Friday 8 February 2019

Lord of Shadows


Judul : Lord of Shadows (The Dark Artifices #2)
Penulis : Cassandra Clare
Tebal : 699 halaman
Penerbit : Simon & Schuster Children Books

Emma Carstairs has finally avenged her parents. She thought she’d be at peace. But she is anything but calm. Torn between her desire for her parabatai Julian and her desire to protect him from the brutal consequences of parabatai relationships, she has begun dating his brother, Mark. But Mark has spent the past five years trapped in Faerie; can he ever truly be a Shadowhunter again?

And the faerie courts are not silent. The Unseelie King is tired of the Cold Peace, and will no longer concede to the Shadowhunters’ demands. Caught between the demands of faerie and the laws of the Clave, Emma, Julian, and Mark must find a way to come together to defend everything they hold dear—before it’s too late.


Review:
Yasss!!! Cassandra Clare tidak mengecewakan sama sekali. The Angst!!! Buku ini penuh dengan hal-hal angsty yang bikin hati tergugah. Mantap. Lagipula karena saya banyak baca buku, terkadang hati saya sudah terlalu dingin untuk merasakan emosi-emosi ringan. Saya mau yang dalam macam hubungan Julian dan Emma biar kerasa gitu. Hahahahaha...

Karena ini buku kedua, jelas sekali saya tidak bisa menceritakan apa-apa tanpa ada spoiler

Warning: Spoiler!

Dari awal saya membaca seri Shadowhunters, yang saya suka adalah dunianya. Hidup dan bekerja sebagai seorang warrior pembasmi iblis, punya tato keren yang bisa memberikan kekuatan super, dan masih bisa menikmati hal-hal normal di dunia nyata. Seberapa keren sih itu? Yah, daripada kerja di belakang meja sebagai akuntan gitu. Saya menganggap seri Shadowhunters sebagai salah satu bentuk pelarian dan hiburan yang menyenangkan. Saya tidak pernah menganggap plot dan konfliknya bagus. Tapi, Cassandra Clare banyak sekali menciptakan karakter-karakter yang hidup dan sangat saya suka. Magnus Bane, Simon Lewis, Jem Carstairs, contohnya. 

Dan tentu saja keluarga Blackthorn di seri The Dark Artifices ini. 

Julian Blakthorn mungkin tokoh favorit nomor satu di daftar saya. Kenapa? Karena dia tidak sepenuhnya baik. Dia punya banyak kelemahan dan luka yang bikin dia lumayan broken. Sensitif dan sangat empatik. INFJ tulen, lah. Dia menyayangi dengan intens hingga tahap bisa mengorbankan dunia demi orang-orang yang dia sayangi. Mungkin terkesan mengerikan ya. Tapi saya bisa relate dengan kualitas itu. Apalagi dengan latar belakang hidupnya yang lumayan sulit. Julian adalah sosok yang kompleks dan juga sangat bisa diandalkan. Jika saya bisa berteman dengan sosok seperti Julian Blackthorn, saya tahu dia bakal selalu ada untuk membantu saya. Membantu ke titik terkecil, bahkan jika itu akan merugikan orang lain. Tapi, saya bukan tipe yang peduli dengan banyak orang selain orang-orang terdekat saja. So, who cares? Ya, saya tahu saya jahat.

“Break my heart,” he said. “Break it in pieces. I give you permission.” (Ampun, Julian. Saya merinding bacanya. One of the most romantic lines I've read. Ya, ya, ya, saya tahu ini cheesy)

Yang kedua adalah Emma Carstairs. Dibandingkan Clary dan Tessa, Emma jauh lebih asyik dijadikan teman. Dia lucu, sarkastis, penyayang, dan selalu siap melindungi. Walaupun karakternya agak timpang dibandingkan kekerenan seorang Julian, saya lumayan suka hubungan terlarang di antara mereka. Saya kan suka baca yang angsty, jadi saya suka banget macam begini. Apalagi saya tidak melihat jalan keluar untuk hubungan di antara dua parabatai. Sejarah dan informasi dari orang-orang di buku ini menunjukkan hasil akhir yang buruk. Jadi, saya beneran penasaran. Saya mau Julian bahagia. Kasihan amat sih ini orang, sedih dan berat banget hidupnya dari umur dua belas tahun. Sumpah, saya selalu mau nangis kalau ingat cerita soal Julian yang masih kecil menyeret plastik berisi grocery yang berat setiap minggu bolak-balik dari supermarket yang letaknya jauh supaya adik-adiknya bisa makan. Dia juga masih harus belajar mengurus institut karena pamannya gila. Ampun, dah. Cassandra Clare sengaja banget menciptakan karakter yang bisa bikin saya sakit hati dan simpatik seperti ini.

Lalu masih ada Ty Blackthorn, tokoh autistik yang sangat adorable. Keinginannya untuk bisa mandiri dan diterima di masyarakat benar-benar bikin saya kagum. Hubungannya dengan Livvy, saudara kembarnya juga bagus banget. Bagaimana saya bisa tidak suka dengan tokoh ini? 

Oh, masih ada Kit atau Christopher Herondale. Kayaknya dia Herondale pertama yang saya suka. Diam-diam, tapi sarkastis dan lucu. Apalagi karena dia satu-satunya yang mengerti soal budaya di luar sana. Bayangkan saja sewaktu dia bertemu dengan Kieran, kaum Faery yang bicaranya super formal dan aneh. Analisis di kepalanya lucu amat. Dan sumpah atulah, saya selalu tertawa tiap kali baca kaum Faery lagi bicara dengan gaya puitisnya. Parah banget. Hahahaha...

Dan terakhir ada Mark Blackthorn. Si konyol yang akhirnya mulai belajar untuk beradaptasi dengan dunia Shadowhunter. Saya sempat mengira dia bakal masuk ke dalam cinta segitiga di antara Julian dan Emma. Setelah apa yang Emma putuskan di akhir buku pertama, ternyata Mark akhirnya cuma berteman dengan Emma. Untung saja. Saya jauh lebih suka begini. Dan saya lumayan suka hubungannya dengan Christina. Tapi masih ada masalah soal Kieran. Kacau lah. Sepertinya ini mau jadi hubungan polyamory?

Oke, setelah saya menyebutkan tokoh-tokoh yang saya suka, saya mau menyebutkan satu orang bernama Zara Dearborn. Astaga. Saya tidak pernah membenci satu karakter seperti dia ini. Saya tidak tahan dengan paham bigotry Zara yang tidak masuk akal itu. Kebenciannya terhadap kaum Downworlder sangat luar biasa. Bukan itu saja. Dia juga tidak suka orang autis, gendut, pecinta Downworlder, aneh, dsb. Kata-kata ejekan yang keluar dari mulutnya bikin saya pengen sumpal itu mulut. Gila, dah. 

Yah, begitulah. Seperti yang saya bilang, saya baca buku ini demi dunia dan karakter-karakternya. Saya tidak begitu peduli dengan konflik antara Shadowhunter dan Faery. Saya lebih suka membaca politik rasialis yang ada di antara anggota-anggota pemerintahan Shadowhunter. Petualangan-petualangannya masih seru karena saya peduli sama semua karakternya. Apalagi banyak tokoh dari buku-buku sebelumnya yang muncul. Nostalgia banget. Bahkan ada Jessamine dari Institut London. Alec dan Magnus juga lumayan sering muncul. Tahulah si Magnus. Gayanya yang eksentrik memang selalu menarik untuk dibaca. Oh, si Alec keren banget di akhir sewaktu menyemprot si Zara. 

Dan endingnya... Oke, saya sama sekali tidak menyangka. Saya baca bolak-balik saking tidak percaya Cassandra Clare setega itu. Setelah bikin saya jatuh cinta dengan seluruh anggota keluarga Blackthorn, penulis berani sekali membunuh salah satunya. Saya merasa itu masuk akal karena anggota keluarga Blackthorn lumayan banyak. Harus ada yang mati supaya bisa menggugah hati dan tidak perfect ending. Cuma saya sangat syok karena kejadiannya cepat banget. Kasihan Julian. Dia bukan hanya seorang kakak. Dia membesarkan adik-adiknya seperti orangtua. Bayangkan saja bagaimana rasanya kehilangan anak yang sangat disayangi. 

Saya terpaksa langsung baca buku ketiganya karena endingnya menggantung. Padahal saya biasanya tidak suka baca maraton untuk buku-buku berseri.

5/5

No comments:

Post a Comment