Judul : The Silkworm (Cormoran Strike #2)
Penulis : Robert Galbraith
Tebal : 672 halaman
Penerbit : Mulholland Books
When novelist Owen Quine goes missing, his wife calls in private detective Cormoran Strike. At first, Mrs. Quine just thinks her husband has gone off by himself for a few days--as he has done before--and she wants Strike to find him and bring him home.
But as Strike investigates, it becomes clear that there is more to Quine's disappearance than his wife realizes. The novelist has just completed a manuscript featuring poisonous pen-portraits of almost everyone he knows. If the novel were to be published, it would ruin lives--meaning that there are a lot of people who might want him silenced.
When Quine is found brutally murdered under bizarre circumstances, it becomes a race against time to understand the motivation of a ruthless killer, a killer unlike any Strike has encountered before...
Review:
Untuk membuang efek The Rose Society-nya Marie Lu, saya memutuskan untuk membaca buku ini. Saya yakin kehidupan sehari-hari dan datar dari Cormoran Strike bisa membuat saya tidak lagi dihantui buku bagus gila yang baru saya baca itu.
Saya ingat sewaktu saya membaca buku pertama J.K. Rowling alias Robert Galbraith ini, saya merasa biasa saja. Tapi begitu saya memulai buku ini, saya langsung masuk ke dalam ceritanya. Tidak ada perkenalan bertele-tele lagi. Saya bisa langsung mengikuti langkah Cormoran yang memang terlalu terstruktur. Mulai dari bangun pagi, bekerja mengurus kasus sepele macam membuntuti pasangan yang selingkuh, makan, mandi, memasang kaki palsunya, dan tidur.
Tapi saya mulai suka sama seri ini karena tokoh Cormoran dan asistennya, Robin. Interaksi mereka asyik banget. Mau bicara soal kasus, kehidupan sehari-hari, ataupun hal remeh, semuanya menarik. Chemistry-nya mengena banget. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Cara penulisan J.K. Rowling dalam penggambaran ekspresi dan dialog pas banget porsinya. Cukup dengan metode showing, saya bisa menggambarkan semuanya di otak saya. Ini sih bakat ya. Penulis bisa membuat saya berada di sebelah karakter saat mereka berjalan, berbicara, bersembunyi, dan melakukan kegiatan mereka.
Kasusnya sendiri lumayan menarik karena menyangkut penulis dan dunia penerbitan. Quine adalah penulis cerita yang "sakit jiwa". Banyak orang yang tidak menyukainya. Dia dibunuh dengan cara sama seperti ending buku terbarunya. Asam klorida, isi perut dikeluarkan, dan ditinggal membusuk. Gambaran mayatnya lumayan menjijikkan. Bayangkan saja daging yang meleleh dan terbakar karena asam. Iuhh...
Untuk membuang efek The Rose Society-nya Marie Lu, saya memutuskan untuk membaca buku ini. Saya yakin kehidupan sehari-hari dan datar dari Cormoran Strike bisa membuat saya tidak lagi dihantui buku bagus gila yang baru saya baca itu.
Saya ingat sewaktu saya membaca buku pertama J.K. Rowling alias Robert Galbraith ini, saya merasa biasa saja. Tapi begitu saya memulai buku ini, saya langsung masuk ke dalam ceritanya. Tidak ada perkenalan bertele-tele lagi. Saya bisa langsung mengikuti langkah Cormoran yang memang terlalu terstruktur. Mulai dari bangun pagi, bekerja mengurus kasus sepele macam membuntuti pasangan yang selingkuh, makan, mandi, memasang kaki palsunya, dan tidur.
Tapi saya mulai suka sama seri ini karena tokoh Cormoran dan asistennya, Robin. Interaksi mereka asyik banget. Mau bicara soal kasus, kehidupan sehari-hari, ataupun hal remeh, semuanya menarik. Chemistry-nya mengena banget. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Cara penulisan J.K. Rowling dalam penggambaran ekspresi dan dialog pas banget porsinya. Cukup dengan metode showing, saya bisa menggambarkan semuanya di otak saya. Ini sih bakat ya. Penulis bisa membuat saya berada di sebelah karakter saat mereka berjalan, berbicara, bersembunyi, dan melakukan kegiatan mereka.
Kasusnya sendiri lumayan menarik karena menyangkut penulis dan dunia penerbitan. Quine adalah penulis cerita yang "sakit jiwa". Banyak orang yang tidak menyukainya. Dia dibunuh dengan cara sama seperti ending buku terbarunya. Asam klorida, isi perut dikeluarkan, dan ditinggal membusuk. Gambaran mayatnya lumayan menjijikkan. Bayangkan saja daging yang meleleh dan terbakar karena asam. Iuhh...
Penulis sangat pintar membuat saya meragukan tebakan saya sepanjang membaca buku ini. Tapi saya berhasil juga menebak dengan benar. Bukti-buktinya sangat samar, tapi semuanya terpampang. Kalau jeli, pasti ketebak. Keren. Jujur, menurut saya cerita yang paling susah ditulis adalah cerita detektif.
Tapi tetap saja. Bagian terbaik buku ini terletak pada dua tokoh utamanya. Saya suka banget sama karakter keduanya. Saya juga suka bagian kejar-kejaran mobil di buku ini. Yang pertama waktu Robin telat mengejar kereta, yang kedua sewaktu mengejar penjahatnya. Deskripsi jalan-jalan di Kota London-nya mantap banget. Nyata sekali.
Dan sekarang saya sudah kangen Cormoran dan Robin lagi.
4/5
Yeaay, Cormoran ini emang ngeselin tapi ngangenin XD lanjutin buku ketigaaa saaab. \o/
ReplyDeleteIya, ngangenin emank hahaha...
Delete