Judul : The Pact
Penulis : Jodi Picoult
Tebal : 509 halaman
Penerbit : Hodder
The Hartes and the Golds have lived next door to each other for eighteen years. They have shared everything from family picnics to chicken pox- so it's no surprise that in high school Chris and Emily's friendship blossoms into something more.
When the midnight calls come in from the hospital, no one is prepared: Emily is dead at seventeen from a gunshot wound to the head, inflicted by Chris as part of an apparent suicide pact. He tells the police the next bullet was meant for himself. A local detective has her doubts. And the Hartes and Golds must face every parent's worst nightmare and question: do we ever really know our children at all?
Review:
Setelah saya puas membaca karya Jodi Picoult yang berjudul Nineteen Minutes, saya pun ingin mencoba karya penulis lainnya. Saya suka sekali dengan gaya tulisannya yang ironis, penuh metafora, dan juga melankolis. Jadi, saya memutuskan membaca buku ini.
Kisah dibuka dengan kematian Emily Gold. Dari situ, segalanya dikupas dengan plot maju mundur ke masa lalu.
Buku ini membicarakan khusus soal suicide pact. Dari awal, Chris berkata kalau dia dan Emily akan bunuh diri bersama. Sayangnya, Chris selamat dan ia pun menjadi tersangka pembunuhan. Karena siapakah yang percaya alasan aneh seperti itu? Saya sendiri tidak percaya. Masa orang pengen bunuh diri sampai bikin rencana untuk bunuh diri bersama? Rasanya tidak masuk akal.
Lalu kita dibawa ke masa kecil Emily dan Chris. Mereka selalu bersahabat sejak kecil. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dan bahkan kedua orang tua mereka juga saling berteman. Mungkin karena persahabatan itu dimulai sejak mereka masih bayi, mereka punya hubungan khusus seperti sepasang anak kembar.
Seiring usia yang bertambah, perasaan pun berubah. Dari sahabat, mereka pun pacaran. Kedua pasang orang tua pun saling setuju. Mereka memang mengharapkan Emily dan Chris bersatu. Keduanya sangat akur dan cocok.
“I, um, I have this problem. I broke up with my boyfriend, you see. And I'm pretty upset about it, so I wanted to talk to my best friend... The thing is, they're both you.”
Walau hubungan mereka tidak selalu mulus, tapi Chris dan Emily benar-benar saling mencintai. Itulah yang membuat saya yakin kalau Chris tidak membunuh Emily. Sayangnya, semua bukti terkesan bahwa Chris yang menembak Emily dan membunuh anak dalam kandungannya. Tapi anehnya, Chris berkata kalau dia tidak pernah ingin bunuh diri pada ibunya.
Peristiwa ini mengguncang hubungan antara dua keluarga itu. Ibu Emily menyalahkan Chris, sedangkan ayah Emily tidak tahu harus berpihak pada siapa. Ayah Chris yang perfeksionis bahkan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa, sementara ibu Chris berjuang menerima kenyataan kalau Chris dipenjara dan harus menunggu trial di pengadilan.
Saya merasa sedih membaca buku ini. Semua interaksi Chris dan Emily membuat saya tersentuh. Begitu sempurna dan damai. Saya tidak mengerti kenapa Emily ingin membuang semua kesempurnaan itu. Apakah karena kehamilannya? Tapi Chris pasti akan bertanggung jawab atas anak mereka itu. Jadi, kenapa dia ingin bunuh diri?
Dikatakan kalau depresi adalah penyakit umum yang banyak ditemukan di zaman sekarang. Bahkan kemungkinan besar gejalanya tidak kelihatan sama sekali. Saya setuju karena memang depresi ini sepertinya sedang trend. Saya mengenal seorang teman yang menderita depresi, walaupun terlihat normal kalau sedang mengobrol dengan saya. Tapi suatu hari dia mendekati saya dan berkata kalau kemarin malam dia sempat mengiris nadinya sedikit. Untungnya ia tidak punya keberanian untuk melanjutkannya lagi. Saya sampai speechless mengetahui hal itu. Seorang teman saya yang lain kerap kali menangis menceritakan masalahnya. Dan ini terjadi hampir tiap hari hingga saya sadar kalau dia depresi. Sepertinya depresi memang penyakit orang zaman sekarang. Kadarnya berbeda-beda dan bergantung pada kepribadian masing-masing. Kalau orangnya kuat, kemungkinan besar depresi itu hanya terselubung.
Itulah yang terjadi dengan Emily. Hidupnya sempurna, sangat sempurna. Tapi depresi itu tetap ada dalam bentuk yang tidak masuk akal. Dia merasa tidak bisa melihat masa depan dan mungkin ia ingin tetap hidup di masa kini dan mempertahankan kesempurnaannya. Saya juga tidak begitu yakin karena segalanya diceritakan dari sudut pandang orang-orang yang pernah mengenal Emily. Dan kenapa pula Chris bilang ingin bunuh diri bersama pada awalnya?
Sangat khas Jodi Picoult. Misteri yang dibuka perlahan-lahan hingga akhirnya mencapai klimaksnya di pengadilan. Saya sangat menyukai bagian debat pengacara dan jaksa penuntut. Seru dan menegangkan. Dan terutama tokoh favorit saya di buku Nineteen Minutes keluar lagi. Jordan McAfee!!! Ih, si pengacara keren yang punya anak remaja yang gokil abis. Hehe...
Buku yang sangat meremas-remas hati. Jleb banget. Kasihan Chris. Dia betul-betul sayang sama Emily. Pokoknya saya kesal sama si Emily yang seenaknya memutuskan ingin mati tanpa peduli perasaan orang lain. Seberat-beratnya hidup, tetap harus dijalani.
Kalimat bagus di buku ini:
“Do you know what it's like to love someone so much, that you can't see yourself without picturing her? Or what it's like to touch someone, and feel like you've come home? What we had wasn't about sex, or about being with someone just to show off what you've got, the way it was for other kids our age. We were, well, meant to be together. Some people spend their whole lives looking for that one person. I was lucky enough to have her all along.”
Ya, ampun. Chris, kasihan sekali dikau.
Kisah dibuka dengan kematian Emily Gold. Dari situ, segalanya dikupas dengan plot maju mundur ke masa lalu.
Buku ini membicarakan khusus soal suicide pact. Dari awal, Chris berkata kalau dia dan Emily akan bunuh diri bersama. Sayangnya, Chris selamat dan ia pun menjadi tersangka pembunuhan. Karena siapakah yang percaya alasan aneh seperti itu? Saya sendiri tidak percaya. Masa orang pengen bunuh diri sampai bikin rencana untuk bunuh diri bersama? Rasanya tidak masuk akal.
Lalu kita dibawa ke masa kecil Emily dan Chris. Mereka selalu bersahabat sejak kecil. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dan bahkan kedua orang tua mereka juga saling berteman. Mungkin karena persahabatan itu dimulai sejak mereka masih bayi, mereka punya hubungan khusus seperti sepasang anak kembar.
Seiring usia yang bertambah, perasaan pun berubah. Dari sahabat, mereka pun pacaran. Kedua pasang orang tua pun saling setuju. Mereka memang mengharapkan Emily dan Chris bersatu. Keduanya sangat akur dan cocok.
“I, um, I have this problem. I broke up with my boyfriend, you see. And I'm pretty upset about it, so I wanted to talk to my best friend... The thing is, they're both you.”
Walau hubungan mereka tidak selalu mulus, tapi Chris dan Emily benar-benar saling mencintai. Itulah yang membuat saya yakin kalau Chris tidak membunuh Emily. Sayangnya, semua bukti terkesan bahwa Chris yang menembak Emily dan membunuh anak dalam kandungannya. Tapi anehnya, Chris berkata kalau dia tidak pernah ingin bunuh diri pada ibunya.
Peristiwa ini mengguncang hubungan antara dua keluarga itu. Ibu Emily menyalahkan Chris, sedangkan ayah Emily tidak tahu harus berpihak pada siapa. Ayah Chris yang perfeksionis bahkan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa, sementara ibu Chris berjuang menerima kenyataan kalau Chris dipenjara dan harus menunggu trial di pengadilan.
Saya merasa sedih membaca buku ini. Semua interaksi Chris dan Emily membuat saya tersentuh. Begitu sempurna dan damai. Saya tidak mengerti kenapa Emily ingin membuang semua kesempurnaan itu. Apakah karena kehamilannya? Tapi Chris pasti akan bertanggung jawab atas anak mereka itu. Jadi, kenapa dia ingin bunuh diri?
Dikatakan kalau depresi adalah penyakit umum yang banyak ditemukan di zaman sekarang. Bahkan kemungkinan besar gejalanya tidak kelihatan sama sekali. Saya setuju karena memang depresi ini sepertinya sedang trend. Saya mengenal seorang teman yang menderita depresi, walaupun terlihat normal kalau sedang mengobrol dengan saya. Tapi suatu hari dia mendekati saya dan berkata kalau kemarin malam dia sempat mengiris nadinya sedikit. Untungnya ia tidak punya keberanian untuk melanjutkannya lagi. Saya sampai speechless mengetahui hal itu. Seorang teman saya yang lain kerap kali menangis menceritakan masalahnya. Dan ini terjadi hampir tiap hari hingga saya sadar kalau dia depresi. Sepertinya depresi memang penyakit orang zaman sekarang. Kadarnya berbeda-beda dan bergantung pada kepribadian masing-masing. Kalau orangnya kuat, kemungkinan besar depresi itu hanya terselubung.
Itulah yang terjadi dengan Emily. Hidupnya sempurna, sangat sempurna. Tapi depresi itu tetap ada dalam bentuk yang tidak masuk akal. Dia merasa tidak bisa melihat masa depan dan mungkin ia ingin tetap hidup di masa kini dan mempertahankan kesempurnaannya. Saya juga tidak begitu yakin karena segalanya diceritakan dari sudut pandang orang-orang yang pernah mengenal Emily. Dan kenapa pula Chris bilang ingin bunuh diri bersama pada awalnya?
Sangat khas Jodi Picoult. Misteri yang dibuka perlahan-lahan hingga akhirnya mencapai klimaksnya di pengadilan. Saya sangat menyukai bagian debat pengacara dan jaksa penuntut. Seru dan menegangkan. Dan terutama tokoh favorit saya di buku Nineteen Minutes keluar lagi. Jordan McAfee!!! Ih, si pengacara keren yang punya anak remaja yang gokil abis. Hehe...
Buku yang sangat meremas-remas hati. Jleb banget. Kasihan Chris. Dia betul-betul sayang sama Emily. Pokoknya saya kesal sama si Emily yang seenaknya memutuskan ingin mati tanpa peduli perasaan orang lain. Seberat-beratnya hidup, tetap harus dijalani.
Kalimat bagus di buku ini:
“Do you know what it's like to love someone so much, that you can't see yourself without picturing her? Or what it's like to touch someone, and feel like you've come home? What we had wasn't about sex, or about being with someone just to show off what you've got, the way it was for other kids our age. We were, well, meant to be together. Some people spend their whole lives looking for that one person. I was lucky enough to have her all along.”
Ya, ampun. Chris, kasihan sekali dikau.
“How could he convey to someone who'd never even met her the way she always smelled like rain, or how his stomach knotted up every time he saw her shake loose her hair from its braid? How could he describe how it felt when she finished his sentences, turnec the mug they were sharing so that her mouth landed where his had been? How did he explain the way they could be in a locker room, or underwater, or in the piney woods of Maine, bus as long as Em was with him, he was at home?”
Tipikal Jodi Picoult yangs enang pakai kalimat tanya. Tapi super keren. Gimana sih caranya bisa bikin kalimat sebagus itu? She's definitely one of my favorite author.
4/5
No comments:
Post a Comment