Saturday, 1 December 2018

Warbreaker


Judul : Warbreaker (Warbreaker #1)
Penulis : Brandon Sanderson
Tebal : 676 halaman
Penerbit : Tor Books

This is the story of two sisters, who happen to be princesses. Theirs is a world in which those who die in glory return as gods to live confined to a pantheon in Hallandren's capital city. A world transformed by a power based on an essence known as breath. Using magic is arduous as breath can only be collected one unit at a time.


Review:
Saya tidak tahu Brandon Sanderson ini dapat ide dari mana sih? Kreatif amat. Saya selalu suka sistem sihir yang dibuatnya. Keren banget. 

Di buku ini, sihir dibentuk dari napas dan warna. Napas sebagai energi. Jadi, semakin banyak mengumpulkan napas orang lain, semakin kuat sihir yang bisa dibentuk. Mengumpulkan napas bukan berarti membunuh orang. Korban-korbannya hanya akan kehilangan warna. Kulit, rambut, pakaian, darah berubah abu-abu (sebutannya Drab). Semacam itulah. Nah, selain napas, kita butuh warna. Dari pakaian juga bisa. Itu sebabnya orang-orang di sini pakai bajunya warna-warni. 

Ah, pokoknya kompleks banget. Kalau sudah mengerti, pasti tahu di mana letak kerennya. Kalau dijelaskan saja, kurang nendang rasanya. Justru praktek sihirnya yang membuat segalanya jadi masuk akal.


Buku ini menceritakan tentang dua kakak beradik, Vivenna dan Siri yang sifatnya saling bertolak belakang. Vivenna sangat kaku dan penurut, sementara Siri lebih suka membangkang. Vivenna akan dinikahkan dengan Raja Dewa dan dibawa ke ibukota. Tapi ayah mereka jauh lebih menyayangi Vivenna dan tidak ingin kehilangan putri sulungnya itu. Jadi, ia mengirim Siri sebagai gantinya. 

Tentu saja Vivenna protes sewaktu tahu. Dia memutuskan untuk menyusul ke ibukota demi bisa membebaskan adiknya dari tugas yang sudah dibebankan padanya dari lahir itu.

Di sisi lain, kita akan melihat orang-orang yang disebut sebagai dewa di Hallandren. Mereka adalah orang yang pernah mati, namun dibangkitkan kembali secara misterius oleh pengaruh alam. Mereka memiliki sosok yang lebih tinggi, lebih tampan/cantik, lebih atletis dari manusia lainnya. Tapi, mereka harus menyantap napas orang lain setiap minggunya supaya tidak mati. Karena mereka dianggap sebagai dewa, banyak orang rela mengorbankan napas untuk mereka. 

Sekarang saya akan bahas tokoh favorit saya di buku ini, yaitu si dewa bernama Lightsong. Dewa satu ini sangat malas dan juga sinis. Dia tidak percaya kalau dirinya seorang dewa yang bisa meramal. Setiap hari dia harus menceritakan mimpinya untuk dianalisis. Para pendeta menganggap mimpi dewa adalah petunjuk dan ramalan. Lightsong juga suka diminta pendapat soal lukisan dan disuruh menemui rakyat yang membutuhkan nasehat. Tapi dia selalu merasa itu hanyalah kebohongan yang harus dia lakukan hanya supaya orang lain senang. 


Tapi, sumpah. Semua adegan yang ada Lightsong selalu bikin saya tertawa. Pokoknya apa pun yang keluar dari mulutnya itu lucu banget.

Seperti buku Brandon Sanderson yang lain, segalanya terlihat sederhana di awal saja. Banyak rahasia dan misteri di balik semua yang terjadi. Itu yang membuat saya selalu tidak bisa berhenti membaca, terutama di akhir-akhir saat segalanya terbongkar. Wow. 

Saya masih penasaran sama Vasher dan pedangnya yang bisa bicara itu. Ya, ada pedang yang bisa bicara. Namanya Nightblood dan dia sangat haus darah.

Oh, ya. Menurut penulis, ini bukunya yang paling romance. Tapi, menurut saya sih sama saja dengan yang lain. Siri dan Susebron tidak terlalu menonjol walaupun interaksi mereka sangat cute. Saya jauh lebih menikmati petualangan Vivenna dan hidup monoton si Lightsong. 

Sayang sekali Brandon Sanderson belum melanjutkan seri ini lagi. Tapi buku ini bisa dinikmati sebagai standalone.

Dan kenapaaaaa kau membunuh tokoh itu, Brandon Sanderson??? Why????

4/5

No comments:

Post a Comment