Sunday 27 December 2015

Antologi Rasa


Judul : Antologi Rasa
Penulis : Ika Natassa
Tebal : 328 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tiga sahabat. Satu pertanyaan. What if in the person that you love, you find a best friend instead of a lover?

K e a r a

Were both just people who worry about the breaths we take, not how we breathe.
How can we be so different and feel so much alike, Rul?
Dan malam ini, tiga tahun setelah malam yang membuatku jatuh cinta, my dear, dan aku di sini terbaring menatap bintang-bintang di langit pekat Singapura ini, aku masih cinta, Rul. Dan kamu mungkin tidak akan pernah tahu.
Three years of my wasted life loving you.

R u l y

Yang tidak gue ceritakan ke Keara adalah bahwa sampai sekarang gue merasa mungkin satu-satunya momen yang bisa mengalahkan senangnya dan leganya gue subuh itu adalah kalau suatu hari nanti gue masuk ke ruangan rumah sakit seperti ini dan Denise sedang menggendong bayi kami yang baru dia lahirkan. Yang tidak gue ceritakan ke Keara adalah rasa hangat yang terasa di dada gue waktu suster membangunkan gue subuh itu dan berkata, "Pak, istrinya sudah sadar," dan bahwa gue bahkan tidak sedikit pun berniat mengoreksi pernyataan itu. Mimpi aja terus, Rul.

H a r r i s

Senang definisi gue: elo tertawa lepas. Senang definisi elo? Mungkin gue nggak akan pernah tahu. Karena setiap gue mencoba melakukan hal-hal manis yang gue lakukan dengan perempuan-perempuan lain yang sepanjang sejarah tidak pernah gagal membuat mereka klepek-klepek, ucapan yang harus gue dengar hanya, "Harris darling, udah deh, nggak usah sok manis. Go back being the chauvinistic jerk that I love."
That's probably as close as I can get to hearing that she loves me.


Review:
Isi novel ini sebenarnya sederhana. Cinta tak sampai di antara empat orang yang bersahabat. Yang membuat novel ini sangat menonjol adalah bahasa penulisan Ika Natassa yang sangat unik dan beda. Pokoknya saya terkesan dengan pengetahuan penulis dan kehebatannya dalam membuat kalimat-kalimat yang nendang. Walaupun terlalu banyak bahasa Inggris, saya rasa itu cocok dengan kehidupan Jakarta yang sangat modern. Lagian ini kan genre metropop.

Jujur, saya capek baca buku ini. Bukan soal karakternya yang menyebalkan. Oh, itu akan saya bahas setelah ini. Tapi yang bikin saya capek adalah dunia hedonisnya. Saya tidak tahu apakah kehidupan Jakarta segila itu. Orang-orang dengan gaji 8 digit selalu membeli barang mahal, hura-hura, dan membicarakan hidup mewah seakan itu hal yang lumrah. Kok orang bisa segitunya ya? Fana banget. Pokoknya novel ini terlalu fana sampai bikin saya pusing. Kosong. 

Sekarang saya akan bahas karakternya. Di buku ini ada empat orang yang jadi narator. Masing-masing punya gayanya sendiri dalam bercerita. Tapi gaya narasi mereka tidak terlalu berbeda sih karena semuanya orang-orang hedon. Kecuali Ruly yang agak lebih saleh sedikit, 

Yang pertama adalah Keara. Saya sih harus mengakui kalau sifat bitchy-nya itu lucu. Saya tidak terlalu banyak membaca tokoh utama yang jago flirting dan mempermainkan cowok. Jadi, tokoh ini cukup fresh di mata saya. Tapi... saya sangat sangat sangat tidak suka tokoh ini. Masalah selera saja. Tokoh utama bagi saya adalah sebuah panutan. Atau setidaknya bisa saya relate dengan kehidupan sehari-hari. Sayangnya, Keara bukan tokoh seperti itu. Dia bodoh, tidak tahu diuntung, tukang ngeluh, tidak fair, dan segala hal tidak baik lainnya. Saya tidak bisa menemukan satu kebaikan apapun dari tokoh satu ini selain cantik dan seksi (tidak penting). Dia katanya pintar bekerja dan punya photographic memory. Semakin aneh saja. Party girl tidak sesempurna itu. Belum lagi kebodohannya dalam cinta. Ceritanya dia suka sama Ruly yang baik dan tidak sombong. Karena mereka bersahabat, Keara takut menyatakan cintanya. Apalagi Ruly suka cewek lain. Lalu si Keara patah hati dan mabuk-mabukan. Waktu mabuk, dia minta Harris cium dia dan berlanjut ke adegan 17 tahun ke atas. Paginya dia ngamuk karena merasa dimanfaatkan. (Ya, Keara sebodoh itu. Jelas-jelas dia yang kasih undangan ke si Harris.) Karena kesal, dia mencoba melupakan dengan main flirting dengan cowok lain bernama Panji. Dia mainin cowok ini sesuka dia karena dia kesepian seperti nenek-nenek gatel. Ugh... Katanya cewek mandiri Jakarta. Tapi butuh cowok buat menaikkan egonya. Kalau nggak disayang-sayang, dikagumi, dan dipuji cowok ganteng, rasanya diri tidak berguna. Puhleaseeee... Dan tetap saja dia masih berharap pada Ruly. Let's kill this girl, shall we?

Yang kedua adalah Harris. Dia ini penjahat kelamin. Tukang tidur sana-sini. Sangat percaya diri karena dia ganteng. Tapi hatinya cuma buat Keara. Agak kasihan sih sebenarnya. Sial bener suka sama cewek gila kayak Keara. Cuma... dia juga aneh. Kalau memang dia cinta sama Keara, kenapa dia bisa meniduri si Keara sewaktu cewek itu mabuk? Haloooo? Segitu nafsunya sama Keara sampai nggak bisa menahan diri? Otaknya di kepala atau di "situ"? Yah, sudahlah. Orang bodoh memang berjodoh dengan orang bodoh. Padahal si Harris ini cukup lucu. Narasinya yang lebay dan suka narsis itu sering bikin saya ketawa. Sayang, porsinya terlalu sedikit. Keara terus yang jadi narator.

Yang ketiga adalah Ruly. Dia ini cowok baik-baik. Normal dan biasa saja. Saking biasanya, dia jadi membosankan. Saya tidak tahu apa yang dilihat Keara dari cowok ini. Awalnya saya cukup suka sama dia. Lumayan membumi kelihatannya. Tapi makin ke belakang makin nyebelin. Tidak tegas dan tidak punya pendirian. Suka cewek yang sudah nikah dan tidak move on bertahun-tahun. Lalu setelah beberapa hari bersama dengan Keara di Bali, hatinya berpindah. Tapi begitu ketemu Denise lagi, hatinya kembali berpindah. #tepokjidat

Narator keempat adalah Panji. Ah, kamu. Korban Keara yang kasihan banget. Tipikal playboy yang bertobat gara-gara satu cewek. Cewek gila pula. Sayangnya, kamu bukan tokoh utama. Cuma jadi mainan saja deh. 

Yang bikin saya betah membaca sampai akhir adalah bahasa penulisan Ika Natassa yang beda banget dari penulis lain. Dialog-dialognya yang sangat modern dan agak mesum juga lucu. Kalimat-kalimatnya juga banyak yang quotable walau tidak ada yang berkesan banget. Dan saya juga harus mengacungi jempol karena penulis sangat telaten dalam menulis setiap karakternya. Sangat hidup. Profesi dan kebiasaan-kebiasaan para tokohnya juga detail sekali. 

Fiuh... Akhirnya beres juga baca novel ini. Terlalu tebal untuk membahas tema cinta tak sampai. Putar-putar terus tanpa tujuan. Endingnya menggantung. Beberapa halaman terakhir juga kesannya terlalu terburu-buru. Anti klimaks banget. Coba kalau tokoh-tokohnya pintar sedikit. Mungkin masalah cinta tak sampai ini akan beres dalam beberapa halaman saja. Katanya sibuk? Kerjaan di bank sangat padat dengan jam lembur yang tidak masuk akal? Tapi ngurusin cinta saja nggak beres-beres. Ini sih namanya kebanyakan waktu. Orang sibuk tidak punya waktu mikirin urusan hati. Cari uang saja sudah sulit. 

Sudah, ah. Rakyat jelata mau membaca kisah rakyat jelata saja. Pusing baca cerita orang-orang elite. 

3/5

No comments:

Post a Comment