Wednesday 1 August 2018

A Court of Mist and Fury


Judul : A Court of Mist and Fury (A Court of Thorns and Roses #2)
Penulis : Sarah J. Maas
Tebal : 624 halaman
Penerbit : Bloomsbury Children Books

Feyre is immortal.

After rescuing her lover Tamlin from a wicked Faerie Queen, she returns to the Spring Court possessing the powers of the High Fae. But Feyre cannot forget the terrible deeds she performed to save Tamlin's people - nor the bargain she made with Rhysand, High Lord of the feared Night Court.

As Feyre is drawn ever deeper into Rhysand's dark web of politics and passion, war is looming and an evil far greater than any queen threatens to destroy everything Feyre has fought for. She must confront her past, embrace her gifts and decide her fate.

She must surrender her heart to heal a world torn in two.
 


Review:
Warning: Spoiler!


Buku ini sangat populer dan ratingnya sangat tinggi. Itu sebabnya saya agak takut bacanya. Saya takut sama buku yang isinya terlalu bagus sampai bisa bikin saya tidak berfungsi dan tidak kembali dari alam mimpi. 

Begitu saya membuka halaman pertama, saya tahu saya akan menyukai buku ini. Feyre si tokoh utama mengalami trauma setelah menghadapi kekejaman di buku pertama. Dia merasa dirinya sudah rusak. Setiap malam ia tidak bisa tidur karena mimpi-mimpi buruk yang membuatnya terbangun hingga muntah-muntah. Saya suka karakter yang broken. Itulah kenapa saya langsung connect sama tokoh ini dan terus membaca sampai akhir karena tidak bisa berhenti.

Saya akan menuliskan seluruh pendapat saya soal buku ini dalam dua bagian: bagian yang saya suka dan bagian yang tidak saya suka. 

Pertama, bagian yang saya tidak suka dulu:

1. Karakter Rhysand 

    Yang saya maksud di sini adalah karakter Rhysand di buku pertama. Ya, saya tahu seharusnya itu tidak ada hubungannya. Tapi saya tetap harus membahas sifat Rhysand yang tidak sesuai dengan selera saya di buku pertama. Terutama bagian Rhysand yang memutar tulang Feyre di penjara. Menurut saya, itu tidak sesuai dengan karakter Rhysand di buku kedua yang ternyata sudah mencintai Feyre sejak lama. Sikapnya itu terlalu kejam untuk ukuran orang yang katanya cinta mati sama Feyre. Tidak konsisten.

    Selain itu, di buku ini Rhysand jadi sangat sempurna, sampai tidak ada cacatnya. Terutama bagian soal pembunuhan keluarga Tamlin. Itu terlalu dipaksakan hanya supaya Tamlin terlihat jauh lebih jahat. 

2. Karakter Tamlin 
     
    Saya tidak pernah benar-benar suka sama Tamlin di buku pertama. Biasa saja. Dia baik, terhormat, walaupun agak terlalu posesif dan tukang mengontrol. Tapi kekurangannya itu diperbesar jutaan kali lipat di buku ini. Saya tidak percaya seseorang bisa berubah sedrastis itu. Iya, dia trauma melihat Feyre disiksa di buku pertama dan ia ingin melindungi Feyre. Tapi caranya sangat tidak masuk akal, apalagi untuk ukuran seorang peri yang sudah hidup ratusan tahun. Masa ia memperlakukan Feyre seperti boneka porselen yang harus dipajang dan dibelai dengan super hati-hati? Bahkan ia sampai mengurung Feyre segala. Itu sangat aneh dan di luar karakternya.

    Dan jangan sebut soal ending buku ini. Karakter Tamlin sengaja dirusak supaya pembaca menerima bahwa Feyre memilih Rhysand. Sebenarnya itu tidak perlu. Saya kan bisa melihat dari interaksi dan sisi psikologisnya. Saya jelas tahu kalau kepribadian Tamlin tidak sesuai dengan perubahan yang sudah terjadi pada diri Feyre. Rhysand lebih cocok.

3. Kekuatan Feyre
    
    Sarah J. Maas terlalu lebay memberikan kekuatan pada Feyre. Terlalu OP (overpowered). Dia kan dibangkitkan dari kematian oleh tujuh peri High Lord di Prythian. Tidak masalah kalau ia punya sedikit jejak kekuatan dari tujuh High Lord itu. Tapi ini mah dibilang dia bisa menguasai kekuatan-kekuatan itu dengan sangat ahli. Ampun, dah.

4.  Adegan seks

     Maaf saja. Ini mah masalah selera. Saya sudah banyak membaca adegan seks di novel-novel romance dewasa dan erotica. Buat saya, Sarah J. Maas tidak pintar menulis adegan itu. Entah kenapa saya mengernyit geli setiap kali membacanya. Penggunaan kata-katanya seringkali tidak tepat. Apalagi adegan Feyre dan Rhysand di akhir-akhir. Ada urusan menggetarkan gunung segala. Ugh.

Nah, sekarang bagian yang saya suka:

1.  Velaris, The City of Starlight

     My, goodnes God. Dari semua setting fantasi yang pernah saya baca, Velaris adalah kota paling indah. Semua deskripsi yang dituangkan Sarah J. Maas sangat luar biasa. Saya bisa melihat jalan-jalan di sekitar toko-toko seninya, kafe yang menghadap pelabuhan, gunung yang mengelilingi kota, langit penuh bintang yang super cerah... Mantap sekali. Buat saya yang suka membaca demi mencari escape ke dunia lain, Velaris adalah jawaban yang tepat. 

    Velaris ini letaknya di Night Court, daerah kekuasaan Ryhsand. Saya rasa pilihan Sarah J. Maas tidak salah. Semua kejadian di buku ini hampir seluruhnya terjadi di Night Court. Selain Velaris, ada juga Court of Nighmares yang desain bangunannya lebih seperti zaman Yunani kuno. Entah kenapa itu yang ada di bayangan saya. Letaknya di atas puncak gunung, kamar-kamarnya terbuka bebas, dan kita bisa melihat awan serta langit berwarna ungu tepat di depan mata. Pokoknya, semua hal tentang Night Court terlalu keren.

2.  Rhysand

     Lho, kenapa dia muncul lagi? Karena kalau menganggap buku pertama tidak ada, Rhysand otomatis jadi tokoh favorit saya sepanjang masa. Saya selalu lemah sama tokoh pemimpin yang mencintai negara dan rakyatnya sampai rela mengorbankan diri secara total. Rhysand adalah orang yang seperti itu. Saya kasihan sekali saat tahu apa alasan sebenarnya ia melayani Amarantha. Dia meninggalkan seluruh teman yang disayanginya dan berusaha menyembunyikan keberadaan Velaris dari Amarantha supaya semua rakyatnya aman. Saya tidak bisa membayangkan hidup dalam kesepian dan kebohongan seperti itu selama puluhan tahun. Dia juga banyak bersandiwara, bersikap kejam dan jahat demi melindungi apa yang penting dalam hidupnya. Itu sebabnya banyak orang yang tidak mengenalnya salah paham dengan sikapnya itu. Tapi siapa yang peduli? Kita kan tidak bisa menyenangkan semua orang. 

Selain itu, saya suka sikapnya yang pengertian dan sabar dalam menghadapi Feyre yang sedang depresi. Oh, tentunya Rhysand seorang dreamer. Lihat saja judul blog saya. Sudah tahu kan kenapa saya suka Rhysand? 

3.  Seluruh dunia Prythian

     Alasannya sama seperti Velaris. Karena cantik. Spring Court, Summer Court, Night Court. Semoga di buku ketiga saya bisa melihat Dawn, Autumn, Winter, dan Day Court. Saya yakin pasti sama cantiknya.

4.  Bagian saat Rhysand mengungkapkan masa lalu dan perasaannya ke Feyre

      Satu bab ini membuat saya nangis terharu. Jiwa romantis saya tidak tahan membacanya. Terlalu sedih. Saya memang agak terganggu dengan konsep mating peri-peri Sarah J. Maas karena seperti dipaksakan saja. Bahwa seorang laki-laki yang sudah menemukan mate-nya pasti akan selalu setia dan terikat pada ceweknya itu. Ikatan itu jarang muncul, makanya sangat berharga. Tapi ternyata konsep ini cocok dengan ceritanya. Jadi, nggak apa-apa deh. 

      Bab ini menjelaskan kalau Rhysand ternyata sudah tahu sejak awal kalau Feyre adalah mate-nya. Tapi karena Feyre cinta sama Tamlin, bahkan rela mengorbankan diri demi Tamlin, Rhysand diam saja. Dia berusaha keras menahan insting dasarnya. Sial. Sarah J. Maas sudah membangun karakter yang bisa membuat saya simpatik seperti Feyre dan juga karakter yang sangat saya suka dalam diri Rhysand. Lalu bab ini muncul. My poor heart...

5.  Karakter sampingan

     Jadi, di buku ini kita akan diperkenalkan kepada anggota-anggota Court of Dreams. Mereka adalah sahabat-sahabat Rhysand sekaligus wakilnya dalam pemerintahan. Amren, Morrigan, Cassian, dan Azriel. Saya suka sama keempatnya karena mereka semua punya latar belakang yang menarik dan tragis. Saya juga suka bagaimana Sarah J. Maas menjadikan kedua kakak Feyre tokoh yang penting. 

Sebagai tambahan, saya juga ingin menyebutkan soal Feyre. Seberapa besar pun saya menyukai romance serta cinta yang tumbuh di antara dia dan Rhysand, saya tetap tidak suka caranya meninggalkan Tamlin begitu saja. Tamlin juga punya perjuangannya sendiri. Dia bukan orang yang sempurna dan seharusnya kalau Feyre memang mencintai Tamlin, dia setidaknya berusaha untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan hubungan mereka. Yang saya lihat di sini adalah dua orang yang berhubungan tanpa berkomunikasi. Jadi, banyak salah pahamnya. Segala sesuatu kan bisa dibicarakan baik-baik. Tidak main putus hubungan begitu saja. 

Ah, tapi ini memang cerita anak labil. Feyre belum dewasa sama sekali dan dia terlalu gampang dipengaruhi. Di buku pertama, dia memuja Tamlin dan di sini dia memuja Rhysand. Untungnya, dia Rhysand bisa memberi nasehat dan punya prinsip moral yang kuat. 

Fiuh... panjang amat ya. Memang, si Sarah J. Maas ini bisa menuliskan cerita yang problematic, tapi bikin kangen. Pada dasarnya, saya suka cerita petualangan yang santai dengan karakter-karakter yang menyenangkan. Tidak perlu banyak misteri dan kejadian wow. 

Tapi pada akhirnya, saya tetap merasa buku ini bagus sekali. Saya suka dengan settingnya dan karakternya. Saya sampai mau baca ulang segera setelah saya selesai membacanya. Padahal itu jarang terjadi. 

Buku favorit saya nomor satu untuk sekarang.

"To the stars who listen and the dreams that are answered." (sisi dreamer saya sangat puas membaca quote ini... T.T)

5/5

No comments:

Post a Comment