Sunday 20 September 2015

Paper Towns


Judul : Paper Towns
Penulis : John Green
Tebal : 305 halaman
Penerbit : Speak

Quentin Jacobsen has spent a lifetime loving the magnificently adventurous Margo Roth Spiegelman from afar. So when she cracks open a window and climbs into his life—dressed like a ninja and summoning him for an ingenious campaign of revenge—he follows. After their all-nighter ends, and a new day breaks, Q arrives at school to discover that Margo, always an enigma, has now become a mystery. But Q soon learns that there are clues—and they're for him. Urged down a disconnected path, the closer he gets, the less Q sees the girl he thought he knew...


Review:
Sepertinya saya tidak cocok dengan karya John Green. The Fault in Our Stars yang sangat terkenal itu masih oke karena saya bisa merasakan nuansa sedih dan putus asa yang dihadapi kedua tokoh utamanya. Tapi Paper Town tidak bisa membuat saya betah menghadapi setiap karakternya.


Quentin Jacobsen seorang nerd. Dia tidak populer dan bergaul dengan kalangan yang juga tidak populer seperti dirinya. Sejak kecil ia menyukai tetangganya yang bernama Margo Roth Spiegelman. Tapi Margo populer dan gaul di sekolah sehingga mereka tidak lagi bersahabat seperti dulu. 

Suatu malam Margo datang ke kamar Quentin dan memintanya untuk menjadi supir. Margo ingin melakukan beberapa hal dan butuh bantuan. Quentin pun setuju. Tapi ia tidak menyangka kalau apa yang dilakukan Margo sangat berani dan melanggar peraturan.

Lalu esok harinya Margo menghilang. Quentin berpikir kalau mereka berdua akhirnya punya semacam ikatan setelah kejadian malam sebelumnya. Tapi tindakan Margo yang pergi tanpa pamit itu membuatnya kecewa dan juga penasaran. Menurut orang tua Margo, cewek itu memang sering pergi seenaknya dan membuat mereka cemas. Liar, begitu kata mereka. Quentin pun bingung karena merasa tidak mengenal Margo sama sekali. 

Tapi ternyata Margo meninggalkan petunjuk mengenai keberadaannya dalam bentuk teka-teki. Quentin pun menjadi obsesif ingin menemukan cewek itu. Bersama kedua temannya, mereka memecahkan kepergian Margo beserta alasannya.

Sekilas cerita ini seperti cerita misteri hilangnya seseorang. Tapi bukan itu isinya. Sebagian besar buku menceritakan kehidupan sehari-hari Quentin diselingi pencariannya atas Margo. Saya cukup menikmati humor Quentin dan teman-temannya yang super aneh dan nerdy. Saya bahkan tertawa setiap kali Ben membuka mulut. Lucu banget teman Quentin yang satu itu. Cacat. Saya juga suka Radar yang terkesan lebih bijaksana dan dewasa dibandingkan Quentin ataupun Ben. 

Sayangnya, semakin ke belakang saya semakin bosan. Karena apa tujuan buku ini? Diskusi filosofikah? Cerdas memang, tapi saya tidak melihat intinya begitu saya menamatkan ceritanya. Ending-nya tidak menekankan kesimpulan apa-apa. Saat akhirnya Quentin menemukan Margo, saya pun kesal. Astaga. Si Margo ini cewek gila atau apa? Apa sih maksudnya kabur dan bikin cemas orang-orang? Sangat tidak bertanggung jawab. Minimal tetap kasih kabar ke teman atau keluarga. Saya tahu kalau remaja butuh pencarian jati diri. Tapi menurut saya, bukan seperti itu caranya. Apalagi Margo sengaja melibatkan Quentin di awal dengan alasan yang nggak penting.

Not my cup a tea. Buku ini terlalu aneh dan mengawang-awang buat saya. Penuturannya cukup menarik, beberapa filosofinya cukup mengena, tapi sampai akhir saya tetap tidak bisa bersimpati dengan kedua tokoh utamanya. 

Btw, saya sepertinya bakal suka dengan kota kecil nan sepi yang didatangi si Margo. Saya memang punya impian tinggal di daerah suburban seperti itu. Mungkin saya harus kabur kayak si Margo gitu? #abaikan

2/5

No comments:

Post a Comment