Judul : The Architecture of Love
Penulis : Ika Natassa
Tebal : 304 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron's You've Got Mail hingga Martin Scorsese's Taxi Driver, New York bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai "karakter" yang menghidupkan cerita.
Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.
Raia menjadikan setiap sudut New York "kantor"-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.
Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.
Raia menjadikan setiap sudut New York "kantor"-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.
Review:
Menurut saya, buku ini adalah karya terbaik Ika Natassa yang pernah saya baca. Saya selalu suka dengan quotes dan analogi yang sering penulis masukkan ke karya-karyanya. Yang biasanya saya tidak suka itu karakter-karakter di dalamnya. Egois, menyebalkan, bodoh, dan entah apa lagi.
Tapi untuk yang kali ini, saya suka banget dengan Raia dan River. Dua karakter yang menyimpan luka tapi senang menyimpannya sendiri. Mereka bertemu di New York sekadar sebagai teman bekerja. River dengan hobinya menggambar arsitektur, sedangkan Raia mencari inspirasi menulis buku. Sambil mengelilingi Kota New York, keduanya mulai perlahan mengagumi passion masing-masing. Dan tentu saja akhirnya mereka jatuh cinta. Hanya saja segala sesuatu berakhir saat mereka kembali ke Jakarta. Ada realita menunggu di masa lalu.
Saya suka penggambaran trauma dan luka kedua karakter di buku ini. Entah kenapa saya bisa merasakan bagaimana mereka merasa kesepian dan tidak bisa bercerita. Tapi anehnya mereka menemukan kenyamanan dalam sosok satu sama lain. Beneran kisah romance yang bagus.
4/5
No comments:
Post a Comment