Monday 30 July 2012

Inheritance (Inheritance #4)


Judul : Inheritance (Inheritance #4)
Penulis : Christopher Paolini
Tebal : 920 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Warning : Spoiler

Bersambung dari akhir buku ketiga... Guru Eragon, Oromis dan naganya tewas dibunuh Galbatorix. Namun Eragon memiliki jantung dari jantung naga Oromis yang bernama Glaedr. Sayangnya, Glaedr berkubang dalam kesedihan dan tidak mau berkata apapun pada Eragon.

Dengan persiapan Varden yang semakin mantap, mereka mulai berperang menaklukkan kota demi kota. Keberuntungan Varden terletak pada Nasuada, pemimpin yang mampu bernegosiasi dengan kaum manapun. Ia berhasil mendapat dukungan dari kaum Urgal, Kurcaci, dan werecat. Selain itu, Varden sangat beruntung memiliki Roran, sepupu Eragon yang nekad dan pintar dalam strategi perang. 

Menyadari kalau kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan sang raja, Eragon cemas karena tidak yakin bisa mengalahkan Galbatorix. Kalau Varden kalah, tidak ada kehidupan bagi mereka semua. Eragon harus menang dan ia hanya punya satu petunjuk dari Solembum, yaitu ruang jiwa-jiwa di Karang Kuthian. Namun tidak ada satu orang pun yang tahu soal Karang Kuthian karena tampaknya tempat itu dilindungi sihir kuno yang menyebabkan pikiran kacau dan amnesia.

Eragon mempertaruhkan nasib Varden ke dalam rahasia Karang Kuthian itu. Ia pergi jauh ke Doru Areaba, kota kuno para Penunggang untuk mencari jawaban. Padahal saat itu Nasuada sedang diculik oleh Murtagh. Kekuatan Varden sedang terancam.

Bisakah Eragon menemukan cara untuk membunuh Galbatorix di kota kuno itu? Apakah akhirnya ia berhasil membunuh sang raja?

Kesan :
Sinopsisnya singkat sekali. Lalu kenapa bukunya bisa sampai 920 halaman? Itulah ciri khas Christopher Paolini. Ia suka mendeskripsikan segala sesuatu, menambah-nambahkan adegan tidak penting, dan menuliskan percakapan yang tidak perlu ada.

Saya baca Eragon pertama kali waktu saya SMP. Sudah lamaaaaa sekali. Bayangkan buku terakhirnya baru keluar sekarang. Menurut saya, itu menunjukkan sikap penulis yang tidak kompeten dan berdedikasi dengan karangannya sendiri. Seharusnya kalau dia memang ingin menulis sebuah cerita, setidaknya ia bisa mengejar tenggat waktu dan memuaskan pembacanya dong. Ditambah lagi dengan jumlah buku yang tidak sesuai rencana. Tadinya tiga, jadinya malah empat. Kurang terorganisir nih pengarang yang satu ini.

Karena saking sudah lamanya, saya banyak lupa tentang tokoh-tokohnya yang sangat banyak. Saya dulu suka sekali dengan seri ini, lebih suka ini daripada Harry Potter. Saya suka dengan senjatanya yang medieval, sihir-sihirnya yang susah dan terbatas, ikatan antara naga dan penunggangnya, dan terutama yang membuat saya suka sekali dengan Eragon adalah adegan saat Eragon belajar tentang ilmu penunggang dengan Oromis. Keren amat. 

Namun daya tarik cerita ini menurun di buku terakhir. Terlalu banyak adegan yang tidak penting sampai saya pun bosan. Padahal saya suka detail dan deskripsi, tapi ya kira-kira juga dong. Untuk apa menceritakan penyiksaan Nasuada oleh Galbatorix sampai beberapa bab? Untuk apa menceritakan penaklukan Roran terhadap Kota Aroughs? Oke, mungkin penulis ingin memamerkan idenya akan strategi perang atau mungkin ingin menunjukkan betapa nekad dan luar biasanya si Roran ini. Tapi saya rasa tidak perlu. Sumpah, bagian itu membosankan bangettt. 

Saya itu punya kecenderungan memberi rating lebih tinggi di buku terakhir seri apapun. Sayangnya, Inheritance tidak begitu. Saya punya cukup banyak kekecewaan dengan cerita yang konsepnya sudah dibangun cukup bagus ini. Terutama dengan adegan pembunuhan Galbatorix. Si raja yang satu ini jahatnya keren, lho. Omongannya juga sangat meyakinkan dan bikin nyali ciut sih. Tapi cara matinya... Nggak banget, deh. Apalagi selama ini Eragon tidak pernah digambarkan sebagai tokoh yang kuat dan pandai. Sama Murtagh saja kalah, masa tiba-tiba dia bisa menang dari Galbatorix semudah itu? 

Tapi saya suka sekali dengan Roran. Kasar dan pemarah. Namun dia sungguh menggambarkan seorang prajurit yang luar biasa. Ia pantas mendapatkan semua gelar tinggi atas jasanya untuk Varden. Pokoknya si Roran ini nekad gila. Sendi tangan sudah bengkok pun masih terus maju. Nggak takut mati. Walau sebenarnya kayaknya nggak mungkin deh ada orang sehebat ini dan nggak mati-mati.

Untuk ending, saya cukup suka. Bukan perfect ending dan itu nilai lebih. Saya suka cerita yang ada perpisahan dan kesan kosongnya di akhir seperti ini. Untung saja Arya dan Eragon nggak jadian. Karena kalau jadian, rasanya weird. Arya kan sudah ratusan tahun sementara Eragon masih bocah ingusan. Tapi sayangnya banyak loose end di sini, contohnya latar belakang Angela. Yah, itu sih hak penulis untuk sengaja bikin loose end. Tapi menurut saya sih, itu sama saja dengan cerita yang belum selesai.

Jadi, kesimpulannya saya paling suka buku keduanya.

Seri Inheritance :
1. Eragon
2. Eldest
3. Brisingr
4. Inheritance

4/5

6 comments:

  1. belum baca sama sekali Eragon series, ngeri ama ketebelannya

    ReplyDelete
  2. Ia suka mendeskripsikan segala sesuatu, menambah-nambahkan adegan tidak penting, dan menuliskan percakapan yang tidak perlu ada. << no wonder bukunya bisa sampe 900an hal >.<
    ga pernah baca seri ini karna menghindari ketebelannya :p
    dan ga tau juga bisa suka ato ga sama buku ini, jgn2 bukan tipeku hhe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha, aku ga terlalu merekomendasi sih... abisnya cukup mengecewakan :)

      Delete
  3. Ahahaha.wav gak nyangka bakal lihat review yang gak suka gini xD

    Oh well, saya memang orang yang jarang komplain, dibuat buku keempat walau awalnya bilang ada 3, saya diem aja. Yang saya komplain itu adalah....Roran! Banyak banget porsinya hoy! (fans Eragon dan Murtgah. lol). Dan ya bener, Galbatorix matinya terlalu gampang xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. dibilang ga suka juga nggak sih... hehe... cuma kurang spektakular seperti bayanganku :)

      Delete