Judul : Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 (Dilan #1)
Penulis : Pidi Baiq
Tebal : 332 halaman
Penerbit : Pastel Books
Inilah kisah cinta zaman tahun 1990, saat Bandung masih sepi dan tidak macet, saat belum ada teknologi ponsel, saat surat dan telepon rumah adalah sarana utama dalam pacaran.
Milea hanya seorang gadis SMA biasa. Perkenalannya dengan Dilan sangat berkesan hingga akhirnya dia jatuh cinta pada cowok misterius itu.
Bagaimana perjalanan dari kisah dua orang ini?
Review:
Buku ini sangat populer. Sampai-sampai orang yang tidak suka baca di kantor saya saja sudah baca buku ini duluan dibanding saya. Sebenarnya saya penasaran, tapi tidak terlalu tertarik dengan premis-nya yang biasa saja.
Setelah saya membacanya, saya mengerti daya tarik buku ini. Apalagi untuk orang Bandung. Deskripsi setting-nya nyata banget. Saya bisa membayangkan Jalan Buah Batu zaman dulu, sekolah Milea dan Dilan, udara segar yang dihirup Milea saat naik motor (sekarang sih udara berpolusi ya...). Keren banget. Terus saya merasa lucu saja dengan tingkah anak zaman dulu. Pacarannya pakai surat, telepon rumah, dan apel ke rumah tiap Sabtu Minggu. Ih, zaman orangtua saya banget. Hehe...
Dan sampailah saya pada seorang Dilan. Buku ini epik karena keanehan seorang Dilan. Dia itu romantis dengan caranya sendiri. Kalimat-kalimatnya yang agak alay dan gombal itu ternyata mengena banget deh. Bikin saya senyum-senyum sendiri.
"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja."
"Selamat ulang tahun, Milea.
Ini hadiah untukmu, cuma TTS.
Tapi sudah kuisi semua.
Aku sayang kamu
aku tidak mau kamu pusing
karena harus mengisinya.
Dilan!" (ya, ampun, Mas... Kasih kado kok TTS bekas)
"Kamu Milea, ya?"
"Eh?" kutoleh lagi dirinya, memastikan barangkali aku kenal.
Nyatanya tidak, lalu kujawab:
"Iya."
"Boleh gak aku ramal?"
"Ramal?" Aku langsung heran dengan pertanyaanya. Kok, meramal? Kok, bukan kenalan?
"Iya," katanya. "Aku ramal, nanti kita akan bertemu kantin". (Bisaan si Dilan...)
Milea hanya seorang gadis SMA biasa. Perkenalannya dengan Dilan sangat berkesan hingga akhirnya dia jatuh cinta pada cowok misterius itu.
Bagaimana perjalanan dari kisah dua orang ini?
Review:
Buku ini sangat populer. Sampai-sampai orang yang tidak suka baca di kantor saya saja sudah baca buku ini duluan dibanding saya. Sebenarnya saya penasaran, tapi tidak terlalu tertarik dengan premis-nya yang biasa saja.
Setelah saya membacanya, saya mengerti daya tarik buku ini. Apalagi untuk orang Bandung. Deskripsi setting-nya nyata banget. Saya bisa membayangkan Jalan Buah Batu zaman dulu, sekolah Milea dan Dilan, udara segar yang dihirup Milea saat naik motor (sekarang sih udara berpolusi ya...). Keren banget. Terus saya merasa lucu saja dengan tingkah anak zaman dulu. Pacarannya pakai surat, telepon rumah, dan apel ke rumah tiap Sabtu Minggu. Ih, zaman orangtua saya banget. Hehe...
Dan sampailah saya pada seorang Dilan. Buku ini epik karena keanehan seorang Dilan. Dia itu romantis dengan caranya sendiri. Kalimat-kalimatnya yang agak alay dan gombal itu ternyata mengena banget deh. Bikin saya senyum-senyum sendiri.
"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja."
"Selamat ulang tahun, Milea.
Ini hadiah untukmu, cuma TTS.
Tapi sudah kuisi semua.
Aku sayang kamu
aku tidak mau kamu pusing
karena harus mengisinya.
Dilan!" (ya, ampun, Mas... Kasih kado kok TTS bekas)
"Kamu Milea, ya?"
"Eh?" kutoleh lagi dirinya, memastikan barangkali aku kenal.
Nyatanya tidak, lalu kujawab:
"Iya."
"Boleh gak aku ramal?"
"Ramal?" Aku langsung heran dengan pertanyaanya. Kok, meramal? Kok, bukan kenalan?
"Iya," katanya. "Aku ramal, nanti kita akan bertemu kantin". (Bisaan si Dilan...)
Masih banyak dialog-dialog garing tapi sweet antara Milea dan Dilan. Lebih asyik kalau dibaca sendiri. Saya suka saat Dilan membayari makanan yang dibeli orang asing hanya karena orang asing itu memuji Milea cantik. Norak, kan? Tapi anehnya romantisnya dapat banget. Hahaha...
Saya suka sih. Saya lumayan terhibur dengan novel ini. Tapi saya tidak bisa masuk ke kepala Dilan. Sepanjang buku ini saya tidak tahu apa yang dipikirkan Dilan dan kenapa dia suka sama Milea. Sementara Milea sendiri... karakternya terlalu biasa dan tidak bikin gemas. Normal kayak orang biasa. Jadi, saya kurang greget sama tokoh satu ini.
Saya lanjut ke buku keduanya, ah.
3/5
No comments:
Post a Comment