Tuesday 26 February 2019

Queen of Air and Darkness


Judul : Queen of Air and Darkness (The Dark Artifices #3)
Penulis : Cassandra Clare
Tebal : 893 halaman
Penerbit : Simon & Schuster Children's UK

Innocent blood has been spilled on the steps of the Council Hall, the sacred stronghold of the Shadowhunters. In the wake of the tragic death of Livia Blackthorn, the Clave teeters on the brink of civil war. One fragment of the Blackthorn family flees to Los Angeles, seeking to discover the source of the disease that is destroying the race of warlocks. Meanwhile, Julian and Emma take desperate measures to put their forbidden love aside and undertake a perilous mission to Faerie to retrieve the Black Volume of the Dead. What they find in the Courts is a secret that may tear the Shadow World asunder and open a dark path into a future they could never have imagined. Caught in a race against time, Emma and Julian must save the world of Shadowhunters before the deadly power of the parabatai curse destroys them and everyone they love.


Review:
Akhirnya saya berhasil melahap buku monster ini. Saya harus akui, saya agak kecewa dengan beberapa bagian dari endingnya. Tapi karena saya membaca seri Shadowhunters demi karakter dan dunianya, saya tetap merasa enjoy saat membacanya. Saya masih mendapat  nuansa nostalgia dan juga perasaan sedih karena mengingat karakter-karakter yang disebut dan sudah meninggal, seperti orang-orang di London Institute.

Warning: Spoiler!

Buku ini melanjutkan ending buku kedua yang sangat menggantung. Masih dalam adegan yang sama saat Julian memeluk tubuh Livia yang sudah meninggal. Bagian awal ini cukup bikin sakit hati karena menceritakan cara berduka masing-masing anggota keluarga Blackthorn. Julian yang sudah seperti orangtua Livi sangat sedih sampai terpaksa pergi ke Magnus dan meminta si warlock untuk menghilangkan perasaannya. 

Seperti Will Herondale.

Nah, bagian serunya adalah melihat sosok Julian yang berubah. Entah kenapa sosok Julian yang tak berperasaan sangat menarik untuk dibaca. Apalagi pas dia dengan enaknya duduk dengan kaki naik ke atas meja si Horace Dearborn. Biasanya Julian kan sopan dan sensitif. Sekarang dia jadi keren dan makin pintar memanipulasi. Agak kejam sih. Tapi saya suka karena Julian menjadi sosok yang lebih tega membunuh musuh. Puas banget saya bacanya pas dia tidak ragu-ragu membunuh salah satu anak buah Horace. Mantap! Cuma yah... kasihan si Emma.

Jadi, cerita Horace tahu soal rasa cinta di antara Emma dan Julian. Mereka akhirnya dihukum untuk melakukan misi ke dunia Faery dan mendapatkan kembali buku yang dicuri Annabel. Misi bunuh diri sebenarnya. Tapi Julian jauh lebih pintar dari itu. Dia punya cara untuk menggunakan hukuman itu kepentingannya sendiri. 

Susah ya... Saya memang sudah terlalu bias soal Julian Blackthorn. Setiap kali dia muncul, saya selalu semangat.

Di sisi lain, Ty yang tidak mau menerima kematian saudara kembarnya sudah menyusun rencana untuk membangkitkan Livia kembali dari kematian. Dia meminta Kit untuk membantunya. Sumpah. Dua orang ini berhasil mengambil hati saya dengan sangat mudahnya. Saya suka sekali hubungan mereka. Interaksi mereka juga cute banget. Saya ngakak pas bagian soal Uber. 

Ada banyak sekali hal yang terjadi di buku ini. Bahkan ada bagian soal dunia alternatif di mana Livia masih hidup dan Sebastian menang. Saya memang tidak terlalu suka tema dunia alternatif seperti ini.  Mungkin tujuannya supaya bisa menampilkan tokoh-tokoh lama yang sudah mati. Tapi buat apa? Saya tidak mau bertemu dengan Sebastian lagi. Memang, bagian Livia-nya bikin saya cukup sedih.

Kalau boleh jujur, saya merasa buku ini agak kacau. Perangnya kurang keren. Annabel juga tidak terlalu berperan besar sekalipun judul buku ini menggambarkan sosoknya. Selain itu, bagian Julian dan Emma yang menjadi raksasa juga bikin saya mengernyit geli. Aneh gitu. Dan lebih anehnya, mereka berdua berhasil dibujuk setelah seluruh anggota keluarga Blackthorn maju dan menyatakan rasa sayang mereka. Terlalu cheesy, walaupun saya lumayan tersentuh dengan hubungan erat seluruh anggota keluarga Blackthorn.

Tapi, bagian yang paling saya tidak suka dari semuanya adalah penyelesaian kutukan parabatai di antara Julian dan Emma. Sempurna banget. Saya maunya ada konsekuensi yang lebih mengena. Saya berharap mereka kehilangan rune Shadowhunter atau menjadi manusia biasa. Pokoknya saya tidak suka ending yang terlalu bahagia. Setelah membahas kutukan parabatai yang berbahaya di dua buku sebelumnya, penyelesaiannya melempem amat. Cuma begitu doang?

Tapi semua itu tidak penting begitu Alec Lightwood melamar Magnus. Saya nangis parah. Menurut saya, itu adalah lamaran dengan kata-kata paling menyentuh dan romantis yang pernah saya baca di buku. 

“When I found you, I didn’t know what I was finding,” Alec said. “Words about things that are beautiful and precious to me don’t come easily. You know that. You know me better than anyone.” He licked his dry lips. “And when one day people look back on me and what my life meant, I don’t want them to say, ‘Alec Lightwood fought in the Dark War’ or even ‘Alec Lightwood was Consul once.’ I want them to think, ‘Alec Lightwood loved one man so much he changed the world for him.’ ” (damn...)

Ah, masih banyak hal yang belum selesai di buku ini. Hubungan Ty dan Kit yang tidak selesai cukup bikin saya sedih. Cara Ty terus bertanya di mana Kit dan kenapa Kita tidak mau bertemu dengannya... Saya sudah tidak sabar menanti seri The Wicked Power yang akan menceritakan mereka berdua, termasuk konsekuensi yang harus dihadapi Ty setelah membangkitkan hantu Livia.

Oh, ya. Alec terpilih jadi Consul. Tapi karena Zara dan pengikutnya tidak setuju, mereka mengancam mau bunuh diri. Mereka mengisolasikan diri di Alicante, sementara Alec dan para pendukungnya tidak ada yang boleh masuk. Ih, gemes! Saya tidak tahan baca bagian bigotry ini. Menurut saya, Zara seorang villain yang bagus. Bikin saya merasakan kebencian yang sangat mendalam, sumpah. 

Dan saya melupakan soal Christina, Mark, dan Kieran. Sepertinya hubungan polyamorous ini sangat dipuji-puji sebagai sesuatu yang bagus. Tapi saya merasa koneksi di antara Christina dan Kieran itu tidak ada. Christina dan Mark oke. Kieran dan Mark jelas oke. Tapi Christina dan Kieran boleh dibilang instalove

Yang jelas, saya punya keluhan yang sama soal buku ini dengan buku City of Heavenly Fire. Setiap pasangan punya adegan yang terlalu banyak dalam menyatakan cinta mereka. Satu atau dua kali pernyataan cinta sudah cukup. Tidak perlu berulang-ulang dalam dosis yang redundant

Ya, sudahlah. Saya masih merasa terhibur. Apalagi saya sudah buta kalau soal Julian Blackthorn. Saya juga suka banget sama Kit dan Ty. Terus adegan pernikahan Alec dan Magnus juga bagus.

Di tahap ini, saya tidak mungkin berhenti membaca seri Shadowhunter. Gila, si Cassandra Clara kapan sih mau berhenti? Bangkrut saya. Bukunya mahal-mahal pula. #sigh

Seri The Dark Artifices:
3. Queen of Air and Darkness

4/5

No comments:

Post a Comment