Judul : Masterpiece of Love
Penulis : Monica Petra
Tebal : 232 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Pada awalnya, aku tidak merasa berbeda dari orang lain. Sampai aku memasuki masa sekolah di TK dan berbaur dengan anak-anak lain. Aku menyadari ada yang salah dengan diriku, dari ejekan dan sikap teman-temanku yang menjauh. Hanya karena daging kecil yang sedikit lebih besar dari kulit jeruk di pipi kananku.
Aku berpikir, bagaimana jika mereka melihat telinga kananku? Mereka pasti akan semakin menggangguku. Aku pun melindungi diriku dari dunia. Aku tidak ingin orang-orang mengejek, apalagi mengasihaniku.
Aku berpikir, bagaimana jika mereka melihat telinga kananku? Mereka pasti akan semakin menggangguku. Aku pun melindungi diriku dari dunia. Aku tidak ingin orang-orang mengejek, apalagi mengasihaniku.
Review:
Sebenarnya saya tidak terlalu suka baca buku nonfiksi. Terutama jika tujuan bukunya untuk menginspirasi dan memotivasi. Soalnya saya suka kesal dan merasa digurui gitu. Jadi, pikiran awal saya tentang buku ini agak negatif.
Tapi ternyata saya suka Masterpiece of Love ini. Monica Petra menuturkan kisah hidupnya dengan sangat sederhana. Ia menceritakan kejadian-kejadian kecil dari waktu dia masih anak-anak sampai dewasa. Sejak kecil dia sudah menyadari perbedaannya dengan orang lain. Ia seorang penderita microtia unilateral grade 3.
"Sekilas saja, microtia kelompok grade tiga ini diklasifikasikan sebagai microtia klasik. Sebagian besar pasien mempunyai microtia jenis ini. Telinga hanya tersusun dari kulit dan lobulus yang tidak sempurna pada bagian bawahnya. Biasanya juga terdapat jaringan lunak di bagian atas yang merupakan tulang kartilago yang terbentuk tidak sempurna. Umumnya kategori ini disertai atresia atas ketiadaan lubang telinga luar."
Pengalaman hidup Monica Petra bukanlah suatu drama yang menyedihkan. Tidak ada kisah bullying yang berlebihan, tidak ada kejadian kejam yang menimpanya hanya karena penyakitnya itu. Alasannya karena orang tua dan kakak adiknya sangat mendukung dan menyayanginya tanpa pilih kasih. Saya merasa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan seorang anak. Tidak peduli apakah anak itu cacat ataupun normal, pengaruh keluarga sangatlah besar. Dengan dukungan penuh dari keluarga, Monica bisa menghadapi hari-harinya dengan lebih baik sekalipun ada murid yang mengejeknya. Dia bisa menemukan kepercayaan diri sekalipun penyakitnya itu kerap membuatnya ingin bersembunyi. Saya rasa semua anak serta remaja punya fase rendah diri seperti yang dialami Monica. Tapi mungkin dengan alasan yang berbeda-beda. Selain keluarga yang penyayang, Monica punya Tuhan dalam hidupnya. Saya sangat percaya kalau beban akan terasa jauh lebih ringan jika kita bergantung pada Tuhan.
"Perlakukanlah orang lain seperti kamu ingin diperlakukan. Jika kamu tidak ingin diperlakukan dengan jahat, maka jangan berbuat jahat. Tapi jika kamu terus diperlakukan jahat, beranikan diri melawan atau adukan saja pelakunya pada orang tua atau guru." -hal 135 (hmm... para anak korban bullying harus belajar begini, biar nggak tertekan.)
Salah satu nilai plus buku ini adalah kesamaan yang bisa saya temukan dalam pengalaman hidup Monica Petra dengan saya. Bukan soal penyakit, lho. Maksud saya kebiasaan dan permainan masa kecilnya. Mulai dari memasak dan menumbuk tanaman atau daun-daunan di rumah, memutuskan kepala boneka Barbie, menangkap kupu-kupu dan serangga lainnya, dimarahi guru karena menulis dan mengerjakan latihan dengan sangat lambat (dulu bahkan saya diancam guru saya untuk dimasukkan ke dalam karung Zwarte Piet kalau nggak berubah, dan ancaman itu berhasil walau saya masih tetap benci sama guru itu sampai sekarang haha...), nggak suka memberi sontekan ataupun menyontek, dan suka menulis sekaligus mengalami penolakan naskah dari penerbit beberapa kali. Saya juga suka bagian yang menceritakan soal sahabat pena. Lucu dan serasa bernostalgia dengan masa kecil.
Bacaan ringan yang menyenangkan. Saya berharap Tuhan selalu memberi ketabahan dan kehidupan yang baik pada Monica Petra. Terima kasih sudah memberikan buku ini kepada saya. :D
Ugh, baru sadar sudah setengah dua belas malam. Jam tangan saya rusak ternyata. Memang umurnya sudah 8 tahun, harus pensiun rupanya. Mungkin saya bakal beli yang baru. Saya kebetulan suka menggunakan jam tangan seperti merek Alexandre Christie yang ada di Zalora. *penting
3/5
No comments:
Post a Comment