Judul: The Dragon Republic (The Poppy War #2)
Penulis: R.F. Kuang
Tebal: 658 halaman
Penerbit: Harper Voyager
The war is over.
The war has just begun.
Three times throughout its history, Nikan has fought for its survival in the bloody Poppy Wars. Though the third battle has just ended, shaman and warrior Rin cannot forget the atrocity she committed to save her people. Now she is on the run from her guilt, the opium addiction that holds her like a vise, and the murderous commands of the fiery Phoenix—the vengeful god who has blessed Rin with her fearsome power.
Though she does not want to live, she refuses to die until she avenges the traitorous Empress who betrayed Rin’s homeland to its enemies. Rin’s only hope is to join forces with the powerful Dragon Warlord, who plots to conquer Nikan, unseat the Empress, and create a new republic.
But the Empress and the Dragon Warlord are not what they seem. The more Rin witnesses, the more she fears her love for Nikan will force her to use the Phoenix’s deadly power once more.
Because there is nothing Rin won’t sacrifice to save her country . . . and exact her vengeance.
The war has just begun.
Three times throughout its history, Nikan has fought for its survival in the bloody Poppy Wars. Though the third battle has just ended, shaman and warrior Rin cannot forget the atrocity she committed to save her people. Now she is on the run from her guilt, the opium addiction that holds her like a vise, and the murderous commands of the fiery Phoenix—the vengeful god who has blessed Rin with her fearsome power.
Though she does not want to live, she refuses to die until she avenges the traitorous Empress who betrayed Rin’s homeland to its enemies. Rin’s only hope is to join forces with the powerful Dragon Warlord, who plots to conquer Nikan, unseat the Empress, and create a new republic.
But the Empress and the Dragon Warlord are not what they seem. The more Rin witnesses, the more she fears her love for Nikan will force her to use the Phoenix’s deadly power once more.
Because there is nothing Rin won’t sacrifice to save her country . . . and exact her vengeance.
Review:
Warning spoiler!
Serius deh. Penulisnya masih muda banget dan bisa nulis cerita kayak gini. Keren ajib.
Dibanding buku pertamanya, karakter Rin lebih kelihatan sih di sini. Beneran tipe orang yang sulutnya pendek. gampang banget terprovokasi. Dikit-dikit main bunuh. Setelah melakukan genosida di Federasi Mugen, dia masih santai saja dengan bilang bahwa mereka yang jahat duluan.
Di sini bisa dilihat lebih jauh kesamaannya dengan sejarah. Federasi Mugen adalah Jepang, Kekaisaran Nikara adalah Tiongkok, dan Hesperia adalah kaum barat. Saya merasa seakan Rin ada di pihak yang benar sewaktu diperiksa oleh peneliti Hesperia yang berkomentar bahwa kaum Nikara itu inferior. Mata sipit berarti kurang jarak pandang, pendek berarti kurang berkembang, tidak percaya pada The Architect (semacam Tuhan) berarti masih primitif. Apalagi masih percaya pada dewa-dewa. Padahal kata saya sih dewa-dewa itu jauh lebih keren dengan kekuatan magisnya dibanding teknologi.
Oh, saya tidak bilang kaum barat itu tidak salah. Jelas sekali dari sejarah bahwa kaum barat itu sukanya menjajah dan menjarah milik orang lain. Tapi Rin juga bukan sosok yang patut dicontoh. Dia kan diciptakan karena si penulis ingin menulis cerita pengandaian kalau Mao Ze Dong itu perempuan. Yah... tahu sendiri Mao Ze Dong kayak apa. Kejam dan main basmi juga.
Tapi mengikuti karakter yang tidak likable kayak Rin ini sangat menyenangkan. Saya suka jengkel sendiri lihat betapa nalar membuat keputusan Rin ini suka ngaco. Dari awal saja sudah jelas kalau Tuan Naga, alias ayahnya si Nezha itu mencurigakan. Tidak aneh kalau dia berkhianat di akhir. Yang membingungkan memang si Nezha. Sebentar kayak suka sama Rin, sebentar marah-marah tidak jelas.
Tokoh favorit saya di buku ini adalah Chen Kitay. Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu mantap banget. Witty, cerdas, dan sangat realistis. Apalagi dia itu pinter strategi. Kurang keren apa. Persahabatannya dengan Rin juga lucu gitu. Dia itu setia banget dan satu-satunya yang berani menegur Rin tanpa takut.
Nezha looked both pleased and relieved. "Ah, democracy. That's what you get when the people decide."
Kitay shook his head. "That's what you get when you've killed all the brave men and let the cowards vote."
Sebenarnya saya agak sedih sih baca cerita dengan tokoh penuh kehancuran seperti Rin. Saya tahu dia tidak pantas mendapatkan akhir yang bahagia setelah apa yang dia lakukan. Terlalu banyak yang mati akibat kesalahan dan kesialan dia sebagai kaum Speerly yang bisa memanggil kekuatan para dewa. Tapi saya tidak bisa berhenti membacanya.
5/5
No comments:
Post a Comment