Thursday, 29 December 2016

The Rose Society


Judul : The Rose Society (The Young Elites #2)
Penulis : Marie Lu
Tebal : 448 halaman
Penerbit : Penguin Books Ltd

Adelina Amouteru's heart is set on revenge. Now known and feared as the White Wolf, she and her sister flee Kenettra to find other Young Elites in the hopes of building her own army. Her goal: to strike down the Inquisition Axis, the white-cloaked soldiers who nearly killed her.

But Adelina is no heroine. Teren Santoro, leader of the Inquisition, wants her dead. And her former friends at the Dagger Society want to stop her thirst for vengeance. Adelina struggles to cling to the good within her. But how can someone be good, when her very existence depends on darkness?


Review:
Saya bengong. Buku ini terlalu bagus sampai menakutkan. Bagaimana mungkin ada buku sekeren ini? Mengerikan. Penulis makan apa sampai nemu ide model begini?

"Someday, when I am nothing but dust and wind, what tale will they tell about me? Once upon a time, a girl had a father, a prince, a society of friends. Then they betrayed her, and she destroyed them all."

Di akhir buku pertama, Adelina diusir secara menyakitkan dari kelompok Dagger Society. Dia bersama adiknya, Violetta akhirnya memutuskan untuk mencari tim sendiri untuk bisa balas dendam pada Teren Santoro dan kerajaan yang sudah mengambil begitu banyak dari mereka. Berdua mereka mencari seorang Young Elite bernama Magiano yang terkenal berhasil mencuri dan mengelabui Inquisition Axis serta kabur. 

Saya ingat pernah membaca satu kalimat judul bab di buku pertama. Intinya menjelaskan tentang asal kata "magic", yaitu singkatan dari "Magiano's tricks". Entah kenapa kalimat tidak penting itu membekas di otak saya. Eh, ternyata Magiano adalah salah satu tokoh penting. Kebetulan saya suka karakter ini. Pencuri, pemain seruling, tukang tipu, matre, dan kekuatannya adalah mimikri: meniru kekuatan orang lain. Keren atulah.

Selain Magiano, Adelina mendapatkan pasukan dari raja yang dibunuhnya. Dia juga bertemu mantan aggota Dagger Society yang dikira sudah mati bernama Sergio, seorang pengendali hujan. Dengan begitu, terbentuklah Rose Society.

Setelah itu, Adelina dan teman-temannya kembali ke kota kerajaan untuk merencanakan pembalasan dendam. Saya tidak bisa berhenti membaca bagian ini. Dikuasai oleh halusinasi dan suara-suara jahat di otaknya, Adelina benar-benar berubah menjadi seorang penjahat kejam tak punya hati. Dia bahkan tidak peduli saat membunuh dan menghukum mati orang-orang yang menghalangi jalannya. Dan pembalasan dendamnya untuk Teren Santoro... Gilaaaaaaaa!!! Ironis dan tepat sekali. Adelina bahkan tersenyum saat melakukannya. Luar biasa. Saya tidak menyangka sampai segitunya Adelina berubah.

"Why can't I be like that? Why can't I be the father who just shrugs off the love of his daughter? Why can't I be the Lead Inquisitor who enjoys watching his pleading victims burn at the stake? Why can't I be the one who befriends a lonely, lost girl and then casts her out? Why can't I be the one to strike first, to hit so early and with such fury that my enemies cower before they can ever think of turning on me? What is so great about being good?"

Dan itu belum selesai. Saat berhadapan dengan pasukan yang dibentuk oleh Dagger Society, Adelina jauh lebih kejam lagi. Dia memanfaatkan Enzo untuk membakar semuanya. 

Ampun. Saya tidak tahu harus komentar apa. Terlalu keren. Saya tahu Adelina jahat, tapi saya malah bersimpati dengannya. Saya bahkan ingin dia menang dari orang-orang yang dulu menyakitinya. Kalau seorang penulis bisa membuat saya menyukai seorang penjahat dan ikut merasakan sakit hati saat penjahat itu kalah, itu berarti penulis itu sudah berada di level yang berbeda. Saya sangat mengerti jiwa kegelapan dalam hati Adelina karena saya juga memilikinya. Saya pernah merasa marah dan ingin membalas perbuatan jahat orang lain. Untungnya saya tidak punya kekuatan. Saya juga tahu diri. Saya belum sampai pada titik keputusasaan yang dialami Adelina.

Saya juga sangat menyukai bagaimana penulis mengupas hubungan Adelina dan Violetta. Rasa sayang dan juga iri hati. Adelina kesal karena dulu Violetta tidak pernah membelanya di depan ayahnya. Violetta terlalu takut. Adiknya juga menekan kekuatan yang dimiliki Adelina sehingga selama hidupnya Adelina tidak bisa menggunakan kekuatan itu untuk melawan.

Dan di luar kegelapan itu, ada sosok Magiano yang cerah dan hangat. Kasihan sih sebenarnya. Dia jatuh cinta pada cewek yang hatinya sudah berubah dingin dan kejam. Dia bahkan harus menyaksikan bagaimana Adelina masih mencintai Enzo.

Endingnya langsung membuat saya tertohok. Kesepian dan kekosongan kalimat terakhirnya terlalu kental sampai-sampai saya ikutan sedih. Saya langsung mengambil buku ketiganya. Padahal biasanya saya berusaha tidak menghabiskan satu seri secara berurutan. Tapi saya terlalu penasaran. Apalagi setelah saya tahu nasib yang bakal menanti setiap Young Elites di masa depan mereka. Gahhhhh!!!!!

"In the silence, I sit alone on my throne and wait eagerly for all the satisfaction and triumph to hit me. I wait, and wait, and wait. 
But it doesn't come."

Bagus banget. Kalau kalian belum membacanya, saya sarankan baca buku ini sekarang. Nyesel kalau nggak pernah baca buku segila ini.

5/5

No comments:

Post a Comment