Judul : The Poppy War (The Poppy War #1)
Penulis : R.F. Kuang
Tebal : 544 halaman
Penerbit : Harper Voyager
When Rin aced the Keju—the Empire-wide test to find the most talented youth to learn at the Academies—it was a shock to everyone: to the test officials, who couldn’t believe a war orphan from Rooster Province could pass without cheating; to Rin’s guardians, who believed they’d finally be able to marry her off and further their criminal enterprise; and to Rin herself, who realized she was finally free of the servitude and despair that had made up her daily existence. That she got into Sinegard—the most elite military school in Nikan—was even more surprising.
But surprises aren’t always good.
Because being a dark-skinned peasant girl from the south is not an easy thing at Sinegard. Targeted from the outset by rival classmates for her color, poverty, and gender, Rin discovers she possesses a lethal, unearthly power—an aptitude for the nearly-mythical art of shamanism. Exploring the depths of her gift with the help of a seemingly insane teacher and psychoactive substances, Rin learns that gods long thought dead are very much alive—and that mastering control over those powers could mean more than just surviving school.
For while the Nikara Empire is at peace, the Federation of Mugen still lurks across a narrow sea. The militarily advanced Federation occupied Nikan for decades after the First Poppy War, and only barely lost the continent in the Second. And while most of the people are complacent to go about their lives, a few are aware that a Third Poppy War is just a spark away . . .
Rin’s shamanic powers may be the only way to save her people. But as she finds out more about the god that has chosen her, the vengeful Phoenix, she fears that winning the war may cost her humanity . . . and that it may already be too late.
But surprises aren’t always good.
Because being a dark-skinned peasant girl from the south is not an easy thing at Sinegard. Targeted from the outset by rival classmates for her color, poverty, and gender, Rin discovers she possesses a lethal, unearthly power—an aptitude for the nearly-mythical art of shamanism. Exploring the depths of her gift with the help of a seemingly insane teacher and psychoactive substances, Rin learns that gods long thought dead are very much alive—and that mastering control over those powers could mean more than just surviving school.
For while the Nikara Empire is at peace, the Federation of Mugen still lurks across a narrow sea. The militarily advanced Federation occupied Nikan for decades after the First Poppy War, and only barely lost the continent in the Second. And while most of the people are complacent to go about their lives, a few are aware that a Third Poppy War is just a spark away . . .
Rin’s shamanic powers may be the only way to save her people. But as she finds out more about the god that has chosen her, the vengeful Phoenix, she fears that winning the war may cost her humanity . . . and that it may already be too late.
Review:
Saya pikir buku ini standalone. Ternyata bakal jadi trilogi. Kan nyebelin harus nunggu sekuelnya.
Fantasi satu ini cukup berbeda karena mengambil inspirasi budaya Cina. Mungkin itulah kenapa buku ini sangat hype. Dan seperti biasa, saya pun penasaran.
Warning: Spoiler!
Cerita dibuka dengan sangat kuat sekali. Rin si tokoh utama tidak mau dijodohkan dan menikah dengan pria tua bangka. Satu-satunya pilihan hanyalah mengikuti Keju (bukan cheese, ini artinya ujian pemerintah dalam bahasa Mandarin). Kalau dia lulus, dia bisa masuk ke sekolah militer.
Masalahnya, dia tidak punya waktu untuk belajar saat dia harus bekerja di toko orangtua angkatnya. Anak-anak lain juga sudah belajar mempersiapkan diri untuk ujian itu sejak kecil. Tapi Rin pantang menyerah. Dia meminta seorang guru di desanya untuk mengajarinya secara kilat. Gilanya, Rin belajar sangat keras sampai tidak tidur. Dia bahkan mengikatkan tangannya di atas lilin supaya saat ketiduran sewaktu belajar dan tangannya jatuh terbakar api, dia akan langsung bangun karena kesakitan.
Usaha gilanya itu pun berhasil membuatnya masuk ke akademi militer.
Saya selalu suka tema sekolah di buku-buku fantasi. Ada sihir, ada kompetisi, teman-teman baru, dan khusus untuk buku ini... strategi perang. Taktik perang Sun Tzu banyak sekali dibahas dan saya kebetulan baru baca buku itu di akhir tahun 2017. Jadi, masih lumayan ingat. Pokoknya sesi pelajaran dan kompetisi di antara muridnya seru banget. Apalagi ternyata ada guru-guru yang pilih kasih. Karena Rin berasal dari keluarga miskin, banyak yang meremehkannya.
Rin sangat ambisius. Dia bahkan rela membuat dirinya mandul supaya tidak mens dan menjadi lemah setiap sebulan sekali. Demi menang dan mendapatkan sponsor guru, dia belajar mati-matian. Bahkan sekalipun para guru selalu membela teman-temannya yang lain, dia tidak menyerah. Saya benar-benar salut dan takut pada karakter Rin.
Saya harus mengakui 200 halaman pertama buku ini sangat seru hingga saya tidak bisa berhenti bacanya. Tapi... semakin ke belakang, saya merasa buku ini menjadi kehilangan daya tariknya.
Alur buku ini terlalu cepat. Tahu-tahu saja, Rin sudah lulus. Lalu mereka menghadapi perang dan Rin berhasil mempelajari ilmu shaman tersembunyi dengan sangat cepat. Pokoknya saya merasa Rin terlalu mudah mendapatkan kekuatannya. Orang-orang di sekitarnya banyak yang mati dengan sangat cepat dan lalu dilupakan begitu saja.
Oh, ya. Buku ini sangat gore karena terinspirasi oleh tragedi Kota Nanjing saat dibantai oleh Jepang. Saya sampai syok dan merinding bacanya walaupun sebenarnya penjelasan berdarah-darah seperti itu tidak terlalu penting dan harus dibahas sampai berhalaman-halaman. Lebih baik menyusun alur dan menuliskan interaksi di antara Rin dengan orang-orang di sekitarnya. Karakter Rin yang tadinya sangat kuat di awal menjadi tidak menarik di akhir karena saya tidak lagi memahami jalan pikirannya. Tahu-tahu dia sudah beraksi dan memamerkan kekuatan dengan hebatnya. Cape, deh. Dan keputusan dia membantai musuhnya itu lumayan bikin kaget. Wow, tega sekali! Saya sih tidak masalah dengan karakter yang tidak sepenuhnya baik, tapi saya tetap tidak bisa menangkap motivasi kuat yang mendorong Rin untuk melakukan itu. Kurang meyakinkan.
Yah, cukup seru. Saya penasaran dengan aspek ilmu shaman dan tempat-tempat lain di dunia Rin. Cuma saya memang jauh lebih suka cerita yang character driven dibandingkan plot driven.
4/5
No comments:
Post a Comment