Thursday, 23 June 2011

Remember When


Judul : Remember When
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Kelebihan dari Gagasmedia : covernya cantik banget. Ampun, deh. Bagi gue yang penggemar warna ijo, ini buku super keren deh. Covernya, maksudnya.

Resensi :
Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.

Bagi kita, senja selalu sempurna; bukankah sia-sia jika menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan dia, juga kisahku, aku dan lelakiku. Tak ada bagian yang perlu kita ubah. Tak ada sela yang harus kita isi. Bukankah takdir kita sudah jelas?

Lalu, saat kau berkata, "Aku mencintaimu", aku merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katamu itu ambigu? Atau, aku saja yang menganggapnya terlalu saru?

"Aku mencintaimu," katamu. Mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kau kalau kita tak pernah bisa berada dalam cerita yang sama, dengan senja yang sewarna?

Takdir kita sudah jelas. Kau, aku, tahu itu.


Tampaknya penerbit Gagasmedia spesialis cerita mellow dengan resensi di belakang buku yang tidak jelas. Coba, apa yang dapat lu tangkap dari sinopsis di atas? Nggak ada.

Tapi gue sangat tertarik beli buku ini karena gue baca sinopsis Kenangan Abu-Abu di goodreads. Bagus banget, kayaknya. Soalnya menceritakan dilema. Apalagi dilema adalah tipe cerita favorit gue. Nah, katanya Remember When ini revisi ulangnya.  

Jadi, nggak banyak cingcong gue beli. Lagian gue cukup tau pengarangnya. Gue pernah baca bukunya yang lain, judulnya Refrain. Yah, Refrain sih bagus tapi biasa aja.

Empat bintang.

Gue kagak pernah kasih cerita teenlit dan romance remaja lebih dari tiga bintang biasanya. Tapi Remember When melampaui batas itu sekalipun tidak sebagus yang saya kira sehingga tidak bisa dapat lima bintang. Yah, gue akui gue emang pelit dalam penilaian. Lima bintang hanya untuk buku-buku yang bisa bikin gue nggak tidur dan nggak bisa berhenti baca. 

Yang bikin novel ini bagus itu banyak banget. Prolognya, contohnya. Sewaktu Freya sedang melihat foto masa SMA-nya dan langsung mengingatkannya ke masa silam. Gue langsung tersihir. Beneran. Gue suka banget cerita yang ada flashback dan mengingat masa lalu. Kenangan. Rasanya seperti... magic.

Setelah itu cerita tentang awal masa SMA. Tentang persahabatan dan jatuh cinta. Gue suka tokoh-tokohnya yang sangat berbeda-beda. Walaupun pergantian sudut pandang cukup mengganggu, tapi gue suka banget anehnya. Kerasa banget perbedaan tokoh-tokohnya. Bikin makin sedih apalagi Winna Efendi sangat rapi dalam menulis. Kata-katanya gue banget deh. Gue emang suka tipe mellow dan lebay.    

Lima sudut pandang dengan empat tokoh utama. Freya si pintar yang selalu sendirian (bikin gue kasian dan simpati sama ini anak), Moses yang dewasa, Adrian yang gaul, Gia si ceria, dan Erik si sahabat setia.

Ceritanya Moses pacaran sama Freya, sementara Adrian dengan Gia. Tapi waktu Adrian kehilangan ibunya, dia berubah. Segalanya nggak akan sama lagi. Nah, dari situ masalah mulai muncul.


Terus-terang kalau di dunia nyata ada orang kayak Adrian, gue pasti nggak simpatik. Hanya karena ibunya meninggal, dia bisa berpindah hati begitu aja. Apalagi dia udah ML sama si Gia. Itu udah tanggung jawabnya untuk tidak sembarangan jatuh cinta. Terutama jatuh cinta pada pacar sahabatnya sendiri.


Gue suka sih bagian Adrian yang sangat terus-terang. Justru karena itu semuanya bisa terbongkar. Hanya saja itu jadi nyakitin semuanya. Dan korbannya selalu cewek, si Freya. Adrian sih tetep aja pacaran sama si Gia yang nggak mau ngelepasin karena udah ngasi segalanya buat cowok itu. Freya putus sama Moses dan kehilangan Gia yang adalah sahabatnya. 


Gue ngerti bagian Freya. Dia emang pacaran sama Moses hanya karena Moses yang nyatain cinta ke dia. Freya sendiri mungkin nggak bener-bener cinta sama Moses. Apalagi tipe cewek kayak gini mendambakan percintaan yang romantis. Padahal Moses orangnya kaku dan sangat menghargai cewek sampai takut nyium si Freya. Soal sifat Freya yang pendiam ini sih oke-oke aja. Cuma entah kenapa gue dapet kesan cewek ini lemah banget. Terutama karena penilaian dari sudut pandang Erik yang banyak berpikir soal luka masa lalu Freya setelah kematian ibunya. Aneh banget aja. Kok ibunya meninggal saja bisa sampai separah itu ya? Padahal ibunya meninggal saat dia masih kecil. Apa kalau ada kejadian lebih bombastis, terus dia mau murung dan sedih terus gitu? Lalu Erik terlalu melindungi Freya. Seakan cewek ini nggak bisa apa-apa. Dan gue tidak pernah suka dengan tokoh cewek yang lemah. Gue suka yang tough dan strong.

Dan Adrian yang meledak-ledak dan spontan mungkin menarik bagi Freya. Apalagi setelah ibu Adrian meninggal dan hanya dirinyalah yang memahami karena pernah mengalami hal yang sama. Simpati berkembang menjadi cinta. Menyayangi jadi membutuhkan. 

Itulah dilema. Saat lu nggak bisa memilih kebahagiaan tanpa menyakiti yang lain. Saat berkorban terlihat lebih baik dari segalanya. Sayangnya karena itulah buku ini menceritakan terlalu banyak luka dan sakit hati.

Lalu, epilognya terlalu cepet. Tiba-tiba udah dua tahun kemudian. Yah, tapi memang tipe ceritanya beralur cepet. Jadi, oke juga.


"Being able to live with or without someone is a matter of perspective."

"When you make a decision, you deal with consequences."

Dua kalimat paling mengena ke gue dari bagian epilog. Kalimat ini diucapkan oleh teman Gia di London bernama Kylie. Mungkin itu sebabnya akhirnya Gia melepaskan Adrian dan mau berbaikan dengan Freya lagi.


Tapi tetap saja. Terlalu banyak luka, sakit hati, dan kesedihan yang belum hilang.


Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihatnya keluar dari gerbang. Dia masih jangkung seperti dulu, bahkan lebih tinggi dari yang terakhir kuingat. Rambutnya kecokelatan, agak panjang menutupi telinga. Senyumnya masih sama. Dia masih seperti dulu.

Senyum membeku di wajahnya ketika dia melihat Moses. Lalu Erik. Lalu menyapukan pandangan kepadaku. 

Aku berdiri di tengah bandara yang ramai sesak dengan orang, manusia yang melambaikan selamat tinggal, dan orang-orang yang baru saja bertemu kembali. Pikiranku mendadak kosong, seribu satu hal yang tadinya kupikirkan mendadak lenyap. Sudah bertahun-tahun kuyakinkan diri sendiri bahwa aku telah melupakan pria ini, tetapi begitu dia muncul, aku menyangkal semua pernyataan itu dalam hati. Aku masih menyayanginya.

"Freya."

Suara itu .

Aku merindukannya. Tanpa terasa, air mata menetes, bulir bening mengalir di pipiku tanpa dapat kuhentikan. 

"Selama ini..., kamu baik-baik saja?"

Ada berapa banyak hal yang belum sempat aku sampaikan, Adrian?

Oh, bagian itu paling mantap. Gue paling suka bertemu kembali. Semua orang yang suka membahas novel dengan gue pasti tau berapa sukanya gue sama adegan bertemu kembali.

Empat bintang buat Winna. Suka banget sama gaya penulisannya. Gue banget soalnya.

Kapan-kapan gue jadi pengen nulis soal hal-hal yang gue nilai dari sebuah novel. Hehehe...

Another day with a lot of assignments... Dreamer is wondering why studying is so torturing...


:)  

No comments:

Post a Comment