Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis : Tere-Liye
Tebal : 304 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
"Apa
hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa
tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau
keberuntungan? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan
sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita
seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati?"
Dam dibesarkan ayahnya
dengan dongeng-dongeng hebat. Saat Dam mempunyai idola pemain sepakbola
yang dijuluki si Kapten, sang ayah menceritakan kalau si Kapten dulunya
hanyalah seorang pengantar makanan. Sang Ayah mengenal sang
Kapten dengan sangat baik. Lalu, saat Dam putus asa karena gagal masuk
ke dalam klub renang, sang ayah menceritakan kalau si Kapten dulu pernah
dianggap pendek dan tidak diizinkan masuk klub sepakbola.
Dan dongeng pun terus berlanjut. Sang ayah bahkan terlihat sangat mempercayai cerita-ceritanya yang spektakuler.
Namun, Dam beranjak dewasa. Ia mulai
bisa melihat betapa bodohnya ia dulu sangat mempercayai kisah-kisah
tidak masuk akal yang diceritakan ayahnya. Mana mungkin seorang biasa
dari kota kecil mengenal sang Kapten? Mana mungkin ibunya dulu seorang
artis? Mana mungkin... mana mungkin... mana mungkin...
Dam pun marah. Ia membenci dongeng ayahnya apalagi karena sang ayah terus keukeuh
kalau ia tidak berbohong. Dan kemarahan itu terus terbawa sampai ia
berkeluarga. Dam bahkan tidak menyukai ayahnya yang bercerita bohong
pada anak-anaknya.
"Itulah
hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai
danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya
tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana,
dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas
pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih."
Sampai
akhir pun, Dam masih membenci ayahnya. Namun keanehan-keanehan yang
muncul di hidupnya mulai membuatnya sedikit curiga kalau semua yang
dikatakan ayahnya itu benar. Sayangnya semua kebenaran baru terbuka saat
ayahnya sudah meninggal.
"Ayah
tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana.
Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang
baru dikenal, menghargai kehidupan, dan alam sekitar. Itu jalan
hidup Ayah. Dan itu juga yang dipilih ibu kau. Apakah Ayah dan ibu kau
bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air
kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa
merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki dengan
kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat,
pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak akan menambah
sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kaumiliki."
Kesan :
Hidup
di zaman modern ini sangat berbeda dengan zaman dulu. Anggapan orang
terhadap kebahagiaan ataupun taraf hidup juga sangat berbeda. Mungkin
masih banyak orang yang menganggap kalau kebahagiaan adalah hidup
sederhana dan apa adanya. Tapi saya sebagai orang kota melihat hampir
semua orang yang saya kenal tidak menganggap itu benar. Bagi mereka,
kebahagiaan adalah uang. Semakin banyak uang, semakin besar kebahagiaan.
Dengan memiliki banyak uang, hidup semakin mudah dan kita bisa bebas
membeli apapun yang kita inginkan.
Apakah
itu benar? Saya juga tidak tahu. Mau tidak mau saya terbawa arus zaman
modern. Ayah saya saja selalu mengatakan, "Yang terpenting dalam hidup
adalah uang. Tanpa uang kita tidak berbuat apapun." Pernyataan itu benar
karena dunia memang diatur oleh benda mati itu. Saya rasa orang yang
seperti tokoh ayah dalam buku ini sangat jarang atau mungkin hampir
tidak ada di sekitar saya. Mana ada orang yang mau mengorbankan karir
hebatnya sebagai hakim agung untuk menjadi orang biasa di kota kecil?
Saya rasa semua orang terlalu ambisius untuk bisa lapang dada begitu.
Tapi
itu hanya sebuah anggapan orang. Saya sendiri sangat percaya pada
kebahagiaan dengan hidup sederhana. Karena memang itulah kebenarannya.
Namun saya tidak bisa. Saya masih punya banyak keinginan dan kadang saya
tanpa sengaja merasa iri dengan orang-orang yang bisa berhasil dengan
mudahnya. Jadi, saya rasa saya belum bisa menerapkan kebenaran nasehat
yang ada di dalam buku ini.
Sebagai
anak kecil, seperti Dam, kita percaya akan sebuah dongeng indah
berakhir bahagia. Tapi begitu dewasa, semua idealis itu akan runtuh
sedikit demi sedikit. Itulah mengapa Dam membenci cerita-cerita ayahnya.
Saya mengerti karena saya dulu pernah begitu percaya akan konsep happily ever after. Tapi sayangnya sekarang saya sudah menjadi lebih realistis. Hehehe...
Jadi,
buku ini luar biasa menginspirasi bagi saya. Buku ini kembali
mengingatkan saya pada betapa sederhananya sebuah kehidupan itu. Buku
ini sangat cocok dibaca bagi semua kalangan modern yang butuh pencerahan
akan hidup di zaman yang monoton dan membosankan ini. Biarkan orang
belajar untuk tidak mengeluh atas kejenuhan dan hidup yang tiada arti.
Cerita
yang unik dan bagus. Namun saya tidak suka dengan eksekusi endingnya.
Kok jadi malah mengarah ke fantasi? Jika sang ayah tetaplah menjadi
pembohong demi melindungi anaknya dari kekejaman dunia luar, rasanya itu
lebih bagus (atau tidak?). Tapi itu hanya pendapat saya. Selebihnya,
buku ini sangat bagus.
4/5
No comments:
Post a Comment