Judul : The Crimson Crown (Seven Realms #4)
Penulis : Cinda Williams Chima
Tebal : 598 halaman
Penerbit : Disney Hyperion
A thousand years ago, two young lovers were betrayed-Alger Waterlow to his death, and Hanalea, Queen of the Fells, to a life without love.
Now, once again, the Queendom of the Fells seems likely to shatter apart. For young queen Raisa ana'Marianna, maintaining peace even within her own castle walls is nearly impossible; tension between wizards and Clan has reached a fevered pitch. With surrounding kingdoms seeking to prey on the Fells' inner turmoil, Raisa's best hope is to unite her people against a common enemy. But that enemy might be the person with whom she's falling in love.
Through a complicated web of lies and unholy alliances, former streetlord Han Alister has become a member of the Wizard Council of the Fells. Navigating the cut-throat world of blue blood politics has never been more dangerous, and Han seems to inspire hostility among Clan and wizards alike. His only ally is the queen, and despite the perils involved, Han finds it impossible to ignore his feelings for Raisa. Before long, Han finds himself in possession of a secret believed to be lost to history, a discovery powerful enough to unite the people of the Fells. But will the secret die with him before he can use it?
A simple, devastating truth concealed by a thousand-year-old lie at last comes to light in this stunning conclusion to the Seven Realms series.
Now, once again, the Queendom of the Fells seems likely to shatter apart. For young queen Raisa ana'Marianna, maintaining peace even within her own castle walls is nearly impossible; tension between wizards and Clan has reached a fevered pitch. With surrounding kingdoms seeking to prey on the Fells' inner turmoil, Raisa's best hope is to unite her people against a common enemy. But that enemy might be the person with whom she's falling in love.
Through a complicated web of lies and unholy alliances, former streetlord Han Alister has become a member of the Wizard Council of the Fells. Navigating the cut-throat world of blue blood politics has never been more dangerous, and Han seems to inspire hostility among Clan and wizards alike. His only ally is the queen, and despite the perils involved, Han finds it impossible to ignore his feelings for Raisa. Before long, Han finds himself in possession of a secret believed to be lost to history, a discovery powerful enough to unite the people of the Fells. But will the secret die with him before he can use it?
A simple, devastating truth concealed by a thousand-year-old lie at last comes to light in this stunning conclusion to the Seven Realms series.
Review:
Buku seperti inilah yang bikin saya mati dan tidak bisa berfungsi selama berhari-hari. Jangankan menulis review, saya bahkan tidak bisa konsentrasi kerja gara-gara terbayang-bayang buku ini. Saya sedih karena seri ini sudah berakhir, tapi saya juga senang karena akhirnya tahu apa yang terjadi pada tokoh-tokoh favorit saya. Damn! Sumpah, atulah. Ini buku kurang ajar bagusnya.
Review kali ini jelas ada spoiler-nya. Saya tidak mungkin bisa mengontrol apa yang saya tulis soal kehebatan buku ini. Jadi, yang belum baca buku ini sebaiknya baca saja. Tidak perlu membaca review kegilaan saya pada buku ini.
Melanjutkan dari buku ketiganya, Raisa masih tetap berjuang mempertahankan posisinya yang lemah sebagai ratu. Dengan banyak ancaman di sekitarnya, Raja Gerard Montaigne malah memanfaatkan situasi untuk menyerang kastil Raisa.
Sementara itu, Han memutuskan untuk membantu Raisa dan juga berusaha mendapatkan kekuatan supaya bisa bersanding secara sepadan di sebelah Raisa. Hal pertama yang dilakukannya adalah memanfaatkan Fiona Bayar untuk menjatuhkan ayah gadis itu. Dialog di antara Han dan Fiona membuat saya semakin menyukai Han. Licik, pintar, dan keren banget. Gah!!!! Pokoknya Han dengan hebatnya memanipulasi Fiona sampai akhirnya dia berhasil menjadi ketua Magic Council. Saya sudah teriak-teriak sendiri saking kerennya. Hahahaha...
Di sisi lain, Han berhasil mengungkapkan misteri masa lalu Crow serta pengkhianatan yang membuat penyihir hebat itu mati. Kasihan sekali sih. Crow bahkan mengira Hanalea yang mengkhianatinya, padahal dia sangat mencintai gadis itu. Di buku ini ditunjukkan tindakan-tindakan ekstrim yang pernah dilakukan Crow demi mendapatkan Hanalea dulu. Sayangnya, akhir mereka tragis.
“As I said, history is written by the victors. The truth is, the villains were less villainous, and the heroes less heroic, than you’ve been told.”
Buku ini bukannya tanpa kekurangan. Tapi saya tidak peduli karena banyak adegan epik yang bikin saya tidak bisa berhenti membaca buku ini. Saya suka bagaimana Han berhasil menyatukan setiap klan yang bermusuhan demi mengalahkan Gerard Montaigne. Cara-caranya brilian dan mengandung banyak ancaman. Dia yang awalnya hanya seorang kriminal dengan latar belakang miskin bisa membantu Raisa lebih daripada orang lain. Dia selalu dianggap berbahaya dan jahat karena prejudice dan kebohongan yang diciptakan musuh-musuhnya. Bahkan Raisa sendiri sempat meragukan isi hati Han yang sebenarnya. Masalahnya, Han terbiasa menyimpan segalanya sendiri. Dia tidak pernah berbagi kepada Raisa dan malah melakukan segalanya sendiri. Tentu saja bakal ada kesalahpahaman. Tapi Raisa memercayai Han dengan nyawanya dan saya suka kesetiaan itu.
“But I don't want your throne."
"Then what do you want?"
"You.”
Dan adegan di conservatory itu... Saya tidak mudah terkesan dengan adegan romantis ataupun percakapan tentang perasaan dari tokoh-tokoh utama. Seringnya karena saya tidak begitu suka tokoh utamanya, saya jadi merasa dialog-dialog itu cheesy. Tapi untuk Han dan Raisa... Saya menangis. Sedih dan senang secara bersamaan. Aneh sekali. Saya swooning juga sih. Tapi lebih karena Han yang akhirnya sepenuhnya jujur kepada Raisa. Sialan!!! Bagus banget atulah.
“So here's the truth - I love you. I love everything about you – the way you stick up for people even when it costs you. The way you keep trying to do the right thing even when you're not exactly sure what the right thing is. I love how you put words together. You're as skilled with words as any knife fighter with a blade. You can put an enemy down on his back, or you can raise people up so they find what's best in themselves. You've changed my life. You've given me the words I need to become whatever I want.
I love how you talk to lytlings. You don't talk down to them. You respect them, and anybody can tell you're actually interested in what they have to say.
I love the way you ride a horse – how you stick there like an upland thistle, whooping like a Demonai. I love the way you throw back your head and stomp your feet when you dance. I love how you go after what you want – whether it's kisses or a queendom.
I love your skin, like copper dusted over with gold. And your eyes – they're the color of a forest lake shaded by evergreens. One of the secret places that only the Demonai know about.
I love the scent of you – when you've been out in the fresh air, and that perfume you put behind your ears sometimes.
Believe it or not, I even love your road smell – of sweat and horses and leather and wool.
I want to breathe you in for the rest of my life.”
Terlalu banyak hal bagus di buku ini, saya tidak tahu harus ngomong apa. Saya suka bagaimana Crow menyayangi Han setelah tahu dia adalah keturunannya. Crow bahkan rela menggantikan Han saat Han disiksa oleh keluarga Bayar. Padahal dulu Crow mati dalam penyiksaan yang sama. Tapi yah... siksaan Han kurang ditunjukkan. Jiwa sadis dan psycho saya kurang puas karena kurang kejam gitu.Iya, saya memang sakit jiwa.
Saya suka character development Raisa dan Han. Saya masih ingat buku pertama sewaktu Raisa masih bingung dan berharap menjadi seorang warrior queen sehebat Hanalea. Di buku ini dia berhasil menjadi warrior queen yang dihormati rakyatnya. Para prajurit merasa bangga bisa fight di sampingnya. Sementara itu, Han jelas sudah berubah banyak. Dari seorang kriminal miskin dengan gaya bicara kelas bawah, sekarang dia sudah jadi ketua Magic Council dan dikenal para tetua klan sebagai orang yang berpengaruh. Gaya bicaranya juga sudah cocok jadi bangsawan gara-gara pelajaran dari Raisa sebelumnya.
Apa lagi ya? OH!! Saya melupakan Dancer. Tokoh keren sedunia itu. Tiap kali dia muncul, saya swooning terus. Soalnya dia itu kalem-kalem berbahaya. Hahaha... Obrolannya kayak orang malas yang bosan dengan kehidupan bodoh di sekitarnya. Tapi dia punya ilmu sihir alam yang sangat kuat dan saya memang selalu suka sihir-sihir model begitu. Kayak Avatar The Last Airbender. Dancer itu pendiam, tapi sekali dia ngomong... Jleb, langsung mengena dan nggak basa-basi. Kyaaaaa!!!! #fangirling
Setelah kekerenan dan adegan-adegan epik itu, saya masih mendapatkan ending yang juga sangat bagus. Oke, memang kurang sedih. Tapi tetap saja sempurna. Epilognya membuat saya terkesan dengan amat sangat. Saya menangis untuk Crow dan Hanalea. Akhirnya... Benar-benar kisah cinta sepanjang masa, bukan kayak Romeo dan Juliet yang nggak jelas itu.
Dan terakhir saya akan menambahkan kalimat terakhir buku ini yang sangat sempurna. Kalimat ending terbaik yang pernah saya baca.
“Crow walked toward her, arms outstretched like a man in a dream, which he was, in a way. Sometimes a dream is enough.”
Saya mati. Nggak sih. Saya masih hidup. Tapi saya sudah mati di buku ini. Saya harus cari kehidupan lain di buku fantasi brilian seperti seri The Seven Realms ini.
All time favorites!!!
Seri The Seven Realms:
1. The Demon King
2. The Exiled Queen
3. The Gray Wolf Throne
4. The Crimson Crown
5/5
Buku seperti inilah yang bikin saya mati dan tidak bisa berfungsi selama berhari-hari. Jangankan menulis review, saya bahkan tidak bisa konsentrasi kerja gara-gara terbayang-bayang buku ini. Saya sedih karena seri ini sudah berakhir, tapi saya juga senang karena akhirnya tahu apa yang terjadi pada tokoh-tokoh favorit saya. Damn! Sumpah, atulah. Ini buku kurang ajar bagusnya.
Review kali ini jelas ada spoiler-nya. Saya tidak mungkin bisa mengontrol apa yang saya tulis soal kehebatan buku ini. Jadi, yang belum baca buku ini sebaiknya baca saja. Tidak perlu membaca review kegilaan saya pada buku ini.
Melanjutkan dari buku ketiganya, Raisa masih tetap berjuang mempertahankan posisinya yang lemah sebagai ratu. Dengan banyak ancaman di sekitarnya, Raja Gerard Montaigne malah memanfaatkan situasi untuk menyerang kastil Raisa.
Sementara itu, Han memutuskan untuk membantu Raisa dan juga berusaha mendapatkan kekuatan supaya bisa bersanding secara sepadan di sebelah Raisa. Hal pertama yang dilakukannya adalah memanfaatkan Fiona Bayar untuk menjatuhkan ayah gadis itu. Dialog di antara Han dan Fiona membuat saya semakin menyukai Han. Licik, pintar, dan keren banget. Gah!!!! Pokoknya Han dengan hebatnya memanipulasi Fiona sampai akhirnya dia berhasil menjadi ketua Magic Council. Saya sudah teriak-teriak sendiri saking kerennya. Hahahaha...
Di sisi lain, Han berhasil mengungkapkan misteri masa lalu Crow serta pengkhianatan yang membuat penyihir hebat itu mati. Kasihan sekali sih. Crow bahkan mengira Hanalea yang mengkhianatinya, padahal dia sangat mencintai gadis itu. Di buku ini ditunjukkan tindakan-tindakan ekstrim yang pernah dilakukan Crow demi mendapatkan Hanalea dulu. Sayangnya, akhir mereka tragis.
“As I said, history is written by the victors. The truth is, the villains were less villainous, and the heroes less heroic, than you’ve been told.”
Buku ini bukannya tanpa kekurangan. Tapi saya tidak peduli karena banyak adegan epik yang bikin saya tidak bisa berhenti membaca buku ini. Saya suka bagaimana Han berhasil menyatukan setiap klan yang bermusuhan demi mengalahkan Gerard Montaigne. Cara-caranya brilian dan mengandung banyak ancaman. Dia yang awalnya hanya seorang kriminal dengan latar belakang miskin bisa membantu Raisa lebih daripada orang lain. Dia selalu dianggap berbahaya dan jahat karena prejudice dan kebohongan yang diciptakan musuh-musuhnya. Bahkan Raisa sendiri sempat meragukan isi hati Han yang sebenarnya. Masalahnya, Han terbiasa menyimpan segalanya sendiri. Dia tidak pernah berbagi kepada Raisa dan malah melakukan segalanya sendiri. Tentu saja bakal ada kesalahpahaman. Tapi Raisa memercayai Han dengan nyawanya dan saya suka kesetiaan itu.
“But I don't want your throne."
"Then what do you want?"
"You.”
Dan adegan di conservatory itu... Saya tidak mudah terkesan dengan adegan romantis ataupun percakapan tentang perasaan dari tokoh-tokoh utama. Seringnya karena saya tidak begitu suka tokoh utamanya, saya jadi merasa dialog-dialog itu cheesy. Tapi untuk Han dan Raisa... Saya menangis. Sedih dan senang secara bersamaan. Aneh sekali. Saya swooning juga sih. Tapi lebih karena Han yang akhirnya sepenuhnya jujur kepada Raisa. Sialan!!! Bagus banget atulah.
“So here's the truth - I love you. I love everything about you – the way you stick up for people even when it costs you. The way you keep trying to do the right thing even when you're not exactly sure what the right thing is. I love how you put words together. You're as skilled with words as any knife fighter with a blade. You can put an enemy down on his back, or you can raise people up so they find what's best in themselves. You've changed my life. You've given me the words I need to become whatever I want.
I love how you talk to lytlings. You don't talk down to them. You respect them, and anybody can tell you're actually interested in what they have to say.
I love the way you ride a horse – how you stick there like an upland thistle, whooping like a Demonai. I love the way you throw back your head and stomp your feet when you dance. I love how you go after what you want – whether it's kisses or a queendom.
I love your skin, like copper dusted over with gold. And your eyes – they're the color of a forest lake shaded by evergreens. One of the secret places that only the Demonai know about.
I love the scent of you – when you've been out in the fresh air, and that perfume you put behind your ears sometimes.
Believe it or not, I even love your road smell – of sweat and horses and leather and wool.
I want to breathe you in for the rest of my life.”
Terlalu banyak hal bagus di buku ini, saya tidak tahu harus ngomong apa. Saya suka bagaimana Crow menyayangi Han setelah tahu dia adalah keturunannya. Crow bahkan rela menggantikan Han saat Han disiksa oleh keluarga Bayar. Padahal dulu Crow mati dalam penyiksaan yang sama. Tapi yah... siksaan Han kurang ditunjukkan. Jiwa sadis dan psycho saya kurang puas karena kurang kejam gitu.
Saya suka character development Raisa dan Han. Saya masih ingat buku pertama sewaktu Raisa masih bingung dan berharap menjadi seorang warrior queen sehebat Hanalea. Di buku ini dia berhasil menjadi warrior queen yang dihormati rakyatnya. Para prajurit merasa bangga bisa fight di sampingnya. Sementara itu, Han jelas sudah berubah banyak. Dari seorang kriminal miskin dengan gaya bicara kelas bawah, sekarang dia sudah jadi ketua Magic Council dan dikenal para tetua klan sebagai orang yang berpengaruh. Gaya bicaranya juga sudah cocok jadi bangsawan gara-gara pelajaran dari Raisa sebelumnya.
Apa lagi ya? OH!! Saya melupakan Dancer. Tokoh keren sedunia itu. Tiap kali dia muncul, saya swooning terus. Soalnya dia itu kalem-kalem berbahaya. Hahaha... Obrolannya kayak orang malas yang bosan dengan kehidupan bodoh di sekitarnya. Tapi dia punya ilmu sihir alam yang sangat kuat dan saya memang selalu suka sihir-sihir model begitu. Kayak Avatar The Last Airbender. Dancer itu pendiam, tapi sekali dia ngomong... Jleb, langsung mengena dan nggak basa-basi. Kyaaaaa!!!! #fangirling
Setelah kekerenan dan adegan-adegan epik itu, saya masih mendapatkan ending yang juga sangat bagus. Oke, memang kurang sedih. Tapi tetap saja sempurna. Epilognya membuat saya terkesan dengan amat sangat. Saya menangis untuk Crow dan Hanalea. Akhirnya... Benar-benar kisah cinta sepanjang masa, bukan kayak Romeo dan Juliet yang nggak jelas itu.
Dan terakhir saya akan menambahkan kalimat terakhir buku ini yang sangat sempurna. Kalimat ending terbaik yang pernah saya baca.
“Crow walked toward her, arms outstretched like a man in a dream, which he was, in a way. Sometimes a dream is enough.”
Saya mati. Nggak sih. Saya masih hidup. Tapi saya sudah mati di buku ini. Saya harus cari kehidupan lain di buku fantasi brilian seperti seri The Seven Realms ini.
All time favorites!!!
Seri The Seven Realms:
1. The Demon King
2. The Exiled Queen
3. The Gray Wolf Throne
4. The Crimson Crown
5/5
No comments:
Post a Comment