Friday 21 October 2011

Jejak Langkah


Judul : Jejak Langkah (Tetralogi Buru #3)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Resensi : 
Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal : meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru : "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan."

Jejak Langkah menceritakan perjalanan Minke dalam membangun organisasi. Di sini terlihat Minke jauh lebih pandai membaca situasi sekitar dibandingkan sebelumnya. Tapi tetap saja dia sangat mudah jatuh cinta pada kecantikan wanita sampai jadi bodoh sendiri.

Yang menonjol dari buku ini adalah tokoh perempuannya. Mulai dari Kartini si gadis Jepara yang rela melawan adat demi suatu kebebasan, Bunda Minke yang sangat taat pada budaya sederhana Jawa dan nenek moyang, Ang San Mei yang lebih mementingkan perjuangan bangsanya dibandingkan diri sendiri, Prinses Kasiruta yang sangat setia mengabdi pada suami, Dewi Sartika pembangun sekolah perempuan pertama. Saya sangat mengagumi para perempuan itu yang punya inisiatif dan bisa lepas dari trend demi membela apa yang dianggap diri benar.

Buku ini membuat perasaan diaduk-aduk. Marah, kesal, sedih. Gemas melihat betapa bodohnya kaum priyayi yang "beku", hanya mementingkan uang dan jabatannya. Kesal melihat betapa susahnya manusia-manusia tidak berpendidikan ini untuk seia sekata. Lalu akhirnya juga tragis. Minke harus menanggung akibat dari perbuatan para bawahannya yang begitu tolol dan tidak mau berpikir panjang. Memberontak namun tidak pakai otak.

"Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang yang paling pintar. Orang menamainya saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, karena memang akalnya mati. Lihat saja diriku ini. Jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi S.A.W. pada mulanya juga pedagang. Pedagang punya pengetahuan luas tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh." - pg. 520

Mengingatkan saya pada perkataan "Jangan mau jadi bujang besar tapi jadilah tauke kecil".


Lima bintang untuk riset yang kaya akan sejarah ini. Memang bagi mereka yang tidak suka pada detail dalam perjuangan bangsa bakal bosan dengan buku ini. Saya juga sempat malas baca roman dengan banyak unsur tahun dan nama-nama yang tidak saya kenal. Tapi yang saya ambil dari buku ini adalah amanat perjuangannya. Bahwa perjuangan tidak pernah mudah. Selalu ada banyak pengorbanan. Lihat saja Minke yang hidupnya terlihat kosong. Ia hanya hidup demi perjuangan bangsa Indonesia. Zaman penjajahan terlalu kejam dan tidak adil. Bagi Pribumi yang sangat malas dan tidak berpendidikan, mereka beruntung punya pendukung dan orang-orang seperti Minke. Kalau tidak, sampai sekarang mungkin Indonesia belum merdeka.

Eating buffet twice in a week... Dreamer has stomachache now, zzzzz...


:)

No comments:

Post a Comment