Judul : Where She Went (If I Stay #2)
Penulis : Gayle Forman
Tebal : 240 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover-nya nggak kalah bagus sama buku pertamanya. Great job, Gramedia!
Karena saya suka banget sama buku pertamanya, saya langsung baca buku ini. Penasaran banget. Kali ini cerita ditulis dari sudut pandang Adam Wilde, pacar Mia.
Karena saya suka banget sama buku pertamanya, saya langsung baca buku ini. Penasaran banget. Kali ini cerita ditulis dari sudut pandang Adam Wilde, pacar Mia.
"Jika kau tinggal, aku akan melakukan apa saja yang kauinginkan. Aku akan berhenti main band, pergi bersamamu ke New York. Tapi jika kau ingin aku menghilang, aku juga akan melakukan itu. Aku tadi bicara dengan Liz dan dia berkata mungkin kembali ke kehidupan lamamu akan menyakitkan, bahwa mungkin akan lebih mudah bagimu jika menghapus kami dari kehidupanmu. Dan itu akan sangat menyebalkan, tapi aku akan melakukannya. Aku sanggup kehilangan kau seperti itu asalkan aku tidak perlu kehilangan dirimu hari ini. Aku akan melepaskanmu. Jika kau tetap hidup."
Permohonan Adam di saat Mia koma itulah yang akhirnya membuat Mia kembali. Dia hidup sekalipun harus mengikuti berbagai terapi fisik dan juga mental untuk menghadapi kehilangannya.
Pada awalnya Adam begitu takut menyentuh Mia. Dia begitu hati-hati melindungi Mia dari segala hal. Namun saat akhirnya mereka berpisah karena Mia harus ke New York untuk kuliah, Mia memutuskan hubungan mereka dengan dingin. Tanpa penjelasan dan pemberitahuan.
Perlakuan Mia yang kejam itu membuat Adam terpuruk. Dia akhirnya mengarang lagu satu album penuh. Dan dengan lagu itu ia membuat bandnya, Shooting Star terkenal dengan sangat cepat.
Namun Adam tidak puas dengan hidupnya. Ia berubah jadi bajingan yang suka mainin cewek, minum obat-obatan, dan bahkan dia sampai bermusuhan dengan anggota bandnya sendiri.
Sampai suatu hari ia bertemu lagi dengan Mia yang sedang konser di New York. Tiga tahun sudah berlalu. Keduanya sudah sukses di dunianya masing-masing. Adam sebagai gitaris band rock yang digilai para remaja dan Mia sebagai pemain cello muda yang berbakat. Mereka saling mengobrol, membicarakan masa lalu sambil berjalan-jalan menelusuri Kota New York di waktu malam.
Oke, saya punya banyak komentar untuk buku ini. Hahaha... Pertama, saya suka sekali tokoh Adam. Dia lemah, romantis, dan penyayang sekali. Dia tidak sempurna sekalipun di mata orang lain ia nampak sebagai sosok selebritis yang cukup hebat. Saya mengerti kenapa para pembaca banyak yang jatuh cinta dengan Adam. Narasinya begitu jelas menunjukkan betapa sakit hatinya dia saat Mia memutuskannya.
Beberapa kalimat yang membuat saya ikut sedih bersama Adam.
Saat bertemu pertama kalinya setelah tiga tahun berlalu :
...dan tiba-tiba saja dia ada di sana. Benar-benar ada. Daging dan tulang, bukan hantu.
Naluri pertamaku bukanlah memeluknya atau menciumnya atau meneriakinya. Aku hanya ingin menyentuh pipinya, yang masih merah setelah pertunjukan tadi. Aku ingin menembus ruang yang memisahkan kami, yang hanya beberapa meter--bukan berkilo-kilometer, bukan di seberang benua, bukan tahunan--dan mengusapkan jemariku yang kapalan ke wajahnya. Aku ingin menyentuhnya untuk memastikan ini benar-benar dirinya, bukan salah satu mimpi yang sering sekali menghantuiku setelah dia pergi, mimpi ketika aku melihatnya sejelas pada siang hari, siap menciumnya dan merengkuhnya, lalu aku terbangun dan menyadari bahwa Mia berada di luar jangkauanku.
Saat Mia memberitahu kalau dia benci Adam karena sudah memaksanya tinggal dengan kalimat janji yang diucapkannya saat dia koma :
Tapi aku akan melakukannya lagi. Aku tahu itu sekarang. Aku akan mengucapkan janji itu seribu kali dan kehilang dirinya seribu kali lagi demi mendengarnya bermain tadi malam atau menatapnya dalam cahaya pagi. Atau bahkan tanpa itu sama sekali. Hanya tahu bahwa dia ada di luar sana. Hidup.
Saat Mia tidak ingin keluarganya menonton konser Adam :
"Apa? Apa sih masalahnya?" aku bertanya.
Dia menggeleng. Bibir terkatup rapat.
"Ceritakan saja. Pasti tidak lebih buruk daripada yang kupikirkan, bahwa kau malu karena Shooting Star begitu jelek sampai neraka pun menolak kami."
Dia menggeleng lagi. "Kau tahu itu tidak benar. Hanya saja," dia berhenti, seakan mempertimbangkan keputusan besar. "Band. Ketika kau bersama band, aku sudah merasa perlu membagimu bersama semua orang. Aku tidak ingin menambahkan keluargaku juga ke sana." Kemudian dia kalah dalam pertempuran dan menangis.
Seluruh kejengkelanku lumer. "Dasar anak tolol," aku membujuknya, mencium dahinya. "Kau tidak membagiku. Kau memilikiku."
You don't share me. You own me...
Saya langsung kelepek-kelepek di situ. Hahaha...
Tapi... saya lebih suka buku pertama dibandingkan ini. Aneh, memang. Semua orang kebanyakan lebih suka buku kedua karena Adam-nya. Hanya saja saya merasa ceritanya membosankan. Sebagian besar isinya adalah tentang perasaan mellow si Adam dan keluhan-keluhan patah hatinya. Ya, saya tahu dia sedih. Tapi sudahlah, just get to the point already. (Jahat ya saya? T.T)
Belum lagi alasan Mia memutuskan Adam secara tiba-tiba itu. Ampun, deh. Nyebelin banget. Ngomong dong kalau nggak suka atau apalah. Jangan mendiamkan orang sembarangan, apalagi Adam kan pacarnya. Saya langsung nggak suka sama si Mia yang aneh ini.
Untuk gaya penulisan, saya salut deh. Kerasa banget bedanya sama If I Stay. Jelas sekali narasinya sangat cowok, sama sekali nggak seperti narasi Mia. Keren banget.
Anyway, saya tetap cukup suka dengan ceritanya. Selain tokoh Adam-nya yang karakternya kuat banget, saya juga suka dengan lirik-lirik lagu ciptaan Adam yang ditulis di awal beberapa bab. Kalau album Collateral Damage itu beneran ada, saya yakin pasti langsung terkenal. Liriknya bo! Rimanya bagus, artinya sangat jelas penuh kemarahan, jenius lah pokoknya. Ekstra bintang buat lirik-lirik lagunya itu!
Seri If I Stay :
1. If I Stay
2. Where She Went
4/5
Permohonan Adam di saat Mia koma itulah yang akhirnya membuat Mia kembali. Dia hidup sekalipun harus mengikuti berbagai terapi fisik dan juga mental untuk menghadapi kehilangannya.
Pada awalnya Adam begitu takut menyentuh Mia. Dia begitu hati-hati melindungi Mia dari segala hal. Namun saat akhirnya mereka berpisah karena Mia harus ke New York untuk kuliah, Mia memutuskan hubungan mereka dengan dingin. Tanpa penjelasan dan pemberitahuan.
Perlakuan Mia yang kejam itu membuat Adam terpuruk. Dia akhirnya mengarang lagu satu album penuh. Dan dengan lagu itu ia membuat bandnya, Shooting Star terkenal dengan sangat cepat.
Namun Adam tidak puas dengan hidupnya. Ia berubah jadi bajingan yang suka mainin cewek, minum obat-obatan, dan bahkan dia sampai bermusuhan dengan anggota bandnya sendiri.
Sampai suatu hari ia bertemu lagi dengan Mia yang sedang konser di New York. Tiga tahun sudah berlalu. Keduanya sudah sukses di dunianya masing-masing. Adam sebagai gitaris band rock yang digilai para remaja dan Mia sebagai pemain cello muda yang berbakat. Mereka saling mengobrol, membicarakan masa lalu sambil berjalan-jalan menelusuri Kota New York di waktu malam.
Oke, saya punya banyak komentar untuk buku ini. Hahaha... Pertama, saya suka sekali tokoh Adam. Dia lemah, romantis, dan penyayang sekali. Dia tidak sempurna sekalipun di mata orang lain ia nampak sebagai sosok selebritis yang cukup hebat. Saya mengerti kenapa para pembaca banyak yang jatuh cinta dengan Adam. Narasinya begitu jelas menunjukkan betapa sakit hatinya dia saat Mia memutuskannya.
Beberapa kalimat yang membuat saya ikut sedih bersama Adam.
Saat bertemu pertama kalinya setelah tiga tahun berlalu :
...dan tiba-tiba saja dia ada di sana. Benar-benar ada. Daging dan tulang, bukan hantu.
Naluri pertamaku bukanlah memeluknya atau menciumnya atau meneriakinya. Aku hanya ingin menyentuh pipinya, yang masih merah setelah pertunjukan tadi. Aku ingin menembus ruang yang memisahkan kami, yang hanya beberapa meter--bukan berkilo-kilometer, bukan di seberang benua, bukan tahunan--dan mengusapkan jemariku yang kapalan ke wajahnya. Aku ingin menyentuhnya untuk memastikan ini benar-benar dirinya, bukan salah satu mimpi yang sering sekali menghantuiku setelah dia pergi, mimpi ketika aku melihatnya sejelas pada siang hari, siap menciumnya dan merengkuhnya, lalu aku terbangun dan menyadari bahwa Mia berada di luar jangkauanku.
Saat Mia memberitahu kalau dia benci Adam karena sudah memaksanya tinggal dengan kalimat janji yang diucapkannya saat dia koma :
Tapi aku akan melakukannya lagi. Aku tahu itu sekarang. Aku akan mengucapkan janji itu seribu kali dan kehilang dirinya seribu kali lagi demi mendengarnya bermain tadi malam atau menatapnya dalam cahaya pagi. Atau bahkan tanpa itu sama sekali. Hanya tahu bahwa dia ada di luar sana. Hidup.
Saat Mia tidak ingin keluarganya menonton konser Adam :
"Apa? Apa sih masalahnya?" aku bertanya.
Dia menggeleng. Bibir terkatup rapat.
"Ceritakan saja. Pasti tidak lebih buruk daripada yang kupikirkan, bahwa kau malu karena Shooting Star begitu jelek sampai neraka pun menolak kami."
Dia menggeleng lagi. "Kau tahu itu tidak benar. Hanya saja," dia berhenti, seakan mempertimbangkan keputusan besar. "Band. Ketika kau bersama band, aku sudah merasa perlu membagimu bersama semua orang. Aku tidak ingin menambahkan keluargaku juga ke sana." Kemudian dia kalah dalam pertempuran dan menangis.
Seluruh kejengkelanku lumer. "Dasar anak tolol," aku membujuknya, mencium dahinya. "Kau tidak membagiku. Kau memilikiku."
You don't share me. You own me...
Saya langsung kelepek-kelepek di situ. Hahaha...
Tapi... saya lebih suka buku pertama dibandingkan ini. Aneh, memang. Semua orang kebanyakan lebih suka buku kedua karena Adam-nya. Hanya saja saya merasa ceritanya membosankan. Sebagian besar isinya adalah tentang perasaan mellow si Adam dan keluhan-keluhan patah hatinya. Ya, saya tahu dia sedih. Tapi sudahlah, just get to the point already. (Jahat ya saya? T.T)
Belum lagi alasan Mia memutuskan Adam secara tiba-tiba itu. Ampun, deh. Nyebelin banget. Ngomong dong kalau nggak suka atau apalah. Jangan mendiamkan orang sembarangan, apalagi Adam kan pacarnya. Saya langsung nggak suka sama si Mia yang aneh ini.
Untuk gaya penulisan, saya salut deh. Kerasa banget bedanya sama If I Stay. Jelas sekali narasinya sangat cowok, sama sekali nggak seperti narasi Mia. Keren banget.
Anyway, saya tetap cukup suka dengan ceritanya. Selain tokoh Adam-nya yang karakternya kuat banget, saya juga suka dengan lirik-lirik lagu ciptaan Adam yang ditulis di awal beberapa bab. Kalau album Collateral Damage itu beneran ada, saya yakin pasti langsung terkenal. Liriknya bo! Rimanya bagus, artinya sangat jelas penuh kemarahan, jenius lah pokoknya. Ekstra bintang buat lirik-lirik lagunya itu!
Seri If I Stay :
1. If I Stay
2. Where She Went
4/5
Belum baca~
ReplyDeletesengaja ga lanjut abis baca If I Stay supaya kerasa ada jeda 3 tahunnya~ :D
haha... iya, baiknya bacanya nunggu dulu, lebih asyik gitu :)
ReplyDeleteyah... harus gitu yah bacanya??? harus pake jeda biar dapat feelnya??? padahal aku bacanya mau ngebut... *motor kaleee Put...* :))))
ReplyDeleteiya deh kayaknya, put... aku aja jadi lebih suka yg pertama gara2 buru2 baca yg ini hehehe...
Deleteaneh...udah baca review buku ini berkali2, udah pernah bikin review ttg buku ini juga, tapi selalu gak bosan baca review (baru) ttg buku ini.
ReplyDeleteDan kutipan2 di atas itu, biar udah dibaca berkali-kali tetap bikin terharu :D
haha... bagus banget yah kutipannya. Sesek banget dah di hati :)
Delete