Thursday, 26 July 2012

Ayahku (Bukan) Pembohong


Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis : Tere-Liye
Tebal : 304 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

"Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati?"

Dam dibesarkan ayahnya dengan dongeng-dongeng hebat. Saat Dam mempunyai idola pemain sepakbola yang dijuluki si Kapten, sang ayah menceritakan kalau si Kapten dulunya hanyalah seorang pengantar makanan. Sang Ayah mengenal sang Kapten dengan sangat baik. Lalu, saat Dam putus asa karena gagal masuk ke dalam klub renang, sang ayah menceritakan kalau si Kapten dulu pernah dianggap pendek dan tidak diizinkan masuk klub sepakbola.

Dan dongeng pun terus berlanjut. Sang ayah bahkan terlihat sangat mempercayai cerita-ceritanya yang spektakuler.

Namun, Dam beranjak dewasa. Ia mulai bisa melihat betapa bodohnya ia dulu sangat mempercayai kisah-kisah tidak masuk akal yang diceritakan ayahnya. Mana mungkin seorang biasa dari kota kecil mengenal sang Kapten? Mana mungkin ibunya dulu seorang artis? Mana mungkin... mana mungkin... mana mungkin...

Dam pun marah. Ia membenci dongeng ayahnya apalagi karena sang ayah terus keukeuh kalau ia tidak berbohong. Dan kemarahan itu terus terbawa sampai ia berkeluarga. Dam bahkan tidak menyukai ayahnya yang bercerita bohong pada anak-anaknya. 

"Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih."

Sampai akhir pun, Dam masih membenci ayahnya. Namun keanehan-keanehan yang muncul di hidupnya mulai membuatnya sedikit curiga kalau semua yang dikatakan ayahnya itu benar. Sayangnya semua kebenaran baru terbuka saat ayahnya sudah meninggal. 

"Ayah tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang baru dikenal, menghargai kehidupan, dan alam sekitar. Itu jalan hidup Ayah. Dan itu juga yang dipilih ibu kau. Apakah Ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki dengan kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kaumiliki."

Kesan :
Hidup di zaman modern ini sangat berbeda dengan zaman dulu. Anggapan orang terhadap kebahagiaan ataupun taraf hidup juga sangat berbeda. Mungkin masih banyak orang yang menganggap kalau kebahagiaan adalah hidup sederhana dan apa adanya. Tapi saya sebagai orang kota melihat hampir semua orang yang saya kenal tidak menganggap itu benar. Bagi mereka, kebahagiaan adalah uang. Semakin banyak uang, semakin besar kebahagiaan. Dengan memiliki banyak uang, hidup semakin mudah dan kita bisa bebas membeli apapun yang kita inginkan. 

Apakah itu benar? Saya juga tidak tahu. Mau tidak mau saya terbawa arus zaman modern. Ayah saya saja selalu mengatakan, "Yang terpenting dalam hidup adalah uang. Tanpa uang kita tidak berbuat apapun." Pernyataan itu benar karena dunia memang diatur oleh benda mati itu. Saya rasa orang yang seperti tokoh ayah dalam buku ini sangat jarang atau mungkin hampir tidak ada di sekitar saya. Mana ada orang yang mau mengorbankan karir hebatnya sebagai hakim agung untuk menjadi orang biasa di kota kecil? Saya rasa semua orang terlalu ambisius untuk bisa lapang dada begitu.   

Tapi itu hanya sebuah anggapan orang. Saya sendiri sangat percaya pada kebahagiaan dengan hidup sederhana. Karena memang itulah kebenarannya. Namun saya tidak bisa. Saya masih punya banyak keinginan dan kadang saya tanpa sengaja merasa iri dengan orang-orang yang bisa berhasil dengan mudahnya. Jadi, saya rasa saya belum bisa menerapkan kebenaran nasehat yang ada di dalam buku ini.

Sebagai anak kecil, seperti Dam, kita percaya akan sebuah dongeng indah berakhir bahagia. Tapi begitu dewasa, semua idealis itu akan runtuh sedikit demi sedikit. Itulah mengapa Dam membenci cerita-cerita ayahnya. Saya mengerti karena saya dulu pernah begitu percaya akan konsep happily ever after. Tapi sayangnya sekarang saya sudah menjadi lebih realistis. Hehehe...

Jadi, buku ini luar biasa menginspirasi bagi saya. Buku ini kembali mengingatkan saya pada betapa sederhananya sebuah kehidupan itu. Buku ini sangat cocok dibaca bagi semua kalangan modern yang butuh pencerahan akan hidup di zaman yang monoton dan membosankan ini. Biarkan orang belajar untuk tidak mengeluh atas kejenuhan dan hidup yang tiada arti.

Cerita yang unik dan bagus. Namun saya tidak suka dengan eksekusi endingnya. Kok jadi malah mengarah ke fantasi? Jika sang ayah tetaplah menjadi pembohong demi melindungi anaknya dari kekejaman dunia luar, rasanya itu lebih bagus (atau tidak?). Tapi itu hanya pendapat saya. Selebihnya, buku ini sangat bagus.

4/5

No comments:

Post a Comment