Tuesday, 31 March 2015

Opini Bareng: Alur Cerita


Opini bareng BBI bulan Maret ini bertema alur cerita atau plot. Saya biasa menganggapnya sebagai jalan cerita dari awal sampai akhir. Apakah rata atau datar-datar saja? Penuh lika-liku, menanjak, jatuh ke jurang, atau berlubang-lubang seperti jalanan di Indonesia? #oops

Secara teori, ada tiga macam plot:

1. Alur Maju
Alur cerita yang maju biasanya mudah dicerna. Adegan dimulai dengan perkenalan tokoh, lalu diikuti pembangunan konflik, klimaks, anti-klimaks, dan penyelesaian/ending. Saya tidak perlu berpikir keras untuk menebak-nebak kapan kejadiannya terjadi. Linear saja. Lurus terus sampai garis finish.

2. Alur Campuran (Maju Mundur)
Tentu saja saya paling suka alur cerita seperti ini. Biasanya cerita terasa lebih kompleks dan pasti lebih "ngena" kalau sudah bicara soal kenangan. Apalagi kalau membicarakan seorang tokoh yang sudah meninggal sejak di awal cerita. Saya selalu terbawa sedih kalau si tokoh utama membicarakan tokoh yang sudah meninggal tersebut, lengkap dengan kebiasaan lama dan kebaikan tokoh tersebut.

Buat saya, alur campuran tetap ada batasnya. Pada dasarnya saya tetap lebih suka alur maju dengan flashback sebagai pelengkap. Biasanya saya lebih suka kalau timeline mundurnya hanya satu saja. Misalnya, tahun kejadiannya 2015 dan flashback mundurnya dimulai tahun 1920. Alur mundurnya cukup 1920 saja, boleh maju terus sampai akhirnya sampai ke tahun 2015. Tapi saya kurang suka jenis cerita yang menggunakan timeline kebanyakan. Sebentar tahun 2015, lalu 1920, lalu 1973, lalu 1936, lalu kembali ke 2015, lalu ke 1920 lagi, lalu ke 1966, dsb. Apalagi kalau tokohnya beda-beda tiap bagiannya. Bukannya saya benci mikir cerita yang rumit, tapi ini masalah ke pengenalan tokoh lebih dalam. Saya baru saja simpati sama tokoh A, cerita tokoh A itu berhenti dan berubah ke tokoh B di waktu yang berbeda. Akhirnya saya merasa bukunya tidak memberikan emosi apa-apa. Contoh cerita seperti ini adalah: Extremely Loud and Incredibly Close oleh Jonathan Safran Foer. Ceritanya bagus, tapi penyampaiannya saya kurang suka.

3. Alur Mundur
Saya belum pernah sih baca cerita yang alurnya 100% mundur. Nggak kebayang bagaimana jalan ceritanya. Mungkin aneh kali ya.

Selain pembagian resmi di atas, saya mau bikin jenis alur yang saya kumpulkan dari pengamatan saya.

1. Alur Datar
Alur datar itu menurut saya adalah alur yang membosankan. Jalan ceritanya itu datar, hampir tidak ada konflik (kalaupun ada, konflik itu selesai dalam beberapa halaman), dan terasa seperti cerita sehari-hari saja. Karena saya penggemar cerita dramatis, saya tidak begitu suka alur cerita seperti ini.

2. Alur Lambat
Saya termasuk pembaca yang sabar. Alur lambat masih bisa saya toleransi kalau memang konflik dan klimaksnya bagus. Kebanyakan pembaca hanya tergantung pada 1-2 bab awal, tapi saya masih bisa terus membaca buku yang perkenalan tokohnya berlangsung sampai bab 5. Tapi buku seperti itu tidak mungkin bisa dapat lima bintang dari saya.

3. Alur Cepat
Alur cepat biasanya penuh action. Konflik baru muncul setiap beberapa halaman, diikuti misteri yang terpecah perlahan-lahan. Apa ya? Jujur, saya tidak begitu suka buku yang kebanyakan aksi dibandingkan pendalaman tokoh serta suasana. Saya lebih suka buku yang bawaannya tegang, tapi tidak terburu-buru. Ketegangan konfliknya dibangun perlahan-lahan sampai menuju klimaks cerita. Saya juga suka action yang diselingi percakapan-percakapan santai untuk mengenal tiap karakternya. Percuma saja dar-der-dor dan mengeluarkan jurus keren kalau saya tidak bisa bersimpati dengan karakternya.

Oke, sekian post saya tentang alur cerita. Pada dasarnya, saya pasti suka buku apapun yang bisa mengejutkan saya dengan segala alur ceritanya yang aneh. Semuanya kembali lagi pada gaya bahasa serta kepiawaian penulis dalam menuturkan cerita. :)

No comments:

Post a Comment