Friday, 28 October 2011

Jejak Kenangan


Judul : Jejak Kenangan
Pengarang : Rina Suryakusuma
Tebal : 264 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Duka masa lalu membayangi Allysa Gumulya. Berawal dari ayah yang tak pernah dikenalnya, kepergian ibunda yang sangat dicintainya, juga masa remaja penuh keprihatinan karena perbuatan gadis kejam yang tak berperasaan.

Ally bersumpah, demi malam yang dilaluinya dengan tangis, kesempatan untuk membalas luka masa lalunya akan tiba. Dan saat yang ditunggu itu memang tiba. Gadis masa lalu itu, Nadia Wibrata, hadir sebagai tunangan Ivan Adidjaja, pria yang sangat Ally cintai.

Solusinya terasa sangat mudah untuk Ally. Rebut Ivan, buat pria itu mencampakkan Nadia. Tapi, tidak semua kejadian berjalan seperti yang Ally rencanakan. Ketika Ivan mengetahui motif tersembunyi Ally, ego pria itu terluka.

Kini untuk kedua kalinya Ally harus berjuang. Kali ini bukan untuk dendam masa lalunya, tapi demi cinta sejatinya.…


Saya beli buku ini karena sangat tertarik dengan resensinya. Sumpah, menarik banget. Saya suka tipe cerita dramatis balas dendam kayak model begini.

Aduh, baca buku ini bikin saya kangen sama karya-karya Marga T. Dulu saya penggemar besar cerita tentang dokter-dokternya. Marga T. adalah salah satu pengarang yang bikin saya jatuh cinta sama karya lokal. Saya kan nasionalis, jadi cinta produk bangsa sendiri. Tapi sayangnya, saya tidak bisa menemukan pengarang lokal bagus yang lain setelah itu sehingga saya jadi banyak mengkonsumsi karya luar deh. 

Bukan berarti pengarang lokal lain itu jelek. Tapi ceritanya kurang cocok dengan selera saya saja. Novel sekarang kan banyak menggunakan gaya bahasa yang memamerkan branded items, lalu tokohnya kaya-kaya padahal sebagian besar masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Oke, itu memang pilih kasih. Tapi saya lebih suka tokoh yang miskin atau yang biasa-biasa saja, bukan yang hiperbola banget kekayaannya. Soalnya lebih terasa Indonesianya. 

Nah, Rina Suryakusuma ini bisa menjadi Marga T. versi modern. Saya baru pertama kali baca bukunya dia tapi saya langsung suka deh. Tokoh-tokohnya nyata banget. Terus nggak terlalu cheesy dan sangat membumi. Memang masih ada terpengaruh dengan gaya bahasa memamerkan  branded items, tapi saya rasa masih dalam porsi yang wajar.

Dan cowoknya sweet banget. Yang dia lakukan sangat sederhana tapi terasa sweet. Benar-benar menggambarkan kehidupan sehari-hari. Ditambah ada bumbu dramatisnya dengan soal dendam itu. 

Namun, sayang. Nah, ini memang kelemahan yang sering saya temukan di novel Indonesia. Kurang penjelasan. Kalau saya baca novel asing, buku-bukunya kaya akan deskripsi sehingga bisa berimajinasi. Nah, buku ini kurang itu. Banyak adegan di-skip, alurnya terlalu cepat. 

Padahal ceritanya sudah bagus banget. Tapi kekurangan dalam masalah teknis itu cukup mengganggu sehingga saya cuma bisa kasih tiga bintang saja. 

Dreamer is wondering if it is good to know what she wants, but her dream seems useless and people will say so too...


:)

Thursday, 27 October 2011

Brighter Than The Sun


Judul : Brighter Than The Sun (The Lyndon Sisters #2)
Pengarang : Julia Quinn
Tebal : 416 halaman
Penerbit : Dastan Books
Resensi :
Eleanor Lyndon, alias Ellie, adalah seorang gadis yang cerdas dan mandiri. Namun, itu tidak bisa menyelamatkannya dari penderitaan karena ayahnya akan menikah lagi dengan seorang wanita yang sudah bersumpah akan membuat hidupnya sengsara. Ellie pun harus cepat-cepat pergi dan mencari tempat tinggal baru.

Sementara itu, Charles Wycombe, Earl of Billington, harus menikah sebelum ulang tahunnya yang ketiga puluh atau ia akan kehilangan semua harta warisan ayahnya. Namun, ia belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya pantas sampai suatu ketika ia terjatuh dari pohon dan mendarat di kaki Ellie. Sikap Ellie yang tegas dan mandiri membuat Charles langsung merasa kalau Ellie cocok menjadi istrinya. Sedangkan Ellie yang membutuhkan tempat tinggal baru setuju untuk melakukan pernikahan pura-pura dengan Charles.

Namun, ternyata pernikahan dadakan mereka malah membuat Ellie semakin menderita, karena hampir setiap hari ia beradu mulut dengan Charles yang memang belum siap untuk berbagi urusan rumah tangganya dengan Ellie. Di lain pihak, Ellie yang sudah terbiasa menangani urusan rumah tangga ingin mengatur segalanya sendiri. Tapi, lama-kelamaan Charles yang diam-diam mulai jatuh cinta pada Ellie mulai melancarkan bujuk rayunya untuk meluluhkan Ellie. Mampukah Ellie bertahan untuk tidak jatuh cinta pada Charles yang ternyata memiliki kelembutan yang mampu meluluhkan hati seorang wanita yang keras kepala sekalipun?

Buku ini adalah sekuel dari Everything And The Moon. Tapi kali ini yang diceritakan adalah adiknya Victoria yaitu Eleanor Lyndon. 

Menurut saya, Julia Quinn sangat kreatif menciptakan dialog-dialognya. Saya benar-benar bisa merasakan betapa Charles kesal namun sayang sama Ellie yang tidak bisa berhenti bicara. Dan pertemuan mereka itu nggak banget. Jatuh dari pohon? Sumpah, itu parah banget. Aneh-aneh saja cara ketemunya.

Saya selalu bisa ngakak kalau baca buku-buku Julia Quinn. Mungkin saya sudah terlalu cocok dengan selera humornya yang witty dan cynical. Saya tahu memang pengarang ini selalu menulis cerita yang ringan dan nggak banyak konflik. Buku ini juga sama. Konfliknya cuma karena Ellie masih jual mahal sama Charles. Bagi saya yang suka cerita dramatis, terus terang saya tidak begitu suka dengan inti ceritanya. 

Tapi humornya sempurna. Jadi, empat bintang.

Dreamer cannot wait until tomorrow, here I come Bandung,


:) 

Friday, 21 October 2011

Jejak Langkah


Judul : Jejak Langkah (Tetralogi Buru #3)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Resensi : 
Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal : meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru : "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan."

Jejak Langkah menceritakan perjalanan Minke dalam membangun organisasi. Di sini terlihat Minke jauh lebih pandai membaca situasi sekitar dibandingkan sebelumnya. Tapi tetap saja dia sangat mudah jatuh cinta pada kecantikan wanita sampai jadi bodoh sendiri.

Yang menonjol dari buku ini adalah tokoh perempuannya. Mulai dari Kartini si gadis Jepara yang rela melawan adat demi suatu kebebasan, Bunda Minke yang sangat taat pada budaya sederhana Jawa dan nenek moyang, Ang San Mei yang lebih mementingkan perjuangan bangsanya dibandingkan diri sendiri, Prinses Kasiruta yang sangat setia mengabdi pada suami, Dewi Sartika pembangun sekolah perempuan pertama. Saya sangat mengagumi para perempuan itu yang punya inisiatif dan bisa lepas dari trend demi membela apa yang dianggap diri benar.

Buku ini membuat perasaan diaduk-aduk. Marah, kesal, sedih. Gemas melihat betapa bodohnya kaum priyayi yang "beku", hanya mementingkan uang dan jabatannya. Kesal melihat betapa susahnya manusia-manusia tidak berpendidikan ini untuk seia sekata. Lalu akhirnya juga tragis. Minke harus menanggung akibat dari perbuatan para bawahannya yang begitu tolol dan tidak mau berpikir panjang. Memberontak namun tidak pakai otak.

"Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang yang paling pintar. Orang menamainya saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, karena memang akalnya mati. Lihat saja diriku ini. Jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi S.A.W. pada mulanya juga pedagang. Pedagang punya pengetahuan luas tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh." - pg. 520

Mengingatkan saya pada perkataan "Jangan mau jadi bujang besar tapi jadilah tauke kecil".


Lima bintang untuk riset yang kaya akan sejarah ini. Memang bagi mereka yang tidak suka pada detail dalam perjuangan bangsa bakal bosan dengan buku ini. Saya juga sempat malas baca roman dengan banyak unsur tahun dan nama-nama yang tidak saya kenal. Tapi yang saya ambil dari buku ini adalah amanat perjuangannya. Bahwa perjuangan tidak pernah mudah. Selalu ada banyak pengorbanan. Lihat saja Minke yang hidupnya terlihat kosong. Ia hanya hidup demi perjuangan bangsa Indonesia. Zaman penjajahan terlalu kejam dan tidak adil. Bagi Pribumi yang sangat malas dan tidak berpendidikan, mereka beruntung punya pendukung dan orang-orang seperti Minke. Kalau tidak, sampai sekarang mungkin Indonesia belum merdeka.

Eating buffet twice in a week... Dreamer has stomachache now, zzzzz...


:)

Monday, 17 October 2011

The Zahir


Judul : The Zahir
Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Seorang suami ditinggalkan istrinya tanpa alasan, tanpa jejak. Kepergiannya menimbulkan pertanyaan besar yang makin lama makin menggerogoti hati dan pikiran, kenangan yang ditinggalkannya tak terhapuskan, hingga menjadi obsesi yang nyaris membawa sang suami pada kegilaan. Untuk menjawab pertanyaan: "Mengapa" itu, sang suami menelusuri kembali jejak kebersamaannya dengan sang istri, hal-hal yang terjadi dalam perkawinan mereka, hingga terjadinya perpisahan itu. Pencarian ini membawanya keluar dari dunianya yang aman tenteram, ke jalur yang tidak dikenalnya, dan membukakan matanya tentang makna cinta serta kekuatan takdir

Saya selalu suka karya Paulo Coelho karena filosofi yang ditulisnya mudah dicerna dan selalu berhasil bikin saya nyeletuk "Wah, betul banget ini" berkali-kali. Gaya penulisannya juga terkadang dibumbui sedikit sinisme yang membuat saya mulai mengamati kehidupan luar yang sedang digambarkannya.

Menceritakan seorang istri yang kecewa karena suami yang dicintainya tidak mau peduli lagi padanya. Kerap kali si suami tidak pernah peduli pada aktivitasnya dan mereka selalu bertengkar yang diakhiri dengan, "Kita bicara lagi besok." Padahal "besok" itu tak kunjung datang.
 

Lalu, si istri kabur dan menghilang tiba-tiba sehingga membuat si suami bertanya-tanya. Si suami yang tidak peduli pada awalnya hanya merasa biasa saja. Tapi kelamaan ia malah tidak bisa memikirkan hal lain selain istrinya itu. Bagaikan Zahir yang terus melekat di pikiran tak bisa diabaikan. Ini membuktikan kalau orang 
baru sadar akan betapa berharganya sesuatu setelah kehilangan sesuatu itu.

Buku ini menjelaskan perjalanan seorang suami untuk memahami istrinya juga cinta itu sendiri. Di awal, sang suami hanyalah pemuda luntang-lantung tanpa tujuan yang miskin. Namun karena istrinya ini ia bisa menemukan mimpinya sebagai penulis buku dan menjadi terkenal. Tapi setelah terkenal, ia lupa pada istrinya sendiri. Sesuai konsep Bank Budi, seseorang akan menabung utang di bank orang lain jika mendapatkan bantuan dari orang lain itu. Sementara jika ada orang yang meminta bantuan, Bank Budi milikmu akan terisi. Tapi di sini sang suami melupakan utangnya pada istrinya dan malah bersikap seperti suami brengsek. 


Saya sungguh bingung. Kedua suami istri ini selingkuh dengan sepengetahuan yang lain. Dan mereka tidak saling peduli. Ada apa dengan dunia saat ini? Memangnya perselingkuhan sudah dianggap wajar? Ah, makin lama saya merasa semakin kolot saja. 

Yang berkesan bagi saya adalah konsep acomodador bahwa orang selalu memiliki batas. Seperti contohnya saat kita belajar alat musik. Ada satu saat kita sampai pada batas di mana kita mandek dan tidak bisa maju mengembangkan kemampuan kita lagi. Di saat seperti itu kebanyakan orang menyerah dan tidak ingin berusaha lagi. Seperti di dalam kisah ini. Si suami dan istri sadar akan ketidakberesan pernikahannya. Tapi mereka sudah menyerah dan tidak mau peduli lagi.
 

Selain acomodador, saya suka dengan teori Jante. Bahwa di dunia ini ada hukum alam yang mengatur. Kalau hukum itu dilawan, pasti akan ada yang marah. Contohnya, penulis buku yang tidak begitu terkenal pasti dianggap angin lalu. Tapi penulis yang sangat terkenal dianggap sudah melawan batas hukum alam itu sehingga muncul para kritikus yang iri pada kesuksesan mereka. Mereka mengkritik dan menghina karya si penulis padahal mereka mungkin sama sekali tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Empat bintang!

Dreamer's bedroom is like a wrecked ship, really very messy...


:)

Sunday, 16 October 2011

Beauty Like The Night


Judul : Beauty Like The Night
Penulis : Liz Carlyle
Penerbit : Oak Tree
Resensi :
Ketika Helene de Sevres menapakkan kakinya di tangga pintu rumah Camden Rutledge, kisah masa lalu terungkap. Helene—putri seorang janda yang sangat “licik”, telah berupaya keras untuk menjadi ahli dalam psikiatri anak, cabang kedokteran yang sedang berkembang pesat—mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan pribadi untuk seumur hidup memberikan pelayanan dan pendidikan. Camden, putra Lord Treyhern seorang penggemar wanita dan punya hubungan terselubung dengan ibu Helene, telah menyelamatkan semua anggota keluarga, baik dari jurang kehancuran finansial maupun sosial. Kewajiban adalah segalanya bagi Cam.

Helene dan Camden adalah sepasang kekasih di kala remaja. Ketika Helene membalas sebuah iklan yang mencari guru pribadi khusus, yang belakangan ternyata untuk menyembuhkan anak perempuan Camden yang mengalami trauma, sulur-sulur ketertarikan tak terelakkan tumbuh lagi di antara mereka. Hati Camden yang selama ini beku tanpa sentuhan cinta mulai meleleh bersamaan dengan perjuangan mereka membentuk citra diri mereka sendiri terhadap citra buruk orangtua mereka, yang menghadirkan mereka ke dunia ini tanpa mencurahkan kasih sayang.

Halangan apa yang mereka hadapi dalam memperjuangkan benih-benih cinta yang dulu pernah ada setelah rentang waktu sekian lama berlalu? Apakah mereka berhasil mempertautkan cinta dan kasih sayang mereka?


Saya tertarik membeli buku ini karena cover-nya. Hitam mengkilap. Benar-benar cocok dengan judulnya.

Ini karya pertama Liz Carlyle yang saya baca. Tapi dari satu buku ini saya menyimpulkan kalau pengarang ini sangat detail. Dia mengarang adegan per adegan dengan plot yang sangat lambat. Bayangkan di awal buku saya sampai bosan karena tiga bab untuk kejadian satu hari. Pagi, siang, malam diceritakan. Tapi di luar itu, saya memuji pengarang ini untuk menciptakan tokoh dengan kedalaman karakter yang luar biasa. Camden yang serius dan terlalu bertanggung jawab tertarik pada Helene yang ceria dan berkepribadian kuat. 

Menceritakan dua orang yang bersahabat di masa muda, namun dipisahkan oleh kedua orang tuanya. Mereka bertemu lagi saat Camden membutuhkan pengajar pribadi bagi anaknya yang tidak mau bicara. Helene yang sejak berpisah dengan Camden mencoba menapaki hidup di jalan yang terhormat dengan menjadi pengajar sekaligus psikiatri.

Orang tua dari kedua belah pihak adalah orang-orang yang egois sehingga menjadikan kedua tokoh adalah sosok yang penuh luka. Ayah Camden adalah bangsawan yang suka bermain wanita dan hanya peduli membuang-buang uang hingga bangkrut. Dari muda, Camden sudah bekerja keras demi mempertahankan kekayaan keluarganya juga mengurus kedua adiknya karena sang ibu sudah meninggal. Sedangkan ibu Helene adalah wanita mata duitan yang suka berpindah-pindah dari satu pria kaya ke pria kaya lain. Bahkan ibu Helene adalah simpanan ayah Camden. 

Kepahitan itulah yang membuat Camden dan Helene bersahabat. Mereka bahkan jatuh cinta tapi karena status yang tak sesuai mereka dipisahkan. 

Pertemuan belasan tahun kemudian di rumah Camden kembali mengungkap luka lama. Camden masih kecewa dan marah karena Helene sama sekali tidak mau berjuang demi hubungan mereka dulu. Namun Camden tidak bisa memungkiri perasaannya sendiri untuk Helene sehingga akhirnya ia malah menerima Helene apa adanya. 

Liz Carlyle membangun hubungan kedua tokoh tidak berdasar dari nafsu dan hasrat. Mereka membangun sebuah hubungan dari persahabatan dan percakapan sederhana yang sehari-hari. Sangat realistik sehingga saya harus angkat topi bagi pengarang yang bisa menulis hal seperti ini. Tapi sayangnya percakapan sederhana itu bagi saya agak menjemukan.

Yang menarik dari novel ini adalah keberadaan misteri di dalamnya. Selama tinggal di rumah itu, Helene menemukan misteri di balik kematian almarhum istri Camden. Ia tahu Ariane, anak Camden tidak mau bicara karena apa yang dilihatnya sewaktu ibunya meninggal. Dan si penjahat masa lalu masih mengintai. Dia takut Ariane akan membongkar rahasianya. Di samping itu, Helene yang sudah berhasil sedikit demi sedikit membujuk anak itu untuk bicara harus disingkirkan. 

Buku ini adalah seri pertama dari Rutledge Family. Saya sangat tertarik untuk membaca adik Camden, Bentley. Tokoh ini sangat misterius, santai, namun juga penuh kepahitan. Menarik sekali.

Empat bintang.

Dreamer is preaparing for flea market, gonna sell things...


:)

Saturday, 15 October 2011

Junko Furuta Murder

 

This is the most disgusting, inhuman, crazy, and cruel thing that I have ever known. This makes me want to serve the justice. If anyone is willingly to hand over to me these murderers, I gonna plan the brutal torture for them. Thousand times more brutal than the things that they did to this poor girl. Seriously, reading these kind of things summons the psycho-sides of me. LOL =.= Ok, that's not funny. But I hate cruel people like these. Oh, I just hope there are people like Dexter Morgan out there. I gonna give them the Nobel Prize just for killing the bad people.

The details about the murder :
Junko Furuta. The girl who went through 44 days of torture.

DAY 1: November 22, 1988: Kidnapped
Kept captive in house, and posed as one of boy’s girlfriend
Raped (over 400 times in total)
Forced to call her parents and tell them she had run away
Starved and malnutritioned
Fed cockroaches to eat and urine to drink
Forced to masturbate
Forced to strip in front of others
Burned with cigarette lighters
Foreign objects inserted into her vagina/anus

DAY 11: December 1, 1988: Severely beat up countless times
Face held against concrete ground and jumped on
Hands tied to ceiling and body used as a punching bag
Nose filled with so much blood that she can only breath through her mouth
Dumbbells dropped onto her stomach
Vomited when tried to drink water (her stomach couldn’t accept it)
Tried to escape and punished by cigarette burning on arms
Flammable liquid poured on her feet and legs, then lit on fire
Bottle inserted into her anus, causing injury

DAY 20: December10, 1989: Unable to walk properly due to severe leg burns
Beat with bamboo sticks
Fireworks inserted into anus and lit
Hands smashed by weights and fingernails cracked
Beaten with golf club
Cigarettes inserted into vagina
Beaten with iron rods repeatedly
Winter; forced outside to sleep in balcony
Skewers of grilled chicken inserted into her vagina and anus, causing bleeding

DAY 30: Hot wax dripped onto face
Eyelids burned by cigarette lighter
Stabbed with sewing needles in chest area
Left nipple cut and destroyed with pliers
Hot light bulb inserted into her vagina
Heavy bleeding from vagina due to scissors insertion
Unable to urinate properly
Injuries were so severe that it took over an hour for her to crawl downstairs and use the bathroom
Eardrums severely damaged
Extreme reduced brain size

DAY 40: Begged her torturers to “kill her and get it over with”

January 1, 1989: Junko greets the New Years Day alone
Body mutilated
Unable to move from the ground

DAY 44: January 4, 1989: The four boys beat her mutilated body with an iron barbell, using a loss at the game of Mah-jongg as a pretext. She is profusely bleeding from her mouth and nose. They put a candle’s flame to her face and eyes.

Then, lighter fluid was poured onto her legs, arms, face and stomach, and then lit on fire. This final torture lasted for a time of two hours.

Junko Furuta died later that day, in pain and alone. Nothing could compare 44 days of suffering she had to go through.

When her mother heard the news and details of what had happened to her daughter, she fainted. She had to undergo a psychiatric outpatient treatment . Imagine her endless pain.

Her killers are now free men. Justice was never served, not even after 20 years.
They deserve a punishment much greater than they had put upon Furuta, for putting an innocent girl through the most unbearable suffering.
Seriously, how in the world these kinds of people even exist? Are they even human at all? Do they have feelings? These morons (I don't know how to call them anymore since they are surely neither humans nor animals) should be punished. How could they still be free? It's not fair. What they did to her... Seriously, what's wrong with them?

Oh, God. This is a nightmare. I cannot sleep after reading this. I blame people who shared this link in facebook and made me reading this. T.T 

Dreamer admires Dexter Morgan for his bravery to kill bad people... The world really needs someone like him...

:)