Saturday 23 March 2019

Kingdom of Ash


Judul : Kingdom of Ash (Throne of Glass #7)
Penulis : Sarah J. Maas
Tebal : 980 halaman
Penerbit : Bloomsbury YA

Aelin has risked everything to save her people―but at a tremendous cost. Locked within an iron coffin by the Queen of the Fae, Aelin must draw upon her fiery will as she endures months of torture. Aware that yielding to Maeve will doom those she loves keeps her from breaking, though her resolve begins to unravel with each passing day…

With Aelin captured, Aedion and Lysandra remain the last line of defense to protect Terrasen from utter destruction. Yet they soon realize that the many allies they’ve gathered to battle Erawan’s hordes might not be enough to save them. Scattered across the continent and racing against time, Chaol, Manon, and Dorian are forced to forge their own paths to meet their fates. Hanging in the balance is any hope of salvation―and a better world.

And across the sea, his companions unwavering beside him, Rowan hunts to find his captured wife and queen―before she is lost to him forever.


Review:
Warning: Spoiler!

Akhirnya saya sampai juga di ujung perjalanan seorang Celaena Sardothien. Seri cerita ini tidak sempurna, namun cukup berkesan dalam pengalaman membaca saya. Ada banyak adegan yang saya ingat dan juga karakter-karakter yang saya sukai. Pada dasarnya, saya sebagai pembaca hanya ingin menikmati sesuatu yang berbeda dari kehidupan nyata.

Di akhir buku kelima, Aelin ditangkap oleh Ratu Maeve. Selama masa penyanderaan itu, Aelin disiksa dengan cukup brutal. Sepertiga bagian awal dari buku ini cukup menggugah perasaan saya. Jujur, saya tidak pernah suka dengan Aelin. Tapi, semua yang dia alami membuat saya sangat bersimpati dan ingin dia baik-baik saja. 

Karena jumlah karakter dan luasnya dunia yang sudah dibangun Sarah J. Maas, plotnya sangat banyak. Apalagi tidak semua karakter berada di tempat yang sama. Saya paling takut dan deg-degan setiap kali berpindah ke sudut pandang Lysandra dan Aedion. Plot untuk dua karakter ini berpusat dalam perang yang terasa tidak mungkin dimenangkan. Mereka berjuang mempertahankan Terrasen sambil terus membohongi semua orang bahwa Aelin masih ada di tengah-tengah mereka. Saya tidak begitu suka dengan sikap Aedion terhadap Lysandra. Tepatnya, saya tidak terlalu peduli dengan pasangan ini.

Bagian lain yang paling saya sukai adalah Manon. Entah kenapa saya selalu bersemangat setiap kali sudut pandang berubah ke Manon. Karakter satu ini sangat menarik. Saya menangis saat ia berhadapan dengan tiga pemimpin klan para Witch. Penggambaran adegan itu sangat menyentuh. Betapa berbedanya sosok Manon di buku Heir of Fire dengan Manon di buku ini. Dia bukan lagi Witch yang tidak punya perasaan. 

Dan tentu saja adegan terbaik di buku ini adalah saat Manon hampir kehilangan Abraxos. Saya sempat ketakutan karena saya tidak mau Abraxos mati. Walaupun saya tidak percaya Sarah J. Maas tega membunuh karakter-karakternya, saya cukup dibuat panik di adegan itu. Tapi sepertinya saya tertipu. Karena tepat setelah adegan itu, Sarah J. Maas benar-benar membunuh tidak hanya satu, melainkan tiga belas teman seperjuangan Manon. Sampai sekarang saja saya masih bisa menangis setiap kali ingat adegan itu. Saya tidak menduganya sama sekali. Saya sudah keburu suka sama tokoh Asterin. Saya mengagumi kesetiaannya pada Manon. Dan mungkin karena saya sangat menghayati setiap adegan yang menyangkut Manon, saya bisa merasakan sakit hati seorang Manon saat kehilangan mereka. Masih sangat jelas di kepala saya bagaimana Manon berteriak putus asa saat meminta Asterin dan dua belas anggota Thirteen yang lain untuk menghentikan rencana mereka. Tanpa bisa menolong, dia hanya bisa menonton saat mereka semua mati di depan matanya. Mati dengan tidak sia-sia.

Bagi orang yang suka dengan cerita perang epik seperti Lord of The Rings, buku ini sangat cocok. Semua perang dibahas dengan detail. Sayangnya, semua perang itu tidak terlalu punya konsekuensi yang besar. Segalanya terlalu mudah. Setiap kali Aedion hampir kalah, selalu ada bantuan yang datang tepat pada waktunya. Sekali dua kali sih tidak masalah. Tapi karena terjadi berkali-kali, saya tidak lagi peduli dengan perang-perang itu. Saya tahu segalanya akan berakhir baik-baik saja.

Selain itu, misteri soal pengorbanan diri yang harus dilakukan Aelin atau Dorian demi menyegel Erawan tidak membuat saya penasaran. Karena pada titik itu, saya tahu akan ada hal yang membuat mereka selamat. Dan tebakan saya benar. Seharusnya ada pengorbanan nyawa, tapi baik Dorian maupun Aelin tidak ada yang mati. Saya pikir setidaknya mereka tidak punya sihir lagi. Sayangnya, itu juga tidak terjadi. Ugh. Saya kecewa sekali. Saya butuh sesuatu yang menghancurkan hati ini.

Dengan banyaknya kekurangan, saya tetap menikmati seluruh ceritanya. Saya bisa baca sampai habis gitu. Saya tetap masih suka dengan Manon dan Chaol. Itu sudah tidak bisa dibantah lagi. Setidaknya saya merasa seakan kembali dari sebuah kehidupan lain setelah menyelesaikan cerita ini. Nice!!

Kesimpulannya, seri Throne of Glass ini mencapat puncaknya di buku kedua dan ketiga. Mungkin memang tipe Sarah J. Maas ini pintar membuat buku kedua. Saya juga suka sekali dengan buku kedua serinya yang lain. Mungkin saya akan penasaran dengan karya-karya dia yang lain.

Seri Throne of Glass:
7. Kingdom of Ash

4/5

No comments:

Post a Comment