Judul : Crazy Rich Asians (Crazy Rich Asians #1)
Penulis : Kevin Kwan
Tebal : 527 halaman
Penerbit : Anchor
When New Yorker Rachel Chu agrees to spend the summer in Singapore with her boyfriend, Nicholas Young, she envisions a humble family home and quality time with the man she hopes to marry. But Nick has failed to give his girlfriend a few key details. One, that his childhood home looks like a palace; two, that he grew up riding in more private planes than cars; and three, that he just happens to be the country’s most eligible bachelor.
On Nick’s arm, Rachel may as well have a target on her back the second she steps off the plane, and soon, her relaxed vacation turns into an obstacle course of old money, new money, nosy relatives, and scheming social climbers.
On Nick’s arm, Rachel may as well have a target on her back the second she steps off the plane, and soon, her relaxed vacation turns into an obstacle course of old money, new money, nosy relatives, and scheming social climbers.
Review:
Ah, Crazy Rich Asians. Buku ini mengingatkan saya pada masa-masa saya masih suka baca chicklit. Buku ini sangat fenomenal, apalagi filmnya juga sukses sekali. Bayangkan, Rotten Tomatoes kasih nilai 100%. Wew.
Jujur saja, saya tidak tertarik membacanya. Saya tahu isinya pasti banyak hal-hal hedonistik yang selalu bikin saya ngantuk bacanya. Soalnya saya tidak mengerti dan tidak peduli juga sih. Jadi, saat seluruh tokohnya diperkenalkan dan ditunjukkan apa saja yang mereka pakai beserta dengan mereknya, saya langsung berpikir kalau saya tidak akan suka dengan bukunya. Apalagi narasinya kebanyakan telling dan bukan showing. Dari awal, saya langsung dijejali oleh silsilah keluarga orang kaya Singapura beserta detail-detailnya. Belum juga muncul orangnya, namanya dan skandal yang dilakukannya sudah disebutkan. Tidak relevan.
Tapi saya rasa itu memang gaya penceritaan di buku ini. Setelah saya mencoba menghafal sedikit nama-namanya, saya jadi bisa mengikuti setiap kali nama-nama itu disebutkan. Saya memang tidak terlalu peduli dengan dua karakter utamanya. Rachel dan Nick terlalu biasa.
Tentu saja buku ini bukan soal Rachel dan Nick saja. Penulis lebih menonjolkan gaya hidup orang-orang kaya di Asia dan juga tingkah laku mereka. Dan karena saya sangat familiar dengan Singapura, semua tempat, makanan, dan dialek yang muncul di buku ini sangat dekat dengan apa yang saya saksikan sehari-hari. Apalagi saya suka banget sama dunia kuliner Singapura. Menurut saya, tidak ada negara yang menyajikan makanan seenak Singapura. Saya serius. Membaca buku ini membuat saya lapar di malam hari.
Dan tentunya dialek hokkian, bahasa Mandarin, dan bahasa Melayunya... Sialan. Saya ngakak baca dialog-dialog sablengnya.
Ah, Crazy Rich Asians. Buku ini mengingatkan saya pada masa-masa saya masih suka baca chicklit. Buku ini sangat fenomenal, apalagi filmnya juga sukses sekali. Bayangkan, Rotten Tomatoes kasih nilai 100%. Wew.
Jujur saja, saya tidak tertarik membacanya. Saya tahu isinya pasti banyak hal-hal hedonistik yang selalu bikin saya ngantuk bacanya. Soalnya saya tidak mengerti dan tidak peduli juga sih. Jadi, saat seluruh tokohnya diperkenalkan dan ditunjukkan apa saja yang mereka pakai beserta dengan mereknya, saya langsung berpikir kalau saya tidak akan suka dengan bukunya. Apalagi narasinya kebanyakan telling dan bukan showing. Dari awal, saya langsung dijejali oleh silsilah keluarga orang kaya Singapura beserta detail-detailnya. Belum juga muncul orangnya, namanya dan skandal yang dilakukannya sudah disebutkan. Tidak relevan.
Tapi saya rasa itu memang gaya penceritaan di buku ini. Setelah saya mencoba menghafal sedikit nama-namanya, saya jadi bisa mengikuti setiap kali nama-nama itu disebutkan. Saya memang tidak terlalu peduli dengan dua karakter utamanya. Rachel dan Nick terlalu biasa.
Tentu saja buku ini bukan soal Rachel dan Nick saja. Penulis lebih menonjolkan gaya hidup orang-orang kaya di Asia dan juga tingkah laku mereka. Dan karena saya sangat familiar dengan Singapura, semua tempat, makanan, dan dialek yang muncul di buku ini sangat dekat dengan apa yang saya saksikan sehari-hari. Apalagi saya suka banget sama dunia kuliner Singapura. Menurut saya, tidak ada negara yang menyajikan makanan seenak Singapura. Saya serius. Membaca buku ini membuat saya lapar di malam hari.
Dan tentunya dialek hokkian, bahasa Mandarin, dan bahasa Melayunya... Sialan. Saya ngakak baca dialog-dialog sablengnya.
Di luar budaya kental orang Asia itu, saya agak kurang sreg dengan ceritanya. Terlalu fairy tale dan bahagia. Bahkan saya agak kesal dengan plot yang menyangkut Astrid. Sebenarnya saya suka konflik di antara dia dan suaminya, Michael. Tapi di akhir buku ada bagian soal mantan Astrid yang meluruskan jalan serta menyelesaikan masalah si Astrid dengan mudahnya. Tidak realistis sama sekali. Bikin semuanya terkesan tidak serius.
Saya tetap penasaran dengan sekuelnya. Saya masih ingin merasakan semua makanan Singapura itu walaupun cuma di atas kertas. Hahaha...
4/5
No comments:
Post a Comment