Sunday 19 July 2015

Unravel Me


Judul : Unravel Me (Shatter Me #2)
Penulis : Tahereh Mafi
Tebal : 461 halaman
Penerbit : Harper Collins

Juliette is still haunted by her deadly touch. But now that she has teamed up with other rebels with powers of their own, she'll be able to fight back against The Reestablishment to save her broken world. With the help of these new allies, she'll also finally learn the secret behind Adam's—and Warner's—immunity to her killer skin.


Review:
Saya merasa berhutang pada Tahereh Mafi karena memberikan satu bintang untuk buku pertama seri ini. Saya bahkan mencoba mengingat-ingat lagi pengalaman saya selama membaca Shatter Me dan tetap saja saya tidak suka. Apalagi saya ingat dia menggambarkan Adam sebagai vanilla regurgitation (vanila setengah tercerna yang naik lagi dari lambung ke kerongkongan). Pokoknya saya ingat sepanjang membaca saya sering mengernyit dengan bahasanya yang aneh.

Tapi Shatter Me adalah buku pertama Tahereh Mafi. Saya yakin semua penulis mengawali karir mereka sebagai seorang amatir yang sedang belajar. Jadi, saya pun ingin tahu perkembangan penulis di buku keduanya.

Ternyata memang banyak sekali kemajuan. Di buku ini gaya penulisan Tahereh Mafi bikin saya cukup menikmati ceritanya. Metafora yang ditulisnya masuk akal dan dia tidak lagi banyak menggunakan angka-angka lebay untuk mendeskripsikan sesuatu. Yah, masih ada sih beberapa yang aneh.

Oke, abaikan kegilaan saya pada diksi. Sekarang saya mau ngomong soal ceritanya.

Buku kedua ini lebih bagus dari segi cerita juga penokohan. Saya suka kehidupan Juliette di markas The Establishment. Sangat sehari-hari walau ada diskusi tentang perangnya. Saya mulai bisa memahami dunia distopia yang dibangun oleh penulis sekalipun masih kurang detail. Ada pemimpin diktator yang membagi daerahnya ke dalam sektor-sektor, sementara rakyat dibiarkan miskin dan merana. The Establishment muncul karena adanya keinginan untuk memberontak dan anggota mereka banyak yang memiliki kekuatan super. 

Salah satu hal yang paling saya suka di buku ini adalah pengembangan karakter Juliette. Dia yang tadinya lemah dan labil mulai bangkit melawan. Saya suka sekali pas adegan dia menembak kedua kaki Anderson, si pemimpin diktator. Gahar sekali uy. Tapi walaupun begitu, dia masih terkesan lemah, masih tetap belum menerima dirinya sendiri. Terus, saya juga suka dengan Kenji Kishimoto yang lucu dan pecicilan. Yah, saya memang lemah sama karakter jagoan yang humoris dan jumpy. Saya selalu suka tokoh seperti itu di buku manapun.

Dan yang saya tidak sangka adalah Warner. Wew. Saya bahkan tidak peduli dengan karakter itu di buku pertama. Tapi di sini? Such an intriguing character. Saya selalu suka dengan tortured hero yang punya banyak konflik di pikirannya. Warner ternyata memiliki masa kecil yang kasihan sekali. Ayahnya (Anderson yang menyebalkan itu) suka menyiksa dan menghinanya. Warner selalu berusaha keras untuk membuat ayahnya terkesan walau tidak pernah berhasil. Ibunya terlalu lemah untuk melawan sehingga Warner selalu jadi korban. Pokoknya saya jadi suka sama tokoh ini karena saya dibuat simpatik dengan rasa kesepian dan kesendiriannya.

Hal terakhir yang ingin saya bahas adalah romance-nya. Saya akhirnya sadar kalau buku ini memang fokus pada romance dan bukan pada unsur distopianya. Dan saya harus bilang romance-nya bagus sekali. Saya jarang dibuat merinding oleh kisah romance, tapi Tahereh Mafi bisa membuat saya ikutan meleleh seperti Juliette di hadapan seorang Warner. Saat Warner mengulang isi diari Juliette tanpa membacanya, saya langsung merinding sendiri. I didn't see that coming. Saya bisa merasakan sikap obsesif dan intens Warner. Saya juga bisa merasakan ketulusan dan rasa sayang Warner pada Juliette. Saya bahkan bisa mengerti kenapa Juliette tidak bisa berkata apa-apa saat Warner sudah mengeluarkan jurusnya. Pokoknya Warner membuat saya melupakan Adam seperti Juliette. Hebat banget memang si Warner ini. Biasanya saya kesal kalau tokoh utama mulai selingkuh hati. Tapi di sini saya sangat bisa mengerti alasannya.

"Juliette," he says and he mouths the name, barely speaking at all, and he's pouring molten lava into my limbs and I never even knew I could melt straight to death.
"I want you," he says. He says "I want all of you. I want you inside and out and catching your breath and aching for me like I ache for you." He says it like it's a lit cigarette lodged in his throat, like he wants to dip me in warm honey and he says "It's never been a secret. I've never tried to hide that from you. I've never pretended I wanted anything less."
"You-you said you wanted f-friendship-"
"Yes," he says, he swallows, "I did. I do. I do want to be your friend. He nods and I register the slight movement in the air between us. "I want to be the friend you fall hopelessly in love with. The one you take into your arms and into your bed and into the private world you keep trapped in your head. I want to be that kind of friend," he says. "The one who will memorize the things you say as well as the shape of your lips when you say them. I want to know every curve, every freckle, every shiver of your body, Juliette-"
"No," I gasp. "Don't-don't s-say that-"
I don't know what I'll do if he keeps talking I don't know what I'll do and I don't trust myself
"I want to know where to touch you," he says. "I want to know how to touch you. I want to know how to convince you to design a smile just for me." I feel his chest rising, falling, up and down and up and down and "Yes," he says. "I do want to be your friend." He says "I want to be your best friend in the entire world."
I can't think.
I can't breathe
"I want so many things," he whispers. "I want your mind. Your strength. I want to be worth your time." His fingers graze the hem of my top and he says "I want this up." He tugs on the waist of my pants and says "I want these down." He touches the tips of his fingers to the sides of my body and says, "I want to feel your skin on fire. I want to feel your heart racing next to mine and I want to know it's racing because of me, because you want me. Because you never," he says, he breathes, "never want me to stop. I want every second. Every inch of you. I want all of it."
And I drop dead, all over the floor.    (Yes, I drop dead too... It's too cheesy much)

Di buku ini akhirnya saya mengetahui kenapa hanya Adam dan Warner bisa menyentuh Juliette dengan aman. Cukup masuk akal. Dua-duanya ternyata juga punya kemampuan yang berbeda. Keren!

Cuma kenapa saya jadi agak kesal dengan Adam yah? Bukan gara-gara Warner. Tapi si Adam agak nagging dan banyak memohon ke Juliette di sini. Kebetulan dia belum bisa mengontrol kemampuan nulifikasinya. Sebelumnya dia bisa aman menyentuh Juliette karena tanpa sadar tubuhnya memberikan pertahanan secara langsung. Tapi karena dia mulai merasa nyaman di dekat Juliette, terkadang pertahanan itu lepas begitu saja sehingga ia pun kesakitan. Terus-terang saya tidak mengerti kenapa Juliette malah memutuskan Adam gara-gara itu. Memang tujuannya baik. Dia tidak ingin Adam sampai celaka gara-gara kekuatannya. Tapi tidak perlu sampai ekstrim begitu. Kesannya dingin dan kejam.

Sekarang saya jadi penasaran dengan buku lanjutannya.

3/5

No comments:

Post a Comment