Judul : Miss Pesimis
Penulis : aliaZalea
Tebal : 272 halaman
Penerbit : Gramedia
Cinta masa SMA bagi Adriana bernama Baron. Ia mengagumi lelaki itu dari jauh namun tidak pernah berani mendekatinya.
Sekarang Adriana berusia hampir 30 tahun. Tanpa pasangan dan hanya kerja melulu. Namun Adriana sadar jam biologisnya terus berjalan dan ia harus segera menikah. Di saat seperti itulah ia ingin sekali bertemu Baron dan kali ini ia harus berani menyatakan perasaannya.
Di sisi lain, Adriana pernah naksir Ervin yang dikenalnya di pesawat. Tapi mereka hanyalah sepasang sahabat. Dan Adriana pun lupa dengan perasaan naksirnya pada Ervin. Ia bahkan tidak terlalu peduli pada sifat playboy Ervin dan aktivitas seksual sahabatnya itu yang berlebihan.
Dan hadirlah Baron... Pria itu sudah punya tunangan dan hampir menikah. Adriana kecewa tetapi saat Baron terus mendekatinya, ia tak mampu menolak. Puncaknya terjadi saat pria itu melamarnya.
Nuraninya berkata itu semua salah. Adriana pun menolak Baron dan membantu pria itu kembali pada tunangannya.
Patah hati dan frustrasi, Adriana ingin membuang sifat kaku dan terkendalinya. Ia ingin bebas. Bebas berciuman dengan siapapun, one night stand... Dan Ervin menawarkan dirinya sendiri padanya...
Apa yang akan terjadi?
Kesan:
Ini kali kedua saya membaca karya aliaZalea. Ternyata tokoh wanitanya adalah adik dari tokoh utama di buku
Blind Date. Saya kurang suka dengan bukunya yang pertama karena terlalu banyak kebetulan dan tokohnya terlalu sempurna. Tapi di novel kali ini penulis sudah mengalami kemajuan.
Kebetulan-kebetulan masih ada tapi tidak sebanyak itu. Masih bisa ditoleransi. Untuk tokohnya... saya cukup suka karena manusiawi, nggak sempurna dan punya kelemahan.
Awalnya buku ini sangat menjanjikan. Saya suka interaksi sederhana dan sangat sehari-hari antara Ervin dan Adriana. Real dan seperti hubungan persahabatan pada umumnya. Namun begitu Baron muncul, semuanya mulai aneh. Terutama cara Adriana menyadarkan Baron akan pentingnya kesetiaan terhadap calon istrinya. Beneran aneh. Belum lagi keputusan Adriana untuk gila-gilaan, minum alkohol, dan one night stand. Rasanya orang alim seperti Adriana tidak mungkin dalam sekejap berubah gila seperti itu.
Tokoh Ervin lumayan tapi tidak bikin gemas gimana. Biasa saja.
Yang paling mengecewakan adalah endingnya. Kurang dramatis gimana gitu. Cara penyelesaian masalahnya juga kurang asyik ah. Pokoknya nggak sesuai selera saya.
Tapi saya suka dialog antara Adriana dan kakaknya. Sangat real dan tepat sekali.
"Gue
bosan sama hidup gue yang itu-itu saja. Dari gue SD, yang gue tahu Cuma
sekolah sama kerja, mencoba untuk jadi murid terbaik, anak terbaik,
adik terbaik, pokoknya segala sesuatu yang terbaik. Semua itu gue
kerjakan supaya gue nggak ngecewain lo, Bapak, dan Ibu. Gue
nggak pernah bisa menikmati masa-masa ABG gue karena terlalu sibuk
mikirin nilai. Semua itu gue bela-belain sampai gue nggak punya social life.
Waktu semua orang mulai pada pacaran, lo tahu gue ada di mana? Di
perpustakaan... belajar. Gue nggak pernah ada kesempatan untuk
benar-benar merasakan apa itu fall in love."
“Siapa bilang kamu nggak pernah jatuh cinta. Kamu dilamar sama Vincent, kan?”
“Yang
kemudian gue tolak? Kebayang nggak sih.... dua kali gue dilamar orang,
satu kali sama laki-laki yang memang gue nggak cinta dan satu kali lagi
sama laki-laki yang gue sangka gue cinta. Tapi buntutnya gue tolak
dua-duanya. Gue kerja kayak orang kesetanan, maksudnya supaya orang bisa bilang gue sukses. Tapi gue nggak bisa share sama orang lain kesuksesan gue itu. Gue nggak punya suami, nggak ada anak, nggak punya love life.
Waktu di Lembang gue sadar selama ini gue mengidentifikasi diri gue
dengan segala sesuatu yang ada di sekeliling gue. Tapi gue sendiri nggak
pernah tahu siapa gue di luar itu. Gue bahkan nggak tahu apa yang gue
mau."
“Kamu
ini adikku yang paling pintar, paling baik, paling berbakat, paling
punya potensi untuk sukses. Kamu punya kerjaan bagus yang kamu suka...”
"Tapi itu bukan yang gue mau, Mbak... itu
semua gue kerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tapi gue
ngerasa kosong, dan gue baru sadar kekosongan itu nggak akan bisa diisi
sama segala sesuatu yang sifatnya material. Kekosongan itu harus diisi
dengan... cinta.”
“Kamu dicintai sama gue, Ibu, Bapak, keluarga besar kita, Ina, sobat-sobat kamu....”
“Ya
memang cinta, tapi gue mau cinta dalam bentuk lainnya. Suatu bentuk
cinta yang selama ini ada di kamus gue, tapi dengan definisi yang salah.
Gue pikir gue cinta sama seorang laki-laki selama lima belas tahun tapi sekarang gue sadar gue nggak cinta sama dia. Separo hidup
gue sudah habis hanya untuk menunggu cinta orang itu. Gue sudah salah
perhitungan. Sekarang
gue sudah mengerti bahwa bentuk cinta yang gue mau berarti pengorbanan,
bukan permintaan. Cinta itu harus diberi dengan rela dan terbuka."
Nice dialog, really. I'm touched. Haha...
3/5