Hehehe...
Sudahlah. Biarkan penulis amatiran ini menunjukkan kebolehannya.
Cerita ini juga bisa dibaca di kastilfantasi.com (baca karya penulis lain yang bagus-bagus deh).
HADIAH DEWA ALVEST
UNTUK VAUGHN CORDERA
Sabrina Zee
---
Angin bertiup kencang mengacak-acak rambut cokelat kemerah-merahan milik Vaughn Cordera. Udara bulan Desember yang dingin menusuk membuat langkahnya melambat. Sepatu botnya yang berlubang bahkan tidak mampu memberi kehangatan bagi kakinya yang terasa semakin mati rasa seiring setiap detik yang berjalan.
Vaughn marah pada keadaannya. Setiap hari ia harus menempuh perjalanan sepuluh kilometer dari rumahnya ke pusat Kota Irlosse untuk menjual lukisan dan patung buatan ayah dan ibunya. Ia lelah dan bosan dengan rutinitas hidupnya selama enam bulan ini. Sejak ayahnya, Gray Cordera meninggal dirinya sebagai anak laki-laki tertua harus menggantikan ayahnya untuk mencari nafkah.
Vaughn benci dengan situasinya. Ia ingin berkelana dan bukannya terjebak di kota yang menyebalkan ini.
Dengan kasar, ditendangnya kerikil yang menghalangi langkahnya. Kerikil itu terpantul-pantul di permukaan jalan yang bersalju. Vaughn mendongak dan memandang ke kejauhan. Di hadapannya terbentang gunung-gunung yang menjulang tinggi dan diselimuti salju putih. Pohon-pohon di kanan kiri jalan setapak yang dilaluinya hanya bersisa ranting yang gundul. Pemandangan itu begitu menyedihkan di matanya dan membuatnya mendambakan udara panas.
Rumah keluarga Cordera terletak di kaki Pegunungan Zegna yang mengelilingi kota Irlosse dan desa-desa sekitarnya. Di sore hari seperti sekarang, rumah dari batu bata itu mengepulkan asap lewat cerobongnya, tanda perapian yang dinyalakan untuk menghangatkan penghuninya.
Vaughn melangkah masuk ke pekarangan rumahnya lewat pintu pagar bambu setinggi pinggangnya. Suara-suara terdengar ribut dari dalam rumah. Itu pasti suara adik laki-lakinya, Josan yang baru berumur dua tahun. Josan baru bisa bicara sehingga adiknya itu begitu cerewet dan penuh keingintahuan.
Vaughn membuka pintu kayu rumahnya dan masuk ke dalam. Kehangatan rumah itu menyambutnya bagaikan surga, terutama bagi sekujur tubuhnya yang kedinginan.
“Ma, Feyza, Alexie, aku pulang,” sahutnya sambil melepaskan jubah bulu berang-berangnya.
“Vaughn! Senang sekali kau sudah pulang,” balas ibunya, “udara di luar begitu dingin. Kau pasti kelelahan dan lapar.”
Vaughn menemukan ibunya di ruang makan sedang menata meja makan. Ibunya, Isabelle Cordera adalah wanita kecil montok dengan gerakan yang lincah. Rambutnya hitam legam dan tampak kusut tak terurus. Matanya hijau seperti miliknya dan penuh dengan kelembutan.
“Masak apa hari ini, Ma?” tanyanya.
“Sama seperti kemarin. Blueberry pie dan sup jagung.” Isabelle menepuk tangannya dengan tatapan optimis. “Semoga saja hari ini Alexie berhasil mendapatkan rusa. Sudah lama kita tidak makan daging.”
Vaughn hanya melengos tanpa berkomentar. Itulah sebabnya ia membenci situasi hidupnya yang miskin. Bahkan untuk makan daging saja, mereka tak mampu membelinya. Mereka semua hanya bisa bergantung pada Alexie yang gemar berburu untuk mendapatkan daging.
Saat itu, adiknya yang lain, Feyza turun dari lantai atas sambil menggendong Josan. Gaun lusuh Feyza melambai dan menyapu lantai dengan bunyi gemerisik anggun.
“Hai, Vaughn! Bagaimana penjualan hari ini?” tanya Feyza perhatian seperti biasanya.
“Sepi, seperti biasa. Hanya ada satu saudagar datang berkunjung dan membeli satu lukisan bunga tulip buatan Mama,” jawabnya sambil menuangkan air panas ke dalam gelas kayu berukir miliknya untuk menyeduh teh.
“Oh,” ucap Feyza singkat sebelum menjauh ke ruang tamu bersama Josan.
Vaughn duduk di bangku kecil si sebelah tangga sambil meniup-niup tehnya yang panas.
Ia mempunyai tiga orang adik. Yang tertua, Feyza berusia lima belas tahun dan lebih muda dua tahun darinya. Parasnya cantik dengan kulit seputih pualam dan mata biru tajam yang cerdas. Rambut ikalnya berwarna cokelat kemerahan yang memang diwariskan dari ayah mereka. Gerakan adiknya itu selalu luwes dan halus bagaikan putri raja. Feyza bertugas mengurus keuangan di keluarga ini karena dialah yang paling pandai berhitung.
Adiknya yang kedua, Alexie masih berumur dua belas tahun. Adiknya itu berambut hitam panjang dan bermata biru. Alexie sangat menyukai kegiatan di luar ruangan. Hobinya berburu hewan dan memetik tumbuhan-tumbuhan liar. Sepanjang hari dihabiskan adiknya itu di hutan Pegunungan Zegna.
Adik bungsunya, Josan berambut pirang dan bermata hitam kelam. Josan paling dekat dengan Feyza yang bertugas merawatnya. Josanlah yang membuat rumah itu terasa hidup dan ramai karena sejak ayah mereka meninggal, suasana di dalam rumah penuh dengan kesedihan dan kesunyian.
“Makan malam sudah siap,” lapor Isabelle yang berjalan masuk ke ruang makan dari dapur. Ia membawa piring besar berisi blueberry pie di tangannya dan menaruh piring itu di tengah-tengah meja makan kayu yang sudah kuno.
“Alexie belum pulang,” kata Feyza.
Bersamaan dengan itu, pintu depan terbuka dan angin dingin bertiup masuk. Alexie muncul dan mengabarkan kepulangannya dengan suara lantang, “Aku pulang!”
“Ah! Kau tepat waktu sekali, Lexie. Mama baru saja selesai masak,” ujar Isabelle.
“Apa yang kaubawa hari ini, Lexie?” tanya Feyza.
Vaughn menajamkan telinganya. Kabar dari Alexie-lah yang paling ingin diketahuinya.
“Aku tidak menemukan rusa di manapun hari ini, tapi aku berhasil memetik beberapa ceri di sisi barat hutan. Aku juga membawa ikan. Tadi aku memancing di Sungai Friara. Untungnya sungai itu tidak beku sepenuhnya.”
“Bagus sekali!” Feyza berseri-seri. “Besok kita akan makan ikan.”
“Ikan, ikan!” tiru Josan.
Sementara itu, Vaughn cemberut sambil menghirup tehnya. Katanya, “Apa enaknya makan ikan? Aku butuh makan daging yang sesungguhnya.”
“Yah, sayang sekali aku tidak bisa menemukan rusa hari ini,” sesal Alexie.
“Apa saja sih yang kaulakukan di luar sana sih? Memburu satu rusa saja tidak bisa.”
“Apa maksudmu?” Alexie tersinggung. “Kaupikir aku tidak becus berburu? Kaupikir aku juga tidak mau makan daging sepertimu? Aku sudah berusaha, tahu!”
Vaughn bangkit dari duduknya dengan kasar. “Hah!”
“Kau hanya bisa mengeluh dan memprotes. Tugasmu hanyalah menjual lukisan dan patung buatan Mama dan Papa. Kau tidak tahu bagaimana keadaan di hutan sana. Kau tidak tahu seberapa dingin di atas pegunungan. Kalau bukan karena kalian, aku tidak akan bersusah payah mencari hewan buruan.” Alexie yang memang bertemperamen keras saat itu marah besar. Mata birunya menyala-nyala.
Semua mata menatap Vaughn dalam diam. Vaughn merasa disudutkan. Ia kesal sekali. Dibantingnya gelas teh di tangannya ke lantai dengan sekuat tenaga. Gelas kayu itu retak dan pecah menjadi beberapa bagian. “Aku benci kemiskinan ini!” teriaknya sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.
“Vaughn!” panggil ibunya.
“Dasar orang tidak tahu terima kasih!” omel Alexie.
“Alexie, sudahlah,” ujar Feyza lemah.
“Aku tidak peduli pada orang itu lagi! Dia mungkin kakakku, tapi dia tidak pernah mempedulikan keadaan keluarga ini. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri.”
“Itu tidak benar,” sanggah Feyza.
Josan mulai menangis karena bisa merasakan ketegangan di antara keluarganya. Feyza langsung menepuk-nepuk punggungnya supaya tenang.
“Sudahlah. Sebaiknya kita makan sekarang,” kata Isabelle berusaha meredakan perselisihan. “Vaughn akan turun kalau dia lapar.”
Ketiga anaknya langsung menurut.
¯¯¯
Vaughn kelaparan. Ia mengurung diri di kamar semalaman sebagai aksi ngambeknya. Karena itulah, sekarang ia terbangun di tengah malam dengan lambung perih.
Saat itu, suasana rumah begitu sepi karena seluruh anggota keluarganya sudah tertidur pulas. Lewat jendela kamarnya, Vaughn bisa melihat kalau malam itu sangat gelap tanpa keberadaan bulan dan bintang.
Vaughn memutuskan untuk turun ke bawah mencari makanan. Ia melangkah sehati-hati mungkin di kaki-kaki tangga yag berderit keras akibat kayu-kayunya yang sudah reyot.
Suasana di lantai bawah remang-remang oleh nyala api perapian. Cahaya api di perapian itu suram dan hampir padam. Vaughn menambahkan kayu ke dalam perapian sebelum menuju dapur yang bersambung dengan ruang makan.
Vaughn mengambil gelas baru karena gelas kayu miliknya yang biasa sudah dipecahkannya tadi. Ia mengambil teko air dari atas meja di samping kulkas dan menuangkan air ke dalam gelas. Sambil meminum air dari gelasnya, ia memandang lukisan pria tua berjenggot cokelat tebal yang digantung tepat di atas meja itu.
Dewa Alvest.
Hampir seluruh rumah orang di kota Irlosse memajang foto atau lukisan dewa itu di ruang makan atau ruang keluarga. Alvest dipercaya sebagai dewa pelindung dan kesejahteraan keluarga.
Lukisan Alvest di rumahnya itu dibuat oleh ayahnya sendiri. Di lukisan itu, Sang dewa mengenakan jubah zirah emas dipadukan dengan pakaian bangsawan para dewa berwarna putih. Di atas kedua tangannya, ia membawa kain merah yang dibiarkan terbentang di kedua sisi tubuhnya.
Vaughn mendesah puas setelah menghabiskan isi gelasya. Ia menaruh gelasnya dan memutuskan untuk mencari makanan.
Tapi langkahnya terhenti.
Sebentar, sebentar. Barusan ia melihat mata si Dewa Alvest berkedip. Ia pun menoleh ke arah lukisan itu lagi.
Tak ada kedipan.
Tentu saja. Sejak kapan lukisan bisa mengedipkan matanya? Ia pasti sudah salah lihat. Mungkin ia terlalu lapar hingga membayangkan yang bukan-bukan.
“Kau punya makanan, Nak? Saya lapar,” seseorang berkata.
Vaughn terlonjak kaget di tempatnya dan menoleh ke asal suara. Begitu melihat sosok yang sedang duduk di atas meja makan, matanya langsung membelalak. Ia melangkah mundur tanpa sadar dan punggungnya menabrak pintu kulkas.
Sosok di meja makan itu hanya menatapnya santai seakan tidak terjadi apa-apa.
Tidak terjadi apa-apa?!
“Kau… kau…,” Vaughn tergagap.
“Ah… saya pasti sangatlah tidak sopan.” Sosok itu turun dari atas meja dan membungkuk sebentar. Sosoknya yang tinggi besar tampak sangat mendominasi ruangan. Katanya, “Perkenalkan, nama saya Alvest Rivedarine Kalteroz Luminon.”
Vaughn tercengang. Ia tidak bisa bicara. Ia hanya menoleh bolak-balik antara lukisan dan bentuk asli si Dewa Alvest yang berdiri di hadapannya. Ia mengucek-ngucek matanya tidak percaya. Tapi sosok itu tidak menghilang dan tetap berdiri di sana dengan baju zirah yang sama dengan yang dilukis ayahnya.
“Ini pasti mimpi,” Vaughn mencicit.
Alvest hanya mengangkat salah satu alisnya.
Vaughn menampar wajahnya sendiri. “Aw! Sakit.”
“Tentu saja sakit. Kau memukul dirimu sendiri.”
“Tapi… tapi… itu berarti kau bukan mimpi.”
“Mimpi?” ulang Alvest bingung. “Ini bukan mimpi.”
“Tapi… tapi .. kau hanya ada di gambar dan cerita rakyat.”
“Kau ini bicara apa sih?”
Vaughn menegakkan tubuh dan menunjuk lukisan buatan ayahnya. “Lihat! Kau seharusnya tidak nyata.”
Mata Alvest mengikuti arah yang ditunjuk Vaughn. Ia tampak terkejut. Ia langsung menghampiri lukisan itu dan memelototi gambaran dirinya itu. Ia menggerakkan kain merah di salah satu tangannya tanpa sadar sementara tangan lainnya mengelus-elus jenggotnya.
“Ah… ini menarik sekali.” Alvest menoleh ke arah Vaughn. “Saya tampak tampan sekali di lukisan itu, bukan?”
“Hah?” Vaughn berdeham. “Yah… eh…”
Alvest tidak mempedulikan reaksi Vaughn dan kembali mengagumi lukisan dirinya sendiri.
Vaughn kebingungan. Ada apa ini? Ia yakin sekali dirinya sedang bermimpi karena tidak mungkin seorang dewa datang ke rumahnya. Kali ini ia mencubit pipinya. Dan ternyata masih sakit.
“Jadi, mana makanannya? Saya sudah sangat lapar.”
“Oh, itu…” Vaughn berdeham-deham tidak jelas. Akhirnya ia membuka kulkas dan mengeluarkan sup jagung dan blueberry pie yang masih tersisa. Gerakannya tidak yakin karena masih tidak percaya pada penglihatannya sendiri.
Vaughn memanaskan semua makanan di atas kompor sambil sesekali melirik ke arah Alvest yang asyik mengoprek barang-barang di sekitar situ dengan keceriaan anak kecil bodoh.
“Ini makanannya,” sahut Vaughn beberapa saat kemudian seraya menyajikan semua makanan di atas meja makan.
“Ah… blueberry pie. Kelihatannya enak.”
Alvest makan dengan lahap seperti orang kelaparan. Sementara itu, Vaughn hanya berdiri menyaksikan tanpa bersuara. Rasa laparya terlupakan begitu saja saking bingungnya.
Seorang dewa makan di rumahnya. Kejadian apa lagi yang lebih aneh daripada ini?
“Kau tidak mau makan?” tanya Alvest.
Vaughn sedikit terlonjak saat ditanya begitu. “Oh… saya tidak lapar,” jawabnya sambil tersenyum gugup.
“Ya, sudah,” ucap Alvest seraya melanjutkan aksi makannya.
Alvest menghabiskan seluruh makanan sampai ludes tak bersisa sedikitpun. Itu membuat Vaughn bertanya-tanya perut seperti apa yang bisa menampung makanan sebanyak itu.
Perut seorang dewa, tentunya.
Alvest mendesah puas sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. “Saya kenyang sekarang.” Lalu matanya menatap Vaughn tajam dan fokus. “Oke. Karena kau sudah menyediakan makanan, saya akan memberimu hadiah.”
“Hadiah?” ulang Vaughn serak.
“Betul. Menarik sekali, bukan?” Alvest menautkan kesepuluh jarinya di atas meja seraya memajukan posisi duduknya. “Begini.” Ia merogoh kantong di baju bangsawannya dan mengeluarkan tiga buah kotak hitam dengan ukuran berbeda-beda. Entah bagaimana ketiga kotak itu bisa muat dalam kantong mungil di bajunya itu.
“Apa itu?” tanya Vaughn spontan.
“Kado. Masak kau tidak tahu?”
“Oh.” Vaughn mengangguk-angguk.
“Tiga kado yang bisa kaupilih,” jelas Alvest. “Dari ukurannya, kau pasti tahu kalau kotak terbesar berisi hadiah paling bagus. Tapi…” Ia berhenti sebentar untuk menekankan betapa penting kata-katanya itu. Lanjutnya, “Bagus itu relatif. Yah… menurutku kado terbesar adalah yang paling bagus.”
Mata Vaughn berbinar. “Apakah aku boleh tahu apa isinya?” Ia akan diberi hadiah. Semoga saja hadiah itu adalah uang dalam jumlah yang sangat besar.
“Hmm…” Alvest mengelus-elus jenggotnya. “Aku bisa memberitahumu tiga hadiah itu. Tapi aku tidak akan memberitahu hadia mana berada di kotak yang mana.” Ia berdeham. “Tiga hadiah itu adalah kekayaan, kebijaksanaan, dan kesejahteraan.”
Vaughn berkedip. Hadiah apa pula itu?
“Oh. Oke. Aku hanya perlu memilih kan?” tanya Vaughn meminta kepastian. Ia sudah yakin akan pilihannya. Ia ingin kekayaan. “Aku pasti dapat hadiahnya kan?”
Alvest mengangguk. “Kau sudah memilih?”
“Sudah. Aku butuh kekayaan,” jawab Vaughn tanpa ragu.
Alvest mengerutkan keningnya. “Kekayaan? Untuk apa? Bukankah hidupmu sudah berkecukupan? Cukup makan, cukup tidur, cukup bahagia?”
“Tidak. Keluarga saya miskin dan melarat.”
“Oh.” Alvest menyandarkan punggungnya di kursi. Wajahnya tanpa ekspresi. “Jadi, kotak mana yang kauinginkan?”
Sesaat mata Vaughn berpindah dari satu kotak ke kota lain. Lalu ia berkata, “Kotak terbesar berisi hadiah paling bagus kan? Kalau begitu, aku pilih kotak terbesar.”
“Kau yakin?”
“Yakin.”
“Baiklah.” Alvest mendorong kotak terbesar ke ujung meja dekat Vaughn. “Buka saja.”
Vaughn ragu-ragu pada awalnya. Masalahnya, ia akan mendapatkan kekayaan yang selama ini diimpikannya. Senyum mengembang lebar di wajahnya. Dan ia pun membuka kota itu.
¯¯¯
Cahaya membutakan kedua matanya. Suara bising berputar di sekitarnya dan membuatnya pusing dan ingin muntah. Ia menutup mata dan bisa merasakan pijakan kakinya masih mantap di bawahnya.
Saat suara-suara bising itu menghilang, Vaughn perlahan membuka kedua matanya.
Ia berkedip. Satu kali, dua kali, tiga kali.
Pemandangan di depannya tidak berubah dan tampak begitu normal. Ia berdiri tepat di depan pintu kayu rumahnya. Dari dalam rumahnya terdengar suara-suara ribut yang berasal dari Josan.
Vaughn sama sekali tidak mengerti.
Ia membuka pintu itu dan masuk ke dalam.
Suasana di rumah itu menyambutnya dengan kehangatan yang mengingatkannya akan tubuhnya yang tiba-tiba kedinginan.
“Vaughn! Senang sekali kau sudah pulang,” sapa ibunya, “udara di luar begitu dingin. Kau pasti kelelahan dan lapar.”
Vaughn terkejut mendengar sapaan itu. Ia menemukan ibunya di ruang makan sedang menata meja makan.
Dan Vaughn merasakan déja vu. Ia yakin sekali ia baru mengalami peristiwa ini beberapa jam yang lalu.
“Masak apa hari ini, Ma?” tanyanya mencoba memastikan dugaannya.
“Sama seperti kemarin. Blueberry pie dan sup jagung.” Isabelle menepuk tangannya dengan tatapan optimis. “Semoga saja hari ini Alexie berhasil mendapatkan rusa. Sudah lama kita tidak makan daging.”
Astaga! Apa maksud semua ini? Kenapa Alvest memundurkan waktu hidupnya?
Vaughn berjalan menghampiri meja tempat menaruh teko air. Gelas kayu miliknya ada di sana, utuh dan sama sekali tidak pecah. Ia mengangkat gelas itu dan mengelus permukaannya yang kasar tanpa sadar.
Lalu ia mendongak dan menatap lukisan Dewa Alvest buatan ayahnya. Dewa itu diam dan sekaku patung seperti yang seharusnya terjadi.
Tapi, Alvest mendatanginya beberapa saat yang lalu untuk meminta makanan dan memberinya hadiah.
“Dewa Alvest.” Suara ibunya terdengar dari belakangnya.
Vaughn menoleh dan melihat ibunya sedang memandangi lukisan buatan suaminya itu.
Isabellele tersenyum dan menatap Vaughn hangat. “Ayahmu melukisnya sendiri karena penting bagi sebuah rumah untuk memiliki Dewa Alvest sebagi pelindung.”
“Pelindung?” ulang Vaughn tidak mengerti.
“Ya. Apa kau pernah mendengar cerita rakyat mengenai Dewa Alvest?”
Vaughn menggeleng.
“Yah… Dewa Alvest mendatangi orang-orang yang tidak menyayangi keluarganya. Ia akan menawarkan tiga buah hadiah ; kekayaan, kebijaksanaan, dan kesejahteraan. Hadiah tersebut dibungkus dalam kotak hitam dengan berbagai ukuran. Kotak terkecil berisi kekayaan karena bagi Dewa Alvest uang sama sekali tidak berarti. Kotak kedua berisi kebijaksanaan karena itu sangat penting bagi para pemimpin yang memerintah sebuah negara. Kado terbesar dan terbagus adalah kesejahteraan keluarga,” cerita Isabelle. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Itu sebabnya Alvest dianggap sebagai dewa pelindung keluarga. Ia menuntun orang-orang yang tersesat kembali pada keluarga mereka masing-masing. Karena hanya di dalam keluargalah seseorang bisa menemukan dukungan, kedamaian, dan ketulusan terbesar.”
Seiring Isabelle bercerita, Vaughn semakin tercengang. Sungguh. Dewa Alvest benar-benar mempermainkan dirinya.
Isabelle menepuk pundak Vaughn tanpa menyadari keterjejutan di wajah putra tertuanya. Ia malah berjalan menjauh ke dapur untuk kembali melanjutkan tugasnya menyediakan makan malam.
Sementara itu, Vaughn terus membeku di tempatnya tanpa bisa bergerak. Perlahan tapi pasti, pemahaman mulai masuk ke pikirannya.
Dewa Alvest datang kepadanya karena dirinya termasuk dalam kategori orang-orang yang tersesat. Ia butuh dituntun kembali ke asalnya dan diberi kesempatan kedua.
Vaughn menoleh ke arah lukisan Dewa Alvest buatan ayahnya sekali lagi.
Dan Dewa Alvest memilih saat itu untuk mengedipkan mata ke arahnya. Tapi kali ini, Vaughn yakin ia tidak salah lihat.
____
Saat gue nulis cerita ini, gue nggak tau mau nulis tentang apa. Gue terinspirasi oleh sebuah kata "déja vu" dan sebuah kota bermusim dingin seperti di cerita Narnia karangan C. S. Lewis. Lalu karena gue bingung, gue tulis aja apapun yang ada di otak gue. Dan jadilah cerita ini. Gue nulisnya pas kuliah. Gue bosen dengerin dosen ngomong, jadi gue memilih untuk menulis.
Gue dari dulu bukan penggemar fantasi. Jadi untuk soal imajinasi dunia fantasi gue agak payah. Makanya sewaktu gue baca cerita ini lagi, gue merasa ada yang kurang tapi gue sendiri nggak tau apa. Gue juga lebih sering nulis novel dibandingkan cerpen. Sejauh ini gue cuma pernah nulis tiga cerpen yang asal-asalan.
Hahaha...
Yah, sudahlah. Seenggaknya gue berhasil menulis sesuatu (menangis terharu). Gue berharap bisa jadi penulis terkenal sekalipun gue terlalu males untuk menyelesaikan satu novel.
Ayolah (dipecut pake cambuk kuda). Pemalesan!!! Kerja, kerja!!! Nulis cerita, dong!!!
Dreamer is counting days to the next exams... Tick tock tick tock...
:)
No comments:
Post a Comment