Judul : A Tree Grows in Brooklyn
Penulis : Betty Smith
Tebal : 664 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
My rating : 5/5
Banyak cerita fiksi menceritakan tentang keanehan-keanehan dalam dunia fantasi, cerita cinta seperti dunia dongeng, misteri detektif yang sangat jenius, dan hal-hal luar biasa lainnya.
Sementara buku ini hanya bercerita tentang kehidupan. Kita tidak akan menemukan kejadian-kejadian luar biasa di dalamnya. Kita hanya akan menemukan seorang anak kecil bernama Francie Nolan menceritakan apa yang dia lihat dan dia alami seiring dirinya bertambah dewasa.
Francie Nolan hidup di sebuah pemukiman miskin di Williamsburg, Brooklyn. Sehari-hari ia berjalan melintasi jalan di kotanya itu dan bertemu dengan orang-orang yang menurutnya aneh. Ada pemilik toko yang membeli sampah yang dikumpulkannya, ada penjaga perpustakaan yang tidak pernah mendongak melihat wajahnya setiap ditanya, ada penjual lotre mainan anak-anak, dan masih banyak lagi. Bersama Neeley, adiknya, mereka menjelajahi tempat mereka tinggal seperti layaknya anak kecil yang berpetualang.
Ayah Francie, John seorang pemabuk. Tapi Francie sangat menyayangi ayahnya itu. Kemampuan John hanyalah bernyanyi, namun sekalipun begitu ia adalah ayah yang tulus, lucu, dan sangat bangga pada anak-anaknya. Saya sendiri terharu melihat usaha-usaha John untuk membuat anak-anaknya senang. Hanya dari hal-hal kecil, John benar-benar memperhatikan kedua anaknya.
Ibu Francie, Katie adalah wanita berkemauan keras dan berpendirian teguh. Dialah tulang punggung keluarganya karena John tidak begitu bisa diandalkan. Keinginannya cuma satu. Ia ingin semua anaknya berpendidikan. Sekolah, sekolah, sekolah... supaya mereka bisa terlepas dari jerat kemiskinan dan hidup dengan lebih baik. Saya mengagumi Katie karena kerja kerasnya. Bahkan saat dia hamil pun, dia tetap ngotot terus bekerja. Demi anak-anaknya, demi supaya mereka bisa makan, demi supaya mereka tetap bisa sekolah.
Banyak sekali kejadian kecil di buku ini yang membuat saya mencintai semua tokoh-tokohnya dengan segala kekurangannya. Francie yang keras kepala namun juga sangat dewasa. Ada satu kali dia mau disuntik. Sang dokter menghinanya sebagai anak kecil yang kotor dan miskin. Tapi Francie terakhir bilang, "Adikku yang berikut. Tangannya sama kotor dengan tanganku, jadi jangan kaget. Dan kau tidak perlu memberitahunya. Kau sudah memberitahuku."
Francie senang membaca dan berimajinasi. Ia tidak punya teman dan ia melampiaskan segala emosinya dalam tulisan. Ia selalu mendapatkan nilai A untuk karangannya di sekolah. Tapi sejak ayahnya meninggal dan hidup di keluarganya jauh lebih sulit, ia tidak lagi suka mengarang yang indah-indah. Dia menceritakan kemiskinan, kelaparan, sebagaimana adanya. Dan gurunya memberi dia nilai C.
"Ada apa dengan tulisan-tulisanmu, Frances?"
"Aku tidak tahu."
"Kau salah satu murid terbaikku. Karanganmu sangat indah. Aku menikmati karya-karyamu. Tapi yang belakangan ini..."
"Aku memeriksa ejaannya, menulis dengan hati-hati, dan..."
"Aku berbicara tentang topikmu."
"Kaubilang kami bisa memilih topik kami sendiri."
"Tapi kemiskinan, kelaparan, dan mabuk-mabuk adalah topik yang tidak baik. Kita semua tahu hal-hal itu ada. Tapi orang tidak menulis soal itu semua."
"Orang menulis tentang apa?"
"Orang menggali imajinasi dan menemukan keindahan di sana. Seorang penulis, sama seperti seniman, harus selalu mencari keindahan."
"Apa itu keindahan?"
"Menurutku tidak ada definisi yang lebih baik daripada kata Keats: 'Keindahan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah kebenaran.'"
"Kisah-kisah itu benar."
"Omong kosong! Yang kita maksud kebenaran, contohnya seperti bintang-bintang yang selalu ada, matahari yang selalu terbit, serta sifat baik manusia, kasih ibu, dan cinta tanah air."
"Aku mengerti."
"Senang mabuk-mabukan bukanlah kebenaran ataupun keindahan. Itu kejahatan. Pemabuk harusnya berada di penjara, bukan dalam cerita. Dan kemiskinan. Tak ada alasan untuk itu. Ada cukup banyak pekerjaan bagi semua yang ingin bekerja. Orang-orang jadi miskin karena terlalu malas untuk bekerja. Kemalasan tidak indah."
(Bayangkan Mama malas!)
"Kelaparan tidak indah. Itu juga tidak perlu terjadi. Kita punya kegiatan derma. Tak seorang pun perlu kelaparan. Nah, aku bukan orang sombong. Aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ayahku pendeta dengan gaji yang sangat kecil."
(Tapi itu tetap gaji, Miss Garnder.)
"Satu-satunya bantuan yang dimiliki ibuku adalah sederet pembantu yang tidak berpengalaman, kebanyakan gadis-gadis desa."
(Oh begitu. Kau miskin, Miss Garnder, miskin tapi punya pembantu.)
"Kami sering tidak punya pembantu dan ibuku harus melakukan semua pekerjaan rumah sendiri."
(Sedangkan ibuku, Miss Garnder, harus melakukan semua pekerjaan rumah sendiri, dan ya, berikut sepuluh kali lipat kegiatan bersih-bersih dibanding itu.)
"Aku ingin masuk universitas negeri, tapi kami tidak punya biaya. Ayahku harus mengirimku ke sekolah tinggi biasa."
(Tapi akuilah kau sama sekali tidak kesulitan mendapat pendidikan tinggi.)
"Dan percayalah, orang miskin yang kuliah di situ. Aku juga tahu apa artinya lapar. Gaji ayahku sering tersendat dan tak ada uang untuk membeli makan. Kami pernah hanya bisa minum teh dan makan roti selama tiga hari."
(Jadi kau juga tahu apa artinya lapar.)
"Tapi aku pasti jadi orang membosankan kalau aku hanya menulis tentang kemiskinan dan kelaparan, betul, kan? Betul, kan?"
"Ya, Ma'am."
Saya ikut kesal, marah, iri hati, juga senang bersama Francie. Saya ikut melihat bagaimana Francie berubah dari anak-anak yang percaya pada dongeng menjadi remaja berpikiran realistis dan menyadari kenyataan di sekitarnya. Saya harus acungkan jempol pada setiap tokohnya karena mau berjuang dan bersusah payah bekerja demi terus hidup dan bertahan.
"Tuhan yang baik, biarkan aku menjadi sesuatu setiap menit dalam setiap jam hidupku. Biarkan aku bahagia; biarkan aku sedih. Biarkan aku kedinginan; biarkan aku merasa hangat. Biarkan aku kelaparan... terlalu banyak makan. Biarkan bajuku compang-camping atau rapi. Biarkan aku jadi tulus-jadi penuh muslihat. Biarkan aku jujur; biarkan aku jadi pembohong. Biarkan aku jadi terhormat dan biarkan aku berdosa. Tapi biarkan aku jadi sesuatu dalam setiap menit yang penuh berkah. Dan saat aku tidur, biarkan aku terus bermimpi supaya tak ada satu pun kepingan kehidupan yang terlewat."
Novel klasik ini meninggalkan kesan warm, bittersweet, and even it made me smile after I finished the last sentence. Hidup ya seperti itu. Ada senangnya, ada susahnya. Bahkan di saat susah pun, akan selalu ada pertolongan jika kita sungguh-sungguh berdoa dan meminta. Betapa pentingnya menjaga hubungan antar sesama keluarga dan bagaimana perbuatan baik akan berbuah pada kehidupan yang baik juga.
Seperti Francie dan Neeley, saya sangat menikmati membaca buku ini. Bagi mereka, pahit-manis kehidupan miskin adalah anugerah karena mereka bisa bersenang-senang jauh lebih banyak daripada anak-anak kecil lainnya.
Dan bagi saya sendiri, novel ini mengajari bagaimana caranya mencintai sebuah kehidupan.
Sekilas tentang penulis :
Betty Smith bernama asli Elisabeth Wehner lahir di tempat yang sama dengan Francie Nolan pada tanggal 15 Desember 1896. Sebagai putri dari imigran Jerman, ia harus hidup sebagai anak miskin di Williamsburg, Brooklyn, dunia yang ia deskripsikan dengan detail di novel A Tree Grows in Brooklyn. Ia bahkan sempat keluar dari sekolah di usia 14 tahun demi membantu menafkahi ibunya. Setelah menikah dengan George H.E. Smith, Betty pindah ke Ann Arbor, Michigan. Mereka punya dua anak perempuan, Nancy dan Mary. Seperti tokoh Francie, ia tidak pernah menamatkan SMA-nya. Ia belajar secara autodidak sehingga akhirnya boleh mengambil beberapa mata kuliah di universitas. Ia menyukai jurnalisme, sastra, drama, serta menulis.
..hidup adalah anugerah ya.. sepertinya buku yg menarik
ReplyDeleteiya, bukunya menarik banget nih :)
ReplyDelete