Monday, 23 October 2017

The Name of the Wind


Judul : The Name of the Wind (The Kingkiller Chronicle #1)
Penulis : Patrick Rothfuss
Tebal : 662 halaman
Penerbit : Gollancz

Told in Kvothe's own voice, this is the tale of the magically gifted young man who grows to be the most notorious wizard his world has ever seen. The intimate narrative of his childhood in a troupe of traveling players, his years spent as a near-feral orphan in a crime-ridden city, his daringly brazen yet successful bid to enter a legendary school of magic, and his life as a fugitive after the murder of a king form a gripping coming-of-age story unrivaled in recent literature.


Review:
Buku ini terkenal bukan sembarangan. Ceritanya benar-benar berbeda dari seri-seri fantasi epik di luar sana yang penuh dengan perang, kerajaan, pengkhianatan, dan sihir. The Name of the Wind adalah sebuah roman dari sosok penyihir hebat bernama Kvothe. 

Cerita dibuka dengan adegan di sebuah bar kecil di sebuah desa terpencil. Kvothe adalah pemilik bar itu dan terkesan puas-puas saja dengan kehidupan sederhananya. Tapi dari nama serialnya sudah jelas kalau Kvothe adalah seorang pembunuh raja. 


Suatu hari Kvothe menyelamatkan seorang penulis yang kebetulan ingin menuliskan kisah hidupnya yang fenomenal. Mengikuti narasi Kvothe, kita akan dibawa ke masa lalu, saat Kvothe masih kecil. Dia adalah anak dari seniman keliling yang haus akan ilmu pengetahuan. Dia mempunyai guru pribadi yang mengajarinya segala macam, termasuk ilmu simpati. 

Saya suka sekali sistem sihir di buku ini. Penjelasannya masuk akal dan ilmiah sekali. Sihir adalah sebuah simpati, hubungan aksi reaksi di antara komponen dengan bantuan energi. Kimia banget. 

Nah, si Kvothe ini pintar sekali. Dia punya mimpi ingin masuk sekolah akademi. Tapi sebelum mimpinya terwujud, kedua orangtuanya dibunuh oleh sekelompok orang yang misterius. Dalam kesedihannya, Kvothe hanya hidup sehari demi sehari tanpa benar-benar hidup. Dia mencuri dan belajar untuk hidup mandiri di usianya yang masih muda di tengah jalanan kejam yang penuh dengan para gangster. 

Sampai akhirnya ia teringat dengan mimpinya dulu. Dengan modal nekad, dia pergi ke akademi dan mengadu nasibnya di sana. Dia belajar, bertemu teman, bekerja mencari uang, dan juga menyelidiki siapa orang-orang misterius yang membunuh orangtuanya. 

Wow. Saya benar-benar tidak menyangka kalau buku ini isinya sangat keren. Dari dulu saya memang suka tipe cerita roman seperti ini. Apalagi settingnya fantasi. Saya suka sekali bagian Kvothe yang hidup di jalanan, mengingatkan saya pada cerita Nobody's Boy karya Hector Malot. Sedih namun penuh harapan. 

Bagian kehidupan Kvothe di akademi juga tidak kalah menarik. Memang sih Kvothe agak terlalu hebat. Dia pintar dan selalu bisa mengalahkan murid-murid yang lain. Kelemahan terbesarnya hanyalah soal uang. Dia terus memikirkan soal uang, bekerja, menghitung uang, berhutang demi bisa membayar uang sekolah, dan segala hal yang bisa dijadikan uang. Penulis sangat niat ya menyebutkan jumlah uang yang dimiliki Kvothe setiap waktu.

Kelemahan cerita ini cuma pada sosok Kvothe yang terlalu sempurna dan selalu menang. Dia seniman yang jago, murid yang paling terkenal, jenius dalam ilmu simpati, dan disukai banyak cewek. Memang sih dia punya musuh yang selalu bikin dia sial. Tapi Kvothe hampir tidak pernah salah. Lalu saya juga agak bosan di bagian dia menyelamatkan penduduk desa dari seekor naga. Mungkin maksudnya untuk membangun reputasi Kvothe yang hebat sedikit demi sedikit. Tapi adegan itu agak pointless dan kepanjangan.

Saya jauh lebih penasaran dengan perubahan karakter Kvothe. Seseorang yang penuh percaya diri dan gairah hidup kok bisa menjadi sosok bartender yang hidup segan mati tak mau di masa depannya? Kvothe di bartender bahkan tidak mau melakukan sihir sama sekali. 

Kapan buku ketiganya keluar? Saya tidak mau menunggu terlalu lama setelah saya selesai dengan buku keduanya.

Pokoknya buku keren ini. Recommended.

4/5

No comments:

Post a Comment