Tuesday, 31 July 2012

When Strangers Marry


Judul : When Strangers Marry (Vallerands #1)
Penulis : Lisa Kleypas
Tebal : 390 halaman
Penerbit : Avon Books

Lysette lebih baik kelaparan daripada menikah dengan Etienne Sagesse. Pria itu cabul dan sombong. Karena itulah ia pun kabur dari ayah tirinya yang kejam dan tantenya yang lemah.

Kotor dan putus asa, ia masuk ke tanah milik keluarga Vallerand. Ia diselamatkan kedua anak kembar bernama Justin dan Phillippe. Dan ia bertemu sang pemilik rumah, Max Vallerand. 

Max punya dendam pada Etienne Sagesse karena dulu Etienne pernah punya affair dengan almarhum istri Max, Corinne. Kebetulan Lysette adalah tunangan Etienne. Demi membalas dendam, Max ingin mempermalukan Etienne dengan menyandera Lysette.

Duel pun berlangsung. Max menang, namun ia tidak membunuh Etienne. Lalu untuk memulihkan nama baik Lysette, ia pun melamar wanita itu.

Mereka adalah sesama orang asing. Tidak saling kenal dan hanya tertarik secara fisik terhadap satu sama lain. Namun mereka saling menghormati. Dari sikap Max yang perhatian pada kedua anaknya dan tingkah laku pria itu sehari-hari, Lysette yakin kalau Max tidak seburuk yang dibicarakan orang. Cerita yang beredar adalah kalau Max membunuh istri pertamanya karena affair wanita itu dengan Etienne. Memang zaman dulu perselingkuhan itu tak termaafkan. Jadi sekalipun semua orang takut pada Max, mereka masih menghormati pria itu.

Berada dalam keluarga besar Vallerand membuat Lysette bahagia. Kedua anak kembar Max menyukainya sekalipun tampaknya Justin agak terlalu liar dan suka membuat masalah. Hanya saja Etienne masih mengintai di sekitar hidupnya. Dan pembunuh Corinne sesungguhnya tidak suka kalau Lysette mencari tahu tentang masa lalu Max.

Kesan :
Saya suka dengan hubungan aneh antara Max dan Lysette. Tidak romantis seperti historical romance lainnya, malah agak datar dan realistis. Aneh kan? Seharusnya saya bosan. Tapi nggak ternyata. Justru saya nggak begitu bisa menebak jalan ceritanya. Masalahnya di tengah-tengah buku mereka berdua sudah aman tenteram dan saling percaya. Jadi ada masalah apa lagi?

Ternyata masih ada soal pembunuhan Corinne. Dan seperti biasa Lisa Kleypas nggak pernah bisa menyembunyikan tokoh jahatnya. Langsung ketebak dari awal. 

Tapi... yang paling saya suka dari cerita ini adalah... Justin Vallerand!!! Ih, anak nakal dan arogan ini lucu sekali. Belum lagi jago berantem dan sangat pintar. Ia sangat awas terhadap sekitarnya sehingga bisa menebak siapa yang jahat dan yang nggak. Aihhh... pasti kalau sudah besar, si Justin ini keren sekali. Masih 15 tahun saja, saya sudah suka. Apalagi kalau sudah besar, LOL. Lisa Kleypas sangat pintar menciptakan tokoh yang bikin saya jatuh cinta. Kyaaa!! Nggak sabar baca buku keduanya tentang si Justin. (Btw, saya agak subjektif. Phillippe juga keren tapi saya agak pilih kasih ke cowok yang namanya berinisial "J"<---- nggak penting)

Kecuali bagian soal politiknya yang berlebihan, cerita ini bagus!

4/5

Catatan : Review ini ditulis mengikuti tema BBI bulan Juli, yaitu historical fiction. Diterbitkan bersama-sama dengan anggota lain pada hari Selasa, 31 Agustus 2012.

Monday, 30 July 2012

Inheritance (Inheritance #4)


Judul : Inheritance (Inheritance #4)
Penulis : Christopher Paolini
Tebal : 920 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Warning : Spoiler

Bersambung dari akhir buku ketiga... Guru Eragon, Oromis dan naganya tewas dibunuh Galbatorix. Namun Eragon memiliki jantung dari jantung naga Oromis yang bernama Glaedr. Sayangnya, Glaedr berkubang dalam kesedihan dan tidak mau berkata apapun pada Eragon.

Dengan persiapan Varden yang semakin mantap, mereka mulai berperang menaklukkan kota demi kota. Keberuntungan Varden terletak pada Nasuada, pemimpin yang mampu bernegosiasi dengan kaum manapun. Ia berhasil mendapat dukungan dari kaum Urgal, Kurcaci, dan werecat. Selain itu, Varden sangat beruntung memiliki Roran, sepupu Eragon yang nekad dan pintar dalam strategi perang. 

Menyadari kalau kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan sang raja, Eragon cemas karena tidak yakin bisa mengalahkan Galbatorix. Kalau Varden kalah, tidak ada kehidupan bagi mereka semua. Eragon harus menang dan ia hanya punya satu petunjuk dari Solembum, yaitu ruang jiwa-jiwa di Karang Kuthian. Namun tidak ada satu orang pun yang tahu soal Karang Kuthian karena tampaknya tempat itu dilindungi sihir kuno yang menyebabkan pikiran kacau dan amnesia.

Eragon mempertaruhkan nasib Varden ke dalam rahasia Karang Kuthian itu. Ia pergi jauh ke Doru Areaba, kota kuno para Penunggang untuk mencari jawaban. Padahal saat itu Nasuada sedang diculik oleh Murtagh. Kekuatan Varden sedang terancam.

Bisakah Eragon menemukan cara untuk membunuh Galbatorix di kota kuno itu? Apakah akhirnya ia berhasil membunuh sang raja?

Kesan :
Sinopsisnya singkat sekali. Lalu kenapa bukunya bisa sampai 920 halaman? Itulah ciri khas Christopher Paolini. Ia suka mendeskripsikan segala sesuatu, menambah-nambahkan adegan tidak penting, dan menuliskan percakapan yang tidak perlu ada.

Saya baca Eragon pertama kali waktu saya SMP. Sudah lamaaaaa sekali. Bayangkan buku terakhirnya baru keluar sekarang. Menurut saya, itu menunjukkan sikap penulis yang tidak kompeten dan berdedikasi dengan karangannya sendiri. Seharusnya kalau dia memang ingin menulis sebuah cerita, setidaknya ia bisa mengejar tenggat waktu dan memuaskan pembacanya dong. Ditambah lagi dengan jumlah buku yang tidak sesuai rencana. Tadinya tiga, jadinya malah empat. Kurang terorganisir nih pengarang yang satu ini.

Karena saking sudah lamanya, saya banyak lupa tentang tokoh-tokohnya yang sangat banyak. Saya dulu suka sekali dengan seri ini, lebih suka ini daripada Harry Potter. Saya suka dengan senjatanya yang medieval, sihir-sihirnya yang susah dan terbatas, ikatan antara naga dan penunggangnya, dan terutama yang membuat saya suka sekali dengan Eragon adalah adegan saat Eragon belajar tentang ilmu penunggang dengan Oromis. Keren amat. 

Namun daya tarik cerita ini menurun di buku terakhir. Terlalu banyak adegan yang tidak penting sampai saya pun bosan. Padahal saya suka detail dan deskripsi, tapi ya kira-kira juga dong. Untuk apa menceritakan penyiksaan Nasuada oleh Galbatorix sampai beberapa bab? Untuk apa menceritakan penaklukan Roran terhadap Kota Aroughs? Oke, mungkin penulis ingin memamerkan idenya akan strategi perang atau mungkin ingin menunjukkan betapa nekad dan luar biasanya si Roran ini. Tapi saya rasa tidak perlu. Sumpah, bagian itu membosankan bangettt. 

Saya itu punya kecenderungan memberi rating lebih tinggi di buku terakhir seri apapun. Sayangnya, Inheritance tidak begitu. Saya punya cukup banyak kekecewaan dengan cerita yang konsepnya sudah dibangun cukup bagus ini. Terutama dengan adegan pembunuhan Galbatorix. Si raja yang satu ini jahatnya keren, lho. Omongannya juga sangat meyakinkan dan bikin nyali ciut sih. Tapi cara matinya... Nggak banget, deh. Apalagi selama ini Eragon tidak pernah digambarkan sebagai tokoh yang kuat dan pandai. Sama Murtagh saja kalah, masa tiba-tiba dia bisa menang dari Galbatorix semudah itu? 

Tapi saya suka sekali dengan Roran. Kasar dan pemarah. Namun dia sungguh menggambarkan seorang prajurit yang luar biasa. Ia pantas mendapatkan semua gelar tinggi atas jasanya untuk Varden. Pokoknya si Roran ini nekad gila. Sendi tangan sudah bengkok pun masih terus maju. Nggak takut mati. Walau sebenarnya kayaknya nggak mungkin deh ada orang sehebat ini dan nggak mati-mati.

Untuk ending, saya cukup suka. Bukan perfect ending dan itu nilai lebih. Saya suka cerita yang ada perpisahan dan kesan kosongnya di akhir seperti ini. Untung saja Arya dan Eragon nggak jadian. Karena kalau jadian, rasanya weird. Arya kan sudah ratusan tahun sementara Eragon masih bocah ingusan. Tapi sayangnya banyak loose end di sini, contohnya latar belakang Angela. Yah, itu sih hak penulis untuk sengaja bikin loose end. Tapi menurut saya sih, itu sama saja dengan cerita yang belum selesai.

Jadi, kesimpulannya saya paling suka buku keduanya.

Seri Inheritance :
1. Eragon
2. Eldest
3. Brisingr
4. Inheritance

4/5

Thursday, 26 July 2012

Ayahku (Bukan) Pembohong


Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis : Tere-Liye
Tebal : 304 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

"Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati?"

Dam dibesarkan ayahnya dengan dongeng-dongeng hebat. Saat Dam mempunyai idola pemain sepakbola yang dijuluki si Kapten, sang ayah menceritakan kalau si Kapten dulunya hanyalah seorang pengantar makanan. Sang Ayah mengenal sang Kapten dengan sangat baik. Lalu, saat Dam putus asa karena gagal masuk ke dalam klub renang, sang ayah menceritakan kalau si Kapten dulu pernah dianggap pendek dan tidak diizinkan masuk klub sepakbola.

Dan dongeng pun terus berlanjut. Sang ayah bahkan terlihat sangat mempercayai cerita-ceritanya yang spektakuler.

Namun, Dam beranjak dewasa. Ia mulai bisa melihat betapa bodohnya ia dulu sangat mempercayai kisah-kisah tidak masuk akal yang diceritakan ayahnya. Mana mungkin seorang biasa dari kota kecil mengenal sang Kapten? Mana mungkin ibunya dulu seorang artis? Mana mungkin... mana mungkin... mana mungkin...

Dam pun marah. Ia membenci dongeng ayahnya apalagi karena sang ayah terus keukeuh kalau ia tidak berbohong. Dan kemarahan itu terus terbawa sampai ia berkeluarga. Dam bahkan tidak menyukai ayahnya yang bercerita bohong pada anak-anaknya. 

"Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih."

Sampai akhir pun, Dam masih membenci ayahnya. Namun keanehan-keanehan yang muncul di hidupnya mulai membuatnya sedikit curiga kalau semua yang dikatakan ayahnya itu benar. Sayangnya semua kebenaran baru terbuka saat ayahnya sudah meninggal. 

"Ayah tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang baru dikenal, menghargai kehidupan, dan alam sekitar. Itu jalan hidup Ayah. Dan itu juga yang dipilih ibu kau. Apakah Ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki dengan kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kaumiliki."

Kesan :
Hidup di zaman modern ini sangat berbeda dengan zaman dulu. Anggapan orang terhadap kebahagiaan ataupun taraf hidup juga sangat berbeda. Mungkin masih banyak orang yang menganggap kalau kebahagiaan adalah hidup sederhana dan apa adanya. Tapi saya sebagai orang kota melihat hampir semua orang yang saya kenal tidak menganggap itu benar. Bagi mereka, kebahagiaan adalah uang. Semakin banyak uang, semakin besar kebahagiaan. Dengan memiliki banyak uang, hidup semakin mudah dan kita bisa bebas membeli apapun yang kita inginkan. 

Apakah itu benar? Saya juga tidak tahu. Mau tidak mau saya terbawa arus zaman modern. Ayah saya saja selalu mengatakan, "Yang terpenting dalam hidup adalah uang. Tanpa uang kita tidak berbuat apapun." Pernyataan itu benar karena dunia memang diatur oleh benda mati itu. Saya rasa orang yang seperti tokoh ayah dalam buku ini sangat jarang atau mungkin hampir tidak ada di sekitar saya. Mana ada orang yang mau mengorbankan karir hebatnya sebagai hakim agung untuk menjadi orang biasa di kota kecil? Saya rasa semua orang terlalu ambisius untuk bisa lapang dada begitu.   

Tapi itu hanya sebuah anggapan orang. Saya sendiri sangat percaya pada kebahagiaan dengan hidup sederhana. Karena memang itulah kebenarannya. Namun saya tidak bisa. Saya masih punya banyak keinginan dan kadang saya tanpa sengaja merasa iri dengan orang-orang yang bisa berhasil dengan mudahnya. Jadi, saya rasa saya belum bisa menerapkan kebenaran nasehat yang ada di dalam buku ini.

Sebagai anak kecil, seperti Dam, kita percaya akan sebuah dongeng indah berakhir bahagia. Tapi begitu dewasa, semua idealis itu akan runtuh sedikit demi sedikit. Itulah mengapa Dam membenci cerita-cerita ayahnya. Saya mengerti karena saya dulu pernah begitu percaya akan konsep happily ever after. Tapi sayangnya sekarang saya sudah menjadi lebih realistis. Hehehe...

Jadi, buku ini luar biasa menginspirasi bagi saya. Buku ini kembali mengingatkan saya pada betapa sederhananya sebuah kehidupan itu. Buku ini sangat cocok dibaca bagi semua kalangan modern yang butuh pencerahan akan hidup di zaman yang monoton dan membosankan ini. Biarkan orang belajar untuk tidak mengeluh atas kejenuhan dan hidup yang tiada arti.

Cerita yang unik dan bagus. Namun saya tidak suka dengan eksekusi endingnya. Kok jadi malah mengarah ke fantasi? Jika sang ayah tetaplah menjadi pembohong demi melindungi anaknya dari kekejaman dunia luar, rasanya itu lebih bagus (atau tidak?). Tapi itu hanya pendapat saya. Selebihnya, buku ini sangat bagus.

4/5

Tuesday, 24 July 2012

Charlie Bone And The Red King


Title : Charlie Bone And The Red King (The Children of The Red King #8)
Writer : Jenny Nimmo
Number of Page : 423
Publisher : Egmont Books

The war was unavoidable. Children of the Red King versus Count Harken army.

In Badlock, Count Harken was waiting, waiting impatiently, but Mirror Amoret could not be fixed. He was angry and he throw all his tantrums to Billy. Billy was imprisoned in the dark dungeon underground.
  
Dagbert Endless seemed to change sides. He didn't trust Bloors anymore after he found out that the Bloors liked his father who wanted to kill him. He searched for help from Charlie. He wanted Charlie to destroy his father's source of power, the water globe which could control all oceans in the world. At first, Charlie didn't want to help Dagbert. But when the Bloors planned to drown his parents who were in the sea using that water globe, he had to come forward.

Olivia had been enchanted by the magic robe. She wore the robe everyday and that made her cruel and bad. Charlie and Emma tried to solve this problem. They asked Olivia's guardian to sew the exact robe so that Emma could switch the wicked robe.

With so many thing to be done, Charlie almost forgot about Billy. He once again traveled into Badlock to bring Billy back. However, little did he know that Count Harken had deliberately planned to follow Charlie to the future. The Count came to the future in the form of a fly.

Count Harken called all his followers and built his army. And the war began.

Well, I should say that I am very biased if it comes to the last book of the series. I tend to like the last book in any series. For Charlie Bone, it's not different.

This last installment is the thickest of all. More conflicts, unexpected scenes, and hidden mysteries. As children, I would like this series very much. But, I'm not 10 years old. I have read too many books and that's why I couldn't like this book that much. I could guess all the mysteries precisely and all the surprises were not surprises anymore.

But, I still enjoyed it though. All characters are likable. And I like the ending. Bloors Academy became Bone Academy and Billy was adopted as Charlie's little brother. All ended well and I was happy for that.

The Children of The Red King series:
1. Midnight for Charlie Bone
2. Charlie Bone And The Time Twister
3. Charlie Bone And The Blue Boa
4. Charlie Bone And The Castle of Mirrors
5. Charlie Bone And The Hidden King
6. Charlie Bone And The Wilderness Wolf
7. Charlie Bone And The Shadow of Badlock
8. Charlie Bone And The Red King

At last, I finished one whole series :)

4/5

Tuesday, 17 July 2012

Wuthering Heights


Judul : Wuthering Heights
Penulis : Emily Brontë
Tebal : 488 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Wuthering Heights adalah nama kediaman Mr. Heathcliff. Wuthering adalah kata sifat yang umum digunakan dalam dialek setempat, untuk menggambarkan kedahsyatan atmosfer yang sering melanda lokasi lahan itu saat cuaca berbadai.

Mr. Lockwood berharap bisa menemukan ketenangan dalam hidup sendirian. Ia menyewa rumah bernama Thrushcross Grange yang terletak dekat dengan Wuthering Heights, di mana sang tuan tanah tinggal.

Tapi sosok Mr. Heathcliff merupakan kontras yang mencolok dengan hunian gaya hidupnya. Penampilannya seperti orang gipsi berkulit gelap, pakaian dan sikapnya seperti pria terhormat: setidaknya seperti bangsawan pedesaan; agak tidak rapi, mungkin, tapi juga tampak semrawut karena kelalaiannya ini, sebab perawakannya tegap dan tampan; dan agak suram.

Mr. Heathcliff punya daya tarik tersendiri dengan sifatnya yang kasar, kejam, dan penuh kebencian. Mr. Lockwood yang penasaran memberanikan diri mengorek informasi dari pengurus rumah tua bernama Nelly Dean.  

Wuthering Heights adalah milik keluarga Earnshaw: ayah, ibu, dan dua anaknya yang bernama Catherine dan Hindley. Heathcliff masuk ke dalam keluarga itu karena sang ayah menyelamatkannya dari jalanan kotor di Liverpool.

Hindley membenci Heathcliff karena sang ayah lebih menyayangi anak yatim piatu itu dibanding dirinya.

Sedangkan Catherine... ia adalah sahabat Heathcliff dan ia mencintai laki-laki itu.

Di saat sang ayah meninggal dan Hindley menjadi pewaris sah rumah itu, jatuhlah nasib Heathcliff. Ia tidak dianggap lebih dari seorang pembantu dan pengurus kuda. Namun cintanya pada Catherine Earnshaw membuatnya bertahan sekalipun dendam mulai muncul di hatinya. Ia berharap bisa menaiki tangga status dan mengalahkan Earnshaw.

"Aku tak cocok menikahi Edgar Linton, sama seperti aku tak cocok berada di surga; dan seandainya Tuhan yang jahat tidak menciptakan Heathcliff begitu rendah, aku tak mungkin sudi menikah dengan Edgar. Menikah dengan Heathcliff sekarang akan merendahkan kedudukanku; jadi dia takkan pernah tahu betapa aku mencintainya; dan itu bukan karena dia tampan, Nelly, tapi karena dia lebih merupakan diriku daripada aku sendiri. Entah terbuat dari apa jiwa kami, tetapi jiwanya dan jiwaku sama; dan jiwa Linton sama berbedanya dari jiwaku seperti cahaya bulan dari kilat, atau es dari api."

Heathcliff tak sengaja mendengar percakapan itu dan ia pun pergi tanpa pamit demi mencari kekayaan dan kehormatan. Catherine yang merasa ditinggalkan menjadi sakit-sakitan dan akhirnya demi melanjutkan hidup, ia menerima pinangan Edgar Linton, tetangganya yang tinggal di Thrushcross Grange.

Tahun-tahun berlalu dan tiba-tiba Heathcliff kembali dengan kekayaan yang sangat besar. Ia kecewa karena Catherine tidak menunggunya dan malah menikahi Edgar yang dibencinya. Di saat seperti itulah, dendam di hati Heathcliff berkobar. Ia membuat Hindley bangkrut, merampas Wuthering Heights, dan menggoda Isabella Linton, adik Edgar.

Catherine meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Heathcliff terpuruk karena ia masih mencintai wanita itu. Namun kebencian masih tertanam kuat di hatinya. Ia belum puas sebelum semuanya jatuh ke tangannya. Ia pun mengatur cara agar bisa memiliki Thrushcross Grange juga.

Setelah mendengar cerita itu, Mr. Lockwood memutuskan untuk meninggalkan kehidupan dalam kesendiriannya dan pergi ke kota. Ia tidak mau berakhir menyedihkan seperti Heathcliff.

Kesan: 
Saya mulai tertarik ingin membaca karya klasik ini saat judulnya muncul dalam Twilight karya Stephenie Meyer. Saya penasaran bagaimana sebuah karya klasik bisa menginspirasi seorang penulis untuk menciptakan cerita vampir.

Wuthering Heights adalah kisah cinta yang menjengkelkan, mengaduk-aduk perasaan, dan membuat lelah terutama dalam memahami karakter seorang Heathcliff. Saya suka sekali dengan kompleksitas tokoh-tokohnya, sifat-sifat karakternya yang tidak biasa, keegoisan juga betapa lemahnya manusia di hadapan kuasa nasib.

Namun tetap saja kalau bicara buku ini, kita harus bicara soal Heathcliff yang adalah inti ceritanya. Terus-terang saya mengerti apa yang mendorong dirinya melakukan semua kejahatan itu. Dia egois karena dimanja Mr. Earnshaw dan sadar kalau dirinya akan selalu menang dari Hindley. Namun saat Mr. Earnshaw meninggal, ia tak berdaya. Ia benci perasaan itu dan ingin kembali menjadi nomor satu. Apalagi dengan pengkhianatan Catherine yang menikah dengan orang yang dibencinya. Saya sangat mengertiiiiii. Menyimpan sebuah dendam adalah sesuatu yang wajar karena banyak orang juga begitu.

Tapiiiii... ada batas antara dendam dan membalas dendam. Saya tidak terlalu kesal soal Heathcliff yang menggoda Isabella atau merampas harta Hindley yang suka judi. Itu adalah suatu kelicikan yang sudah biasa terjadi sehari-hari. Tapi saya tidak suka tindakannya yang memanipulasi anaknya sendiri dan anak Catherine demi mendapatkan Thrushcross Grange. Itu sih benar-benar keterlaluan. Anak sendiri padahal. Ampunnn...

"Ini akhir yang buruk, bukan? Akhir yang tak masuk akal untuk perjuangan beratku? Aku memperoleh tuas dan pangkur untuk menghancurkan kedua rumah itu, dan melatih diriku agar sanggup bekerja seperti Herkules, dan ketika segalanya sudah siap dan berada dalam kekuasaanku, aku menyadari bahwa kemauan untuk melepaskan sekeping genteng pun dari atap kedua rumah itu sudah lenyap! Musuh-musuh lamaku gagal mengalahkanku; sekarang adalah saat yang tepat untuk membalaskan dendamku terhadap keturunan mereka. Aku bisa saja melakukannya, dan takkan ada yang bisa mencegahku. Tetapi apa gunanya? Aku tidak ingin memukul. Aku merasa begitu malas mengangkat tanganku! Kedengarannya seakan-akan selama ini aku berjerih payah hanya untuk menunjukkan sedikit kemurahan hati. Sama sekali tidak. Aku telah kehilangan tenaga untuk menikmati kehancuran mereka, dan terlalu malas menghancurkan tanpa tujuan apa-apa."

Yah, Heathcliff... Dendam itu memang tak ada gunanya. Kamu yang capek sendiri kan akhirnya?

Bacaan yang cukup menguras emosi, namun sangat menghibur. Saya memang suka cerita yang aneh macam gini.

5/5  

Monday, 9 July 2012

Charlie Bone And The Shadow of Badlock


Title : Charlie Bone And the Shadow of Badlock (The Children of The Red King #7)
Writer : Jenny Nimmo
Number of Page : 373
Publisher : Egmont Books

Another annoying trick from the Bloors and the Yewbeams sisters... Why oh why were you all so bad toward Charlie Bone? For God's sake, he was only twelve.

Titania Tilpin, the descendant of Count Harken the Shadow tried to mend the broken Amoret mirror. She wanted to help the Count bringing the city back into the past so that he could have the power once more. 

Grandma Bone was given the painting of Badlock. Badlock was a place where the Count ruled in the past. Since Charlie could travel through the paintings and photos, Grandma Bone deliberately put the painting in their house.

Charlie got inside and met his ancestor, Otus Yewbeam who was being prisoned by the Count. This gloomy and dark city made Charlie shivered. He wanted to go back, taking his ancestor too so that the old man wouldn't need to suffer anymore. However, he failed. Otus didn't come with him and Runner Bean, Benjamin's dog got inside the painting. 

What a chaos...

All of those had been considered by the Bloors and Titania Tilpin. They knew that the only one who could save Runner Bean was Billy who could talk to animals. They wanted to get rid of Billy because Billy was the true heir of Bloor Academy and all the fortunes of Septimus Bloor. 

Charlie didn't know about that plan. He asked Billy to help him and at the end Billy was trapped inside the painting just like the Bloors wanted. Charlie tried to save Billy, but Billy didn't want to come out since he had been enchanted by the Count's magic.

And... someone was dead. He was my favorite character in this series. T.T

It was unbelivable. How could a grandmother harm his grandson? I still couldn't accept it. Charlie was so pitiful to have many problems caused by his own grandmothers and relatives.

The story was getting complicated now that all characters were mentioned. I liked Charlie Bone for he was brave, full of compassion, and dependable. He could just walk away and abandon Billy but he didn't. He was also very patient. If I were him, I would have killed my own grandmother (hahaha... I'm really that bad, huh?)

Of course, it is children book. No sad ending, I think. My favorite character who was supposed to be dead was not dead after all. Kyaaaaa...

One more to go...

3/5