Wednesday 27 December 2017

Last Forever


Judul : Last Forever
Penulis : Windry Ramadhina
Tebal : 384 halaman
Penerbit : Gagasmedia

“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel

“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana

Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?


Review:
Ceritanya sangat tertebak sih ini. Bahkan setiap plotnya sudah saya tebak dari awal. Tapi sangat relatable. Buat saya, tema hubungan yang harus berkompromi dengan komitmen serta passion itu pasti mengena banget. Kejadian-kejadian di buku ini juga sudah pernah saya analisis di kepala saya sebelumnya. Freak banget memang saya ini.

Buku ini mengisahkan dua orang yang bekerja di dunia yang sama, yaitu film dokumenter. Dunia ini sudah pernah dibahas di Montase dalam sosok Rayyi. Nah, ini tentang bos Rayyi yang arogan dan playboy bernama Samuel Hardi. Tokoh satu ini memang sangat berkesan dan kuat karakternya sehingga saya masih ingat. Pokoknya tipe cowok yang nggak suka basa-basi, dominan, dan tahu kelebihan dirinya. Kalau di novel, saya suka cowok begini. Kalau di dunia nyata, terima kasih deh. 

Dari sekian banyak cewek-cewek Samuel, Lana yang paling bertahan. Mereka melakukan hubungan terbuka secara jarak jauh. Kebetulan Lana bekerja di Nat Geo Amerika. Tapi tiap kali mereka bertemu, mereka akan tidur bersama. Semacam friends with benefit juga sih. Mereka berdua cocok karena passion mereka sama. Mereka juga sama-sama benci komitmen.

Sampai Lana hamil. Klasik banget, deh. 

Untuk membaca buku ini, diperlukan pikiran terbuka. Gaya hidup Samuel dan Lana memang bebas banget. Ideologi mereka tentang pernikahan juga sangat tidak konvensional. Saya agak kurang suka dengan Samuel soal ini. Kalau Lana, saya mengerti. Dia punya ambisi yang sangat sulit dicapai karena dia perempuan. Dia harus mempertahankan kariernya dan mempunyai anak pasti akan menghambat itu. Dari awal, saya tahu dia sudah cinta sama si Samuel walau pikirannya lebih banyak dicurahkan untuk ambisinya. Tujuh tahun, lho. Dia cuma berhubungan sama satu laki-laki saja. Tapi logika Lana juga jalan. Samuel tidak suka komitmen dan suka gonta-ganti cewek. Mana mau dia komitmen sama cowok model begitu? Saya agak kasihan sama Lana pas jadwal syutingnya tidak cocok dengan kondisi kehamilannya. Ini pasti bikin frustrasi dan sedih banget. Kalau saya sih sudah marah-marah dan jauh lebih sakit hati lagi.

Sayangnya, Samuel beneran tipe cowok brengsek sih. Kembali lagi ini keahlian Windry Ramadhina. Dia bisa bikin tokoh yang di awal saya tidak suka mengalami character development dan saya jadi suka sama tokoh itu di akhir. Lagipula Samuel memang keren dan kompeten dalam pekerjaannya. I like that. Terus ada si Rayyi yang lucu banget. Celetukannya iseng tapi tajam, bisa bikin Samuel tidak berkutik. Memang sih, sejak baca Montase, saya bisa melihat diri saya dalam diri si Rayyi. Jadi, kata-kata yang dia keluarkan pas banget karena saya juga pasti ngomong begitu ke Samuel.

Boleh dibilang, novel ini agak kurang nyaman dibaca karena ideologi bebasnya. Tapi saya menghormati keputusan setiap tokohnya kok.

4/5

No comments:

Post a Comment