Sunday, 14 June 2015

All The Light We Cannot See


Judul : All The Light We Cannot See
Penulis : Anthony Doerr
Tebal : 544 halaman
Penerbit : Fourth Estate

Marie-Laure has been blind since the age of six. Her father builds a perfect miniature of their Paris neighbourhood so she can memorize it by touch and navigate her way home. But when the Nazis invade, father and daughter flee with a dangerous secret.

Werner is a German orphan, destined to labour in the same mine that claimed his father’s life, until he discovers a knack for engineering. His talent wins him a place at a brutal military academy, but his way out of obscurity is built on suffering.

At the same time, far away in a walled city by the sea, an old man discovers new worlds without ever setting foot outside his home. But all around him, impending danger closes in.


Review:
Yang bikin saya tertarik membaca buku ini selain rating-nya yang cukup tinggi (4.28/5) adalah temanya. Saya selalu suka setting cerita pada masa perang dunia. Apalagi tokoh-tokohnya terkesan menarik. Gadis buta dan pemuda Nazi.

Kisah ini dituturkan dari dua sudut pandang dengan timeline cerita yang melompat-lompat. Kedua tokoh utama tidak saling mengenal dan memiliki kehidupan berbeda. Mereka hanya bertemu di satu titik kehidupan.

Marie-Laure tinggal di Paris bersama ayahnya yang bekerja di museum sejarah. Pada saat usianya 6 tahun, ia kehilangan penglihatannya dan tidak bisa disembuhkan. Namun hal itu tidak membuat Marie-Laure patah semangat karena ayahnya selalu mendukungnya. Ayahnya bahkan membuat miniatur Kota Paris di sekitar tempat tinggal mereka supaya Marie-Laure bisa menghafal jalan dan tidak pernah tersesat lagi jika pergi sendiri.

Suatu hari ayah Marie-Laure mendapatkan pekerjaan untuk melindungi satu dari tiga batu antik yang keramat. Batu antik itu memiliki legenda yang cukup mengesankan. Katanya, orang yang memiliki batu itu akan mendapatkan imortalitas sementara orang-orang di sekitarnya akan meninggal satu per satu. Ayah Marie-Laure mematuhi perintah itu dan ia terpaksa pindah ke rumah adiknya demi menyembunyikan keberadaan batu itu. Marie-Laure ikut dan ia pun harus kembali ke titik nol. Ia harus memulai dari awal lagi, beradaptasi dengan tempat barunya, dan menghafalkan miniatur kota baru yang dibuat ayahnya lagi. Tanpa sepengetahuan Marie-Laure, sang ayah menyimpan batu antik di dalam salah satu rumah miniatur kota itu.  

Di tempat lain, tepatnya di Jerman, Werner Pfennig tinggal di panti asuhan bersama adik perempuannya. Pada masa itu, Jerman adalah negara miskin dan hampir semua orang hidup susah. Tapi kegemaran Werner dalam bidang Fisika membuatnya terkenal sebagai seorang mekanik hebat. Ia bisa memperbaiki mesin-mesin yang rusak hanya dengan belajar sendiri. Karena kepandaiannya itu, Werner terpilih masuk ke dalam akademi militer. Ia bahkan masuk ke dalam anggota elit penelitian.

Sementara itu, seorang prajurit Jerman yang putus asa menginginkan batu antik itu untuk menyembuhkan penyakit kankernya. Ia menghalalkan segala cara demi batu itu. Dan penyelidikannya pun membawanya ke rumah Marie-Laure. Di tengah perang dunia dan bom yang menghancurkan rumah-rumah di sekitar tempat tinggal Marie-Laure, sang prajurit Jerman, Werner, dan Marie-Laure bertemu.

Ada sesuatu yang menarik dari setiap bab yang ditulis oleh Anthony Doerr di buku ini. Kejadian-kejadian kecil dalam hidup sehari-hari Werner dan Marie-Laure membuat saya masuk dengan mudah ke dalam ceritanya. Settingnya jelas dan detail. Gaya penceritaannya bagus walau tidak terlalu wow.

Sayangnya, plotnya lambat sekali. Belum lagi timeline-nya yang melompat-lompat. Saya tidak terlalu suka alur maju mundur yang tidak beraturan karena rasanya terputus-putus. Saya sedang semangat membaca masa kecil Marie-Laure, tahu-tahu Werner mengambil alih. Saat saya menikmati adegan Werner terjebak di bawah hotel yang kolaps karena bom, Marie-Laure menarik saya ke dunianya yang gelap dan sendirian. Saya menghabiskan waktu yang lama membaca buku ini juga karena itu. Buku ini tidak terlalu membuat saya semangat menghabiskan halamannya dengan cepat. 

Ceritanya sih bagus. Beautiful. Ada bagian ironisnya, seperti saat Werner dihadapkan dengan Marie-Laure yang nyawanya terancam oleh si prajurit Jerman. Seharusnya Werner lebih membela koleganya, tapi ia memilih Marie-Laure. Walaupun Werner anggota Nazi, ia selalu merasa seperti outsider. Ia tidak pernah suka pada pekerjaannya. Ia membenci perannya dalam membunuh musuh-musuh Hitler. Ia selalu menyesal setiap kali berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia hidup dalam rasa bersalah dan juga rasa tak berdaya. Menurut saya, konflik perasaan itu bagus. Saya bisa lebih mengenal Werner. Saya juga jadi ikut sedih. Saya bisa merasakan dilema Werner yang ingin mengabdi pada negaranya namun nuraninya tidak menyetujui semua tindakannya. 

“When I lost my sight, Werner, people said I was brave. When my father left, people said I was brave. But it is not bravery; I have no choice. I wake up and live my life. Don't you do the same?” 

Sampai akhir saya tidak mengerti apa pentingnya batu antik yang disembunyikan ayah Marie-Laure. Hanya sebagai simbol untuk menunjukkan kalau semua tragedi di sekeliling Marie-Laure adalah akibat batu itu? Atau supaya ada ketegangan saat si prajurit Jerman mengancam Marie-Laure untuk menyerahkan batu itu?

Tiga bintang saja untuk buku ini. Bagus, tapi tidak spektakular.

3/5

No comments:

Post a Comment