Monday 3 October 2011

Anak Semua Bangsa


Judul : Anak Semua Bangsa (Tetralogi Buru #2)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Resensi :
Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.

Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode.

Roman kedua Tetralogi, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini Minke diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.
 

Masih bagus seperti Bumi Manusia. Saya masih terkagum-kagum dengan Pramoedya Ananta Toer. Dia seorang penulis hebat yang mampu meramu kata-kata penuh makna.

Di sini diceritakan kalau Minke, sekalipun sudah diperlakukan tidak adil oleh Eropa, masih memuja bangsa itu karena didikan sekolahnya. Ia merasa tersinggung saat disuruh menulis dalam bahasa Melayu dan bukan bahasa Belanda. Namun perlahan-lahan saya bisa melihat perubahan pikirannya.

Mulai dari Khow Ah Soe yang mengajarkan pembaharuan negara mengikuti bangsa Eropa, yaitu dengan sistem republik. Bagaimanapun Indonesia sama seperti China tidak bisa terus bertahan pada budaya kerajaan/keraton/kekaisaran. Khow Ah Soe ingin mengobarkan semangat Minke untuk memberontak mengikuti bangsa Filipina yang berhasil mengusir Spanyol dan menjadi republik pertama di Asia.
 


Sahabat Minke, Jean Marais juga menginginkan Minke berjuang demi bangsanya. Dengan ilmunya, tulisannya mendidik bangsa Indonesia yang kurang terpelajar. Masih ada juga Ter Haar si penganut liberalis sejati yang mengajari tentang landasan Revolusi Perancis. Liberté, égalité, fraternité yang berarti kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Lalu ada Trunodongso, si petani miskin yang berusaha melawan demi mempertahankan tanah pertanian yang dimilikinya. Hati Minke tergerak untuk menuliskan ketidakadilan yang dialami Trunodongso. Namun apa boleh buat, koran Belanda tidak mau menerbitkan tulisan itu karena dianggap merusak nama baik dan tidak disertakan bukti-bukti yang kuat. Toh, selama ini petani-petani itu tidak pernah terdengar keluhannya.

Tapi saya tetap paling suka pada Nyai Ontosoroh. Kepintaran dan pemikirannya yang tajam memang patut dikagumi. Bahkan Minke yang lulus sekolah saja tidak bisa menandingi kecerdasannya.

Buku kedua ini lebih hebat dari yang pertama. Isinya super lengkap. Kemanusiaan, nasionalisme, liberalisme, perjuangan, kebimbangan, dan pencarian makna hidup. Semua itu ditunjukkan dari sosok seorang Minke.

Ah, saya tidak bisa bilang apa-apa lagi. Lima bintang penuh!

Dreamer just had the first operation in her life, stupid earring stucked inside, WTF!!!


:)

2 comments:

  1. Hi Sabrina!

    Actually, I was in the middle of doing research which finally brought me here.

    Well, I'm doing my Bahasa project and coincidentally, the topic you're discussing is quite similar to mine, luckily. (I really like your review though (Y))

    If you don't mind, can you please help me just to identify, which part of the book that explains "..sekalipun sudah diperlakukan tidak adil oleh Eropa, masih memuja bangsa itu karena didikan sekolahnya..."

    Cause I can't really find this part where Minke masih memuja Eropa, like in what form. You can tell me which chapter or which scene, if you don't mind hahaha.

    Sorry for bothering you bytheway. I'm only looking for a possibility how internet can make life easier hahaha :)

    I really appreciate it though, thank you :)

    ReplyDelete
  2. Hi, thank you for liking my review.

    I don't know whether I can help or not. Actually the book does not explain in explicite way about how Minke still loved the European because of his education. It was shown in some dialogs with other characters.

    Page 70-73 : Jean Marais suggested Minke to write in Melayu language and Minke felt offended.
    Jean Marais said, "Ada yang aku masih sayangkan. Mungkin juga disayangkan oleh ribuan orang: mengapa kau hanya menulis dalam Belanda? Mengapa kau hanya bicara pada orang Belanda dan mereka yang mengertinya? Kau tidak berhutang budi sedikit pun pada mereka seperti tak berhutang budi sedikit pun pada mereka seperti yang dikatakan oleh ibumu. Apa yang kau harapkan dari mereka maka kau selalu bicara pada mereka?"
    Minke was angry and said, "Apa kau tak mau tahu? Hanya orang kurang atau tidak berpendidikan saja membaca Melayu?"

    Page 100-105 : Minke had written about Khouw Ah Soe in newspaper and he was reading his writing but he found out that the news printed were not the same as the one he had written. He told her mother-in-law about how disappointed he was that newspaper could lie to people.
    Nyai Ontosoroh said, "Jangan sentimen. Kau dididik untuk menghormati dan mendewakan Eropa, mempercayainya tanpa syarat. Setiap kau melihat kenyataan adanya Eropa tanpa kehormatan, kau lantas jadi sentimen. Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat-aku, orang desa, tapi bisa juga sewa orang-orang Eropa yang ahli. Kau juga bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?"
    Minke was confused. He thought, "Seluruh dunia mengagumi Eropa karena kehebatannya dalam jaman-jaman ini, karena karya-karyanya, karena kemampuannya, karena kreasinya yang selalu baru, dan yang terbaru: jaman modern. Dia, ibu mertuaku ini, seorang diri menantang Eropa dengan caranya sendiri."

    Page 149-163 : Kommer and Jean Marais gave lecture about why Minke should wrote in Melayu language.

    Hope that can help. Good luck on your research!
    Sorry for the late reply.

    ReplyDelete