Judul : Schlossgarten, Cinta di Tepi Danau
Penulis : Viskha Ivonita
Tebal : 296 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Sejak dulu aku beranggapan danau yang berada di Schlossgarten merupakan tempat terindah di Stuttgart. Di pinggir danau itu aku suka berpiknik untuk menghilangkan kepenatan akibat tugas-tugas kampusku. Kuliah di negeri mahadaya teknik ini membuat tenaga dan waktuku tersita, bahkan pacar saja aku tidak punya.
Sampai suatu malam di musim semi, aku berdoa kepada Sang Khalik agar aku dipertemukan dengan jodohku. Tak disangka, Tuhan mengabulkan doaku dengan cepat, dalam dua hari saja. Sejak itu Schlossgarten bukan hanya indah, tapi juga romantis.
Michael, begitu nama pria Jerman yang berkenalan denganku di pinggir danau di Schlossgarten pada Sabtu cerah di bulan Mei. Aku, Kirana, gadis Indonesia yang selalu patuh pada norma-norma, tergelincir akibat cinta pada pandangan pertama yang membutakan. Akankah Schlossgarten menjadi tempat yang romantis untuk selamanya?
Review:
Saya tertarik membeli buku ini karena judulnya yang berbahasa Jerman. Biasanya orang lebih suka menggunakan setting Paris, Inggris, Jepang, atau Korea untuk kisah romantis. Saya yang suka Jerman langsung semangat ingin baca.
Terus-terang saya kaget waktu lihat rating di goodreads yang di bawah 2 bintang. Memangnya bisa sejelek apa nih? Tapi setelah saya membacanya, saya benar-benar tidak suka dengan isi dan gaya bahasanya.
Kisah ini bertempat di Stuttgart, salah satu kota industri besar di Jerman. Adegan awal dimulai saat Kirana sedang berkumpul bersama teman-temannya di Schlossgarten. Dari arti katanya, Schlossgarten ini semacam taman di depan kastil. Di situ ada danau yang sangat disukai Kirana. Bukan hanya karena pemandangan dan suasananya yang indah, tapi karena ia bertemu dengan Michael, si pria Jerman tampan yang baik hati di danau itu.
Intinya mereka jatuh cinta. Tapi Kirana terlalu naif dan sepertinya tidak mengerti budaya pemikiran orang bule yang bisa seenaknya memutuskan hubungan jika sudah tidak cocok sekalipun sudah berhubungan badan.
Ceritanya hanya seperti itu. Sederhana saja. Mungkin saya bisa kasih 2 bintang kalau bukan karena gaya bahasanya yang buruk sekali. Menurut saya, novel harus menyeimbangkan sistem telling dan showing. Terlalu banyak showing akan terasa bertele-tele, sedangkan terlalu banyak telling terkesan menggurui dan tidak bisa diresapi. Buku ini terlalu banyak showing. Seluruh adegan dan dialog dituliskan secara detail sampai yang tidak penting pun juga ada. Bayangkan saja. Ada percakapan antara dua orang, lalu mereka mengulangi lagi percakapan itu ke orang ketiga dengan dialog yang sama persis. Pengulangan seperti itu terjadi berkali-kali dan terasa membosankan.
Lalu ini kan labelnya amore alias kisah cinta. Chemistry antara dua tokoh utama harus kuat dan menarik. Sayangnya, Kirana dan Michael ini jatuh cinta hanya karena fisik. Instan pada pandangan pertama. Bukan berarti saya tidak suka cerita cinta pada pandangan pertama. Kalau penulisnya pintar dan bisa membuat seakan cinta itu masuk akal sih tidak apa-apa. Ini sih aneh. Saya tidak bisa merasakan keistimewaan Kirana ataupun Michael. Bahkan kalau saya mau jujur, sikap Michael yang datar dan cuek di pertemuan kedua membuat saya langsung tahu mereka tidak bakal cocok. Dialog keduanya itu seperti dialog interview orang biasa. "Kamu suka ini?", "Ya, saya suka. Kamu juga?" Ugh. Masa standar begitu sih? Mana momen magisnya?
Selain itu, banyak sekali percakapan tentang menunjukkan jalan. "Jadi, kamu lurus saja ya. Nanti di pojok kamu bakal ketemu mal besar. Di depannya ada taman. Cari saja danaunya. Kita lagi ngumpul di situ." Semacam itulah. Kebetulan si Kirana selalu bertemu teman baru yang ingin bergabung, jadi mereka suka mengadakan perkenalan. Nah, orang baru itu paling cuma dijelaskan beberapa kalimat dan pertemuan mereka selanjutnya belum tentu ada orang itu. Jadi, buat apa diceritakan kalau tidak menyumbang peran dalam plot cerita? Oke, saya mengerti kalau penulis ingin membangun cerita senormal mungkin seperti kejadian nyata biasa. Tapi saya sih baca buku buat cari sesuatu yang unik, bukan mengalami hal normal seperti kehidupan nyata. Beneran deh. Membaca buku ini mengingatkan saya akan masa waktu saya di luar negeri dan diajak pergi oleh salah satu teman. Ceritanya kita mau pergi BBQ bareng. Terus kita saling kenalan dan basa-basi. Sama persis dengan dialog di buku ini. Pasti bicara soal tempat-tempat unik. "Pernah pergi ke sini nggak? Makanannya enak, loh." "Belum, nanti kapan-kapan saya coba." Cuma, tidak seperti buku ini karena saya tidak menemukan cowok ganteng dan jatuh cinta. Eaaaaa....
Jadi, maaf ya. Saya tidak bermaksud kejam. Tapi saya beneran tidak suka buku ini. Nggak jelas banget karakter dan ceritanya.
1/5
Catatan: Review ini ditulis dalam rangka baca bareng BBI bulan September dengan tema buku ber-rating 1-2 bintang.