Tuesday, 14 April 2015

Fleur


Judul : Fleur
Penulis : Fenny Wong
Tebal : 324 halaman
Penerbit : Divapress

“…Walau hingga kehidupan yang keberapa pun kalian saling mencintai, hingga kehidupan yang keberapa pun juga aku akan mengalahkanmu, merebutnya darimu!”

Florence Ackerley sadar bahwa hidupnya ditentukan kehidupannya di masa lalu. Dua lelaki dalam hidupnya --- George, kakak angkatnya, dan Alford, tunangannya, terlibat di dalam untaian takdir itu. Keegoisan dan saling silang kepentingan membuat kutukan saling berbenturan. Hingga kehidupan yang keberapapun, tetap sama. 

Fleur memadukan latar Victorian dengan bumbu dongeng ala peri, menawarkan kecapan fantasi yang segar pada romansa penuh lika-liku.


Review:
Saya membaca cerita ini sudah lama sebenarnya. Dulu saya baca sewaktu dalam bentuk naskah. Saya suka sama ceritanya karena memadukan dongeng dan kehidupan nyata. Karena saya belum pernah bikin reviewnya, saya pun membaca ulang buku ini. 

Ada dua bagian dalam cerita ini. Yang pertama adalah dongeng. Dongeng tersebut menceritakan tentang Belidis, si peri bunga yang lemah dan selalu membutuhkan bantuan Dewa Bumi untuk memekarkan bunga-bunganya. Dewa Bumi itu bernama Fermio dan dia jatuh cinta pada si Belidis. Namun Fermio sedikit demi sedikit semakin melemah karena Belidis menyedot kekuatannya. Karena merasa tidak cukup kuat, Fermio meminta bantuan temannya si Dewa Matahari yang bernama Helras. Tapi Helras adalah dewa yang arogan dan egois. Ia malah menginginkan Belidis untuk dirinya sendiri dan membunuh Fermio dalam prosesnya. 

Dongeng itu termanifestasi ke dunia nyata. Reinkarnasi terus berulang hingga zaman Victoria. Belidis di zaman itu adalah Florence Ackerley yang jatuh cinta pada kakak angkatnya sendiri, George. Sayangnya, hubungan rahasia mereka tidak bisa berlanjut saat Alford Cromwell mengajukan proposal pertunangan pada Florence. Alford adalah orang berkuasa di daerah itu dan ia tidak akan pernah melepaskan Florence pada siapapun. Ia bersumpah akan memiliki Florence dan membunuh saingan-saingannya.

Inti ceritanya kira-kira seperti itu. Yang saya sukai dari setiap tulisan Fenny adalah nuansa melankolis dan tragisnya. Saya suka gaya penulisannya yang formal dan berkesan jadul sehingga memperkuat unsur magis dongengnya. Walaupun lagi-lagi saya tidak suka dengan tokoh utamanya, saya tetap menikmati jalan ceritanya. Tapi saya cukup suka dengan si Alford. Sebenarnya dia tidak jahat, dia hanya terlalu mencintai dan berusaha memperjuangkan cinta itu. Sayang, caranya agak berlebihan. Tapi namanya juga zaman Victoria. Jadi, harus dimaklumi bagian lebay-nya. Hehe...

Recommended banget. Ini salah satu novel fantasi lokal yang beneran bagus.

4/5

No comments:

Post a Comment