terakhirnya untuk kakaknya itu juga menohok banget. Saya memang tidak tahan membaca tentang rasa sayang kepada orang yang sudah meninggal.
3/5
No comments:
Post a Comment