Friday, 30 March 2012

Disguised: A Wartime Memoir


Judul : Disguised: A Wartime Memoir
Penulis : Rita la Fontaine de Clerq Zubli
Tebal : 366 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Buku ini adalah autobiografi perempuan keturunan Belanda yang tinggal di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang. Ditulis dengan kata-katanya sendiri, Rita la Fontaine berusaha menggambarkan apa yang terjadi padanya dan juga keluarganya sewaktu menjadi tawanan perang.

Setting dimulai pada akhir tahun 1941 setelah Jepang menghancurkan Pearl Harbour dan mencetuskan Perang Dunia II. Ayah Rita adalah seorang pekerja di bagian kepengurusan telegram. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi pada keluarganya begitu Jepang memutuskan untuk masuk ke Hindia Belanda. Rita, sebagai anak perempuan satu-satunya, diminta untuk menyamar menjadi anak laki-laki supaya tidak dijadikan budak seks untuk penjajah Jepang. Saat itu usia Rita dua belas tahun. 

Perjalanan dimulai. Rita, ibu, Tante, dan kedua adiknya harus tinggal di kamp tawanan perang bersama wanita-wanita dan anak kecil lain. Kamp pria terpisah sehingga ayah Rita harus ditempatkan di kamp yang berbeda dengan mereka. Tiga tahun lamanya mereka berjuang untuk tetap bertahan hidup di kamp yang kotor dan jelek.

Entah kenapa saya membandingkan memoir ini dengan Between Shades of Gray karya Ruta Sepetys. Keduanya sama-sama menceritakan kehidupan tawanan perang. Hanya saja, entah benar atau salah, kamp Jepang ini kok sangat manusiawi ya. Tidak seperti kamp Rusia di BSoG. Pemimpin kamp sangat baik hati pada Rita yang diubah namanya menjadi Rick. Kebetulan Rita bisa bahasa Jepang karena pernah belajar sewaktu menjadi asisten di sebuah kantor yang atasannya orang Jepang. Karena itulah, ia dipercaya untuk menjadi penerjemah. Dan para pemimpin kamp sayang banget sama si Rita. 

Baru pertama kali saya baca kehidupan perang seindah ini. Rita itu beruntung sekali karena disukai para atasan Jepang bahkan dipuji-puji pula. Dan saya jadi merasa buku ini dituturkan oleh orang yang narsis. Bayangkan saja. Pujian-pujian itu banyak sekali. Tidak hanya dari para atasan Jepang, tapi juga dari penghuni kamp tawanan. Semuanya selalu berterima kasih atas bantuan Rita walau saya pikir bantuan yang diberikan Rita tidak terlalu istimewa. Dan Rita baru berusia tiga belas tahun saat itu. Aneh saja rasanya membaca hal seperti itu. 

Kurang konflik, menurut saya. Atau mungkin kurangnya penjelasan dan deskripsi-lah yang membuat saya tidak menikmati buku ini. Rita tidak terlalu menjelaskan latar belakang ayah ibunya. Ia juga tidak menjelaskan kedua adiknya itu seperti apa. Seluruh cerita hanya berlangsung di sekitar Rita sendiri. Bahkan Rita tidak menjelaskan banyak soal kematian ibunya. Seakan kematian itu tidak ada artinya. Beneran. Saya merasa ada yang salah dari buku ini. Tidak ada emosinya sama sekali. Padahal sayang. Saya suka sekali tema perang begini.

Catatan akhir : Buku ini dibaca untuk mengikuti post bareng BBI bulan Maret, yaitu dengan tema perempuan. Diterbitkan bersama dengan anggota BBI yang lain pada tanggal 30 Maret 2012.

2/5  

Thursday, 29 March 2012

Chronicle


 Judul : Chronicle (Ther Melian #2)
Penulis : Shienny M. S.
Tebal : 520 halaman
Penerbit : Elex Media Komputindo

Berlanjut dari buku pertamanya... Valadin merasa bersalah karena telah membunuh teman-teman sebangsanya demi mendapatkan kekuatan Aether yang diinginkannya. Ia bahkan mengorbankan Vrey, gadis yang dicintainya.

Di akhir buku pertama Vrey, Aelwen, dan Rion terkena sihir Eizen dan jatuh ke jurang magma. Mati? Jelas tidak mungkin. Masa di buku pertama tokoh utamanya sudah mati? Dengan bantuan sihir Aelwen, mereka berhasil selamat.

Saya sangat suka dengan tokoh Aelwen dan ternyata rahasia yang disimpannya membuat saya kaget, sekaget-kagetnya. Sudah pasti saya dukung tokoh unik ini sampai akhir. Hahaha...

Vrey yang merasa marah telah ditipu oleh Aelwen memanfaatkan posisi Aelwen sebagai anggota kerajaan untuk memulihkan nama buruk mereka. Vrey mau dibersihkan dari segala tuduhan pencurian. Hanya sayangnya, di tengah perjalanan mereka masih harus bertemu dengan Valadin dan teman-temannya yang ingin mendapatkan Relik Safir yang sempat dicuri Vrey sewaktu di gua magma.

Di buku ini, tokoh Leighton yang paling ditonjolkan. Bukan Vrey. Kelihatan sekali kalau Vrey bakal berakhir dengan si pangeran ganteng ini walau Vrey masih bimbang karena selama enam tahun ini ia hanya mencintai Valadin. Tapi si Leighton sangat memperhatikan Vrey dan selalu mendukung gadis itu, tidak seperti Valadin yang masih mengutamakan kejayaan bangsanya. Jadi, Vrey tampaknya mulai berpindah hati nih. 

Petulangan terus berlanjut. Pengkhianatan dan penipuan mewarnai perjalanan mereka. Bahkan akhir buku kedua ini membuat saya bengong. Tampaknya penulis senang sekali membunuh tokoh utamanya. 

Oke. Untuk buku kedua ini, konflik terasa jauh lebih banyak. Kejutan dan perjalanan para tokoh lebih menarik diikuti dari buku pertama. Mungkin karena buku pertama banyak perkenalan, sementara di buku ini semuanya berjalan dengan lancar tanpa perlu banyak penjelasan lagi.

Karakter Valadin semakin kuat dan saya sangat mengerti mengapa ia mati-matian mempertahankan ambisinya sekalipun ia bakal dibenci bangsanya sendiri. Memang buku ini ditujukan untuk memperlihatkan kalau tidak ada tokoh yang jahat atau baik sekali. Semuanya berada di daerah abu-abu. Dan tokoh Valadin ini salah satunya. Di satu sisi, ia membunuh banyak orang demi mencapai tujuannya. Tapi tujuannya adalah menyelamatkan bangsanya sendiri. Ia siap menerima konsekuensi perbuatannya. Sampai akhir pun ia masih tetap berpegang pada prinsipnya sendiri. Dan ini membuat saya suka dengan sifatnya. Berapa banyak orang yang bisa berpegang teguh pada prinsipnya saat semua orang menentangnya? Bahkan Vrey, orang yang paling berarti baginya saja menentangnya.

Tokoh-tokoh lain mulai tampak kekuatannya. Dalam hal karakterisasi, saya cukup puas dengan penjelasannya. Sekalipun beberapa tokoh cukup sulit dibedakan. Yah, terlalu  banyak tokoh memang selalu bisa membuat kebingungan seperti itu.

Untuk gaya penulisan... kekakuan yang saya rasakan di buku pertama sudah mulai berkurang. Tapi tetap saja. Saya masih bisa merasakan beberapa dialog yang kurang enak dibaca. Yah, itu bukan masalah besar. Yang penting tujuan dan maksud cerita sudah disampaikan penulis dengan baik.

4/5

Saturday, 24 March 2012

Letters To Sam


Judul : Letters To Sam
Penulis : Daniel Gottlieb
Tebal : 232 halaman
Penerbit : Gagasmedia

"Aku tak sanggup memikirkan hal ini, tetapi aku tahu, satu hari nanti, kau akan mendengar seseorang berkata, 'Dia autis.' Kalau hal itu terjadi, aku khawatir, kau akan menyadari bahwa ketika orang melihatmu, mereka tak melihat seorang Sam. Mereka melihat sebuah diagnosis. Sebuah masalah. Sebuah pengelompokan. Bukan seorang manusia."

Daniel Gottlieb, seorang psikolog dan terapis keluarga, begitu sedih saat mendapati cucunya yang bernama Sam menderita autis. Tapi dia sangat menyayangi Sam dan ingin cucunya tahu bahwa segalanya baik-baik saja. Dia menulis surat-surat dengan harapan suatu hari Sam akan membacanya dan mendapatkan banyak pelajaran tentang kehidupan yang mungkin tidak akan sempat diberikannya. 
 
Daniel mengalami kelumpuhan di usianya ke 29 tahun. Kecelakaan yang dialaminya membuat tulang belakangnya putus dan ia lumpuh setengah badan. Keadaan itu pernah membuatnya putus asa sebelum akhirnya ia menerima dan berdamai dengan kecacatannya itu. Karena merasa sama-sama merasa berbeda, ia ingin Sam tahu kalau memiliki kecacatan tidak berarti akhir dari segalanya.

"Sam, selama bertahun-tahun aku mendapati bahwa aku bukanlah seorang tunadaksa. Aku memang memiliki kelumpuhan. Kau bukan penderita autis. Kau memiliki autisme. Karena label yang dilekatkan pada kita, beberapa orang takut mendekati kita. Beberapa yang lain menjadi berhati-hati ketika bicara atau memberi kepercayaan kepada kita. Dengan cedera tulang belakangku dan autisme yang kau miliki, kita terlihat berbeda dan bertindak berbeda. Tapi, kita juga bisa mengajari orang lain... bahwa apa pun yang terjadi dengan tubuh atau pikiran kita, jiwa kita akan tetap utuh."

Banyak kekhawatiran dalam hati Daniel mengenai masa depan Sam. Ia takut cucunya itu kecewa dan marah pada hidupnya.

"Akar dari kekecewaan adalah keinginan."

"Sam, suatu hari nanti, segala yang memiliki keterikatan dengan kita akan lenyap: benda-benda milik kita, orang yang kita kasihi, bahkan kemudaan dan kesehatan kita. Ya, setiap kehilangan adalah pukulan. Tapi juga kesempatan. Ada sebuah pepatah kuno ala sufi: 'Ketika hati menangisi apa yang hilang, maka jiwa bersuka cita atas apa yang diperoleh."

Saya suka sekali dengan banyak kalimat di buku ini. Rasanya seperti ikutan kuliah dengan mata pelajaran kehidupan yang ringan dan mengena.

"Aku mengemukakan pendapatku--bahwa orang merasa kesepian karena ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan mereka."

"Apa yang selalu membuat kita merasa lapar? Rasa aman dan kebahagiaan, tentu saja. Namun, rasa aman yang kita dambakan adalah perasaan aman yang tak bisa diperoleh dengan kepemilikan atau penguasaan. Kalau kita bisa membeli rumah besar dan mobil bertenaga luar biasa, kita mungkin bisa mendapatkan ilusi rasa aman, tetapi semua itu tetap saja ilusi. Kalau kita bisa mengerjakan sesuatu dengan baik di sekolah atau kantor, kita mungkin telah melakukan pencapaian, tetapi selalu ada hal lain yang harus dicapai--kebahagiaan akan selalu ada di tikungan berikutnya. Rasa aman yang sebenarnya hanya datang saat kita merasa nyaman dengan diri kita sesungguhnya... Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah efek samping dari kehidupan yang kita jalani dengan baik."

"...ketika kita berhenti melawan kematian, kita akan sanggup bangkit untuk hidup."

Daniel tidak hanya mengajari soal penerimaan, tapi juga bagaimana berjuang dalam kehidupan. Beneran, sepertinya pendapat Daniel cocok untuk otak saya. Setuju banget, pokoknya.

"Satu hal yang dibutuhkan anak-anak adalah ketahanan, dan kebutuhanmu yang berkaitan dengan permasalahan sepele dalam hidup pun bisa tampak besar dan membuat tak berdaya. Cara terbaik untuk membentuk ketahanan pada masa dewasa adalah dengan menghadapi dan belajar dari kesulitan sejak dini. Hal yang paling penting bukanlah bagaimana menghindari masalah; tetapi belajar bagaimana mengatasi masalah yang muncul."

Yah, kesimpulannya... buku yang ditulis sebagai hadiah berharga dari seorang kakek pada cucunya ini benar-benar luar biasa. Isinya sangat manis dan mendamaikan hati. Sayang sekali, buku ini banyak typonya. Biasanya saya tidak terlalu peduli soal typo, tapi kalau terlalu banyak kan mengganggu juga.

"Banyak dari kita menderita karena mencoba menjalani kehidupan yang pernah kita miliki atau kehidupan yang kita dambakan. Kau mengingatkanku hari itu bahwa hidup terasa sangat manis ketika kita menjalani kehidupan yang kita miliki."

"Sam, aku ingin kau tahu bahwa menjadi berbeda bukanlah masalah. Ini sekadar menjadi berbeda. Tapi, merasa berbeda bisa menjadi masalah. Ketika kau merasa berbeda, perasaan ini bisa benar-benar mengubah caramu melihat dunia."

Definitely my favorite book. Haha...

4/5

Wednesday, 21 March 2012

Midnight For Charlie Bone


Title : Midnight For Charlie Bone (The Children of The Red King #1)
Writer : Jenny Nimmo
Number of Page : 346
Publisher : Egmont Books Ltd

I encountered Charlie Bone for the first time when my mother bought very cheap books in a garage sale years ago. I wanted to read them at that time, but the problem was that she didn't buy the first book. I was curious because she said that Charlie Bone was as good as Harry Potter. However, I soon forgot about the books. 

Then, last month my sister told me that she saw cheap book sets in a bookstore. It was Charlie Bone, of course. She wanted to buy but she knew that she would not have time to read. So, I offered to read them and would tell her the stories afterward. And she bought the books with her money. *happy evil wink (muhahaha...)

Now come the review...

Charlie Bone was an ordinary boy who lived with his two grandmothers and her mother. He had best friend named Benjamin who was also his neighbour.

One day when he saw a strange photo he heard the sounds from it, some mysterious conversations about a lost baby. He tried to hide his ability but one of her grandmother knew it. She forced him to go to Bloor's Academy where the other specials like him studying. 

In Bloor's Academy, Charlie belonged to blue group, music students. There were green for drama and purple for arts. He stayed in the dormitory and met new friends. I think it's a bit like Hogwarts without magic. 

Charlie had to adapt with his new life and also the danger that suddenly surrounded him. And it all started with only a single strange photo!

So, Charlie and his friends had to investigate about the photo subjects and stay out from the bad people who targeted them. What did they find out at the end?

First of all, I should say that you cannot compare it to Harry Potter because Charlie Bone was meant for children. The plots are simple, the dialogs are more childish, the mysteries are not as deep as Harry Potter. Both are very different.

Charlie Bone gave me chills and dark feeling because all people around him were all strange and suspicious. Even his grandmother, his uncle, and his friends. It seemed that the only normal people were Charlie, her mother, and Benjamin's dog. Furthermore, I could not even guess what would happen next because all characters seemed suspicious. It was both good and bad. Good because the story was unpredictable, bad because I didn't like the characters. They were all freaks and creepy. But, that was just my opinion. The adventure and the mystery were actually not bad. It's just that this book was definitely not for me.

Moreover, the plots were quite to the point. Fast-paced actions without emotional conflicts. Not my type since I enjoy descriptions and deep feeling. 

Oh, I will still read the next installments. I was still curious about many things that were not solved in this book. And I had promised my sister to read it. Hehehe...

2/5

Ten Things I Love About You


Judul : Ten Things I Love About You (Bevelstoke #3)
Penulis : Julia Quinn
Tebal : 440 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Annabel Winslow diincar oleh Earl of Newbury karena tampak subur dan bisa melahirkan banyak anak. Earl of Newbury ingin sekali punya anak laki-laki secepatnya sebelum dia meninggal. Ia tidak mau gelarnya jatuh ke tangan keponakan  yang dibencinya. Kebetulan Annabel juga miskin dan butuh uang untuk merawat keluarganya di pedesaan, jadi ia mempertimbangkan Earl of Newbury sebagai calonnya walau pria itu gemuk, mesum, dan menjijikkan.

Sebastian Grey bertemu dengan Annabel di taman suatu malam tanpa mengetahui kalau gadis itu adalah tunangan pamannya. Mereka mengobrol layaknya orang asing tanpa saling menyebut nama. Namun keduanya jelas sudah saling tertarik sejak awal.

Paman dan keponakan saling bersaing. Sampai berantem di klub segala sehingga menimbulkan banyak skandal.

Tapi akhirnya siapakah yang Annabel pilih? Earl of Newbury yang kaya dan berpengaruh atau Sebastian yang tidak terlalu kaya namun dicintainya?

Sebelumnya saya mau bilang Sebastian Grey ini luar biasa baik dan sempurna. Dia nggak punya gelar dan dipandang rendah oleh bangsawan lain tapi dia sangat memesona dan lucu. Dia sabar dan santai. Dia nggak gampang marah dan suka iseng. Tapi yang pasti dia keterlaluan baiknya sama Annabel. Ia selalu ada untuk menolong Annabel setiap kali gadis itu kesulitan. Yah, siapa sih yang nggak jatuh cinta sama Sebastian?

Hanya saja menurut saya cerita ini agak hambar. Yang saya suka dari Julia Quinn adalah dialog-dialognya yang fresh dan witty. Tapi di sini saya tidak melihat semua itu sama sekali. Tidak ada dialog menggemaskan yang bisa membuat saya kesal sekaligus geli. Memang chemistry di antara kedua tokoh ada tapi saya tetap tidak dapat feel-nya.

Keunikan dari cerita ini adalah kedua tokohnya yang suka membuat list. Sepuluh hal yang bla bla bla..., sepuluh hal yang bla bla bla... 

Oh, ternyata ada rahasia yang disimpan Sebastian... Berkaitan dengan Miss Sainsbury And The Mysterious Colonel. Hehehe... Sebastian ini agak mengingatkan saya pada Colin Bridgerton di buku Julia Quinn yang lain, berjudul Romancing Mr. Bridgerton. Profesi keduanya sama cuma dengan tema yang berbeda.

Selesai sudah seri Bevelstoke ini. Kurang suka, ah. Lebih suka Bridgerton series.

Seri Bevelstoke : 
1. The Secret Diaries of Miss Miranda Cheever
3. Ten Things I Love About You

3/5

Monday, 19 March 2012

Revelation


Judul : Revelation (Ther Melian #1)
Penulis : Shienny M. S.
Tebal : 448 halaman
Penerbit : Elex Media Komputindo

Ini novel fantasi lokal pertama yang saya baca. Awalnya saya kira ini komik, lho. Tapi ternyata novel dengan ilustrasi gambar di awal setiap bab.

Jadi, apa cerita novel ini?

Tokoh utamanya ada dua. Vrey, si pencuri dan Valadin sang ksatria suci. Kita akan diperkenalkan dengan kedua tokoh ini di bagian awal sebelum cerita dimulai. 

Setting bertempat di Ther Melian, benua yang didiami oleh berbagai macam ras. Di buku pertama ini diperkenalkan manusia, Elvar (dari kata elf mungkin), dan Vier-Elv (campuran manusia dan Elvar). 

Vrey adalah seorang Vier-Elv yang pintar mencuri. Dia hidup bersama kelompoknya bernama Kucing Liar, sebuah kelompok yang khusus menerima permintaan para kolektor barang antik. Mereka mencuri dan menyediakan barang bagi pembeli. Begitulah mereka hidup.

Tapi Vrey punya ambisi lain. Dia ingin mendapatkan jubah Nymph yang kehebatannya sudah melegenda. Dan karena itulah, ia dan sahabatnya Aelwen pergi mengembara demi mencari jubah itu.

Di sisi lain, ada Valadin. Elvar yang adalah ksatria suci ini membenci sistem bangsanya yang sekarang. Ia kesal karena manusia mulai memenuhi tempat tinggal mereka dan merusak alam yang mereka jaga. Valadin ingin mengembalikan kejayaan bangsanya supaya mereka bisa memerintah di atas semua ras lain. Oleh karena itu, ia dan keempat temannya memutuskan untuk mencari tujuh kekuatan elemen alam (Aether) agar bisa mendapatkan kekuatan tak terkalahkan.

Dan keduanya bersimpangan jalan...

Oke, ceritanya sederhana sih kelihatannya. Tapi jangan tertipu. Ada banyak kejadian unik di dalamnya. 

Membaca buku ini terasa seperti bermain RPG. Dulu saya sempat tergila-gila sama game tipe RPG dan rasanya buku ini membuat saya bernostalgia ke masa-masa itu (kayak udah tua aja =.=). Seru sekali melihat para tokoh yang punya keunikan dan keahlian masing-masing. Kalau di dalam game Vrey pasti seorang thief, Valadin adalah semacam paladin dengan senjata pedang dan shield sekaligus bisa healing, ada Aelwen yang seorang Acolyte, Laruen si Archer, Karth si Assasin, dan lain-lain. 

Singkat kata. Keren banget, dah.

Di dalam buku ini ada peta yang menggambarkan dunia Ther Melian. Ini sangat memudahkan saya untuk memahami deskripsi letak dan tempat yang dikunjungi. Belum lagi ilustrasinya. Bagus, uy. Ilustrasi Vrey sangat tepat seperti yang ada di kepala saya. 

Selain itu, ada glossarium di bagian belakang untuk membantu mengingat istilah yang pernah disebutkan sebelumnya. Memang untuk cerita fantasi seperti ini, harus ada glossarium. Nama makhluk, tempat, ras, mantra, bahkan pedang pun ada namanya. Terlalu banyak istilah dan saya jelas butuh kamus buat memahami beberapa bagian.

Ceritanya menarik untuk dibaca. Saya memang pada dasarnya suka buku petualangan, jadi jelas langsung suka sama buku ini. Apalagi bagian ujian para tetua Aether itu. Wih, kreatif sekali.

Hanya saja mungkin saya kurang cocok dengan gaya bahasanya. Ada beberapa bagian yang agak ganjil dan kurang enak dibaca. Beberapa tokoh kurang konsisten sifat dan percakapannya. Atau mungkin karena cuma selewat saja jadi nggak terlalu mengena. Lalu entah kenapa saya agak bingung dengan Valadin. Dia ini ambisius tapi kok bijaksana banget sama teman-temannya. Kesannya agak bertolak belakang gitu. Tapi ini sih pendapat saya saja. Saya kan belum baca lanjutannya, mungkin akan lebih baik lagi nanti. Di buku ini percakapan dan deskripsi masih agak kaku, soalnya.

Oh, soal si Vrey dan Valadin. Udah ketebak sih dari awal kalau mereka pernah mengenal di masa lalu. Bahkan pernah saling suka. Jadi, nggak kaget kalau di akhir mereka ketemu dan marah-marah gimana gitu. Saya juga nggak kaget sama Aelwen yang ternyata lebih dari sekadar Acolyte yang kabur dari biara. Dari awal sudah curiga kalau Aelwen pasti berperan penting. Hehehe...

Eniwei, saya tetap suka sama ceritanya dong. Asyik saja membaca petualangan Vrey dan Valadin. Sekalian main game (ceritanya ini mah).

4/5

Wednesday, 14 March 2012

Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran


Judul : Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran
Tebal : 385 halaman
Penerbit : Pustaka LP3S Indonesia

Buku jadul nih, diterbitkan pertama kali tahun 1981. Saya beli atas rekomendasi tukang buku di Palasari.

Ternyata sebuah diari. Baru saja saya baca diari Anne Frank dan sekarang saya baca diari si Soe Hok Gie. 

Siapa sih Soe Hok Gie ini? Seperti judulnya, dia adalah seorang demonstran. Lahir 17 Desember 1942, pemuda berketurunan Cina ini adalah nasionalis sejati. Dia mencintai Indonesia dengan amat sangat sampai rela mengorbankan kehidupan pribadinya untuk memperjuangkan sesuatu yang sia-sia. Dengan tulisannya, ia mengkritik para penguasa yang korupsi dan ketidakadilan di Indonesia. Mulai dari mengkritik kebiasaan mengoleksi wanita Presiden Soekarno, menghasut pembubaran PKI, memimpin berbagai macam demonstrasi, menghina para pejabat dan menteri, entah apa lagi.

"Is it a crime to be an idealist?"

Betul. Soe Hok Gie terlalu idealis. Dia juga seorang reformis yang menolak dibilang radikal. A bitter realist.

Membaca diari Soe Hoe Gie ini entah kenapa saya merasa sedih. Gie terlalu memaksakan diri membela apa yang ia anggap benar. Dia sangat jujur, lurus, dan berani menentang para petinggi negara. Saya mengacungkan jempol untuk keberanian dan sikap nekadnya, tapi saya jadi merasa makin sedih. Masalahnya, apa yang diperjuangkannya tidak berhasil-berhasil bahkan sampai sekarang juga Indonesia masih tetap penuh korupsi seperti dulu. Dengan kata lain, hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan sesuatu yang sia-sia. Ditambah lagi, dengan sikap terang-terangannya itu ia harus mengorbankan kehidupan pribadinya. Kehidupan cintanya tak sejalan dengan kemauannya. Orang tua wanita yang disukainya melarang anak gadisnya dekat-dekat Soe Hok Gie karena takut terlibat. Mereka mengagumi Gie, tapi untuk menjadi bagian keluarga... nanti dulu. Terlalu berbahaya.

Kesepian. Itulah yang dirasakan Gie sebagian besar waktu. Apa yang diperjuangkannya membuatnya dibenci dan dijauhi banyak orang. Dan dia sadar soal itu. Tapi tetap saja. Ia tidak mau mengorbankan pemikirannya dan terus ngotot berjuang. Dia bahkan menulis kalau dia harus belajar jatuh cinta pada kesepiannya.

Luar biasa sosok Soe Hok Gie ini. Bahkan dari muda dia sudah menyukai sastra berat. Leo Tolstoy dilalapnya waktu berusia 12 tahun. Tak heran ia menjadi sang intelektual yang kritis pemikirannya. Hanya sayang, dia meninggal di usia yang sangat muda (27 tahun) saat melakukan hobinya yaitu mendaki gunung. 

"Filsuf Yunani pernah menulis : Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua adalah dilahirkan tetapi mati muda. Dan yang tersial adalah mati di umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah, mereka yang mati muda."

Buku ini berisi kumpulan catatan harian Soe Hok Gie. Menarik untuk dibaca sekalipun banyak bagian yang membosankan karena mencakup kehidupan sehari-hari Gie. Banyak nama teman-teman Gie yang jelas saya tidak kenal. Mungkin diari ini akan lebih menyenangkan dibaca oleh orang terdekat Gie yang mengenal detail kehidupannya. Tapi saya tetap suka membaca narasi-narasi Gie yang rumit dan penuh analisis. Keren.

Sekarang tinggal nonton filmnya deh. Cihuy!

4/5

Wednesday, 7 March 2012

The Mysterious Benedict Society and the Prisoner's Dilemma


Title : The Mysterious Benedict Society And The Prisoner's Dilemma 
(The Mysterious Benedict Society #3)
Writer : Trenton Lee Stewart
Number of Page : 391
Publisher : Little Brown And Company

This is the last book of The Mysterious Benedict Society. I feel sad for saying goodbye to the kids. 

Okay, it's kinda hard for me to write reviews for adventure books because the whole stories are about the journey. I cannot spoil it because then you just lost the fun.

Anyway, the last book was about Ledroptha Curtain again. He was out there planning wicked plans to steal the Whisperer machine. Because of that, Mr. Benedict concerned about the safety of the children (Kate, Rennie, Sticky, and Constance) and he asked them to stay in his house. They were not allowed to go outside without supervision.

The children were stucked and they were bored. Until one day, suddenly the whole town was dark. Lights were all out. And the bad Mr. Curtain came silently to take the machine.

For me, the appeal of Mysterious Benedict Society series was the riddle. However, the last book was unfortunately lack of riddles. There are more actions, running, chasing, and traps. It's a nice read but I don't know why it feels bland. It's not as excited as the previous two books.

The ending is superb and heart-warming. Happy ending, of course. And I like the poem that Constance write to Mr. Benedict. Genius and funny! But, it's too long to write it here.

I think for these series I like the second book the most. It's more memorable, don't know why.

The Mysterious Benedict Society series :
1. The Mysterious Benedict Society
2. The Mysterious Benedict Society and the Perilous Journey
3. The Mysterious Benedict Society and the Prisoner's Dilemma

=.= Such a long title, eh?

3/5

Friday, 2 March 2012

9 Summers 10 Autumns


Judul : 9 Summers 10 Autumns
Penulis : Iwan Setyawan
Tebal : 238 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Buku ini bertujuan untuk menginspirasi. Ceritanya mengenai perjalanan Iwan Setyawan, anak supir angkot asal Kota Batu untuk bisa sukses di New York. Semacam biografi yang sangat singkat dan cukup mengena.

Saya suka dengan kalimat-kalimat puitisnya. Penjelasan mendetail mengenai rumah masa kecil Iwan di Kota Batu, ayah-ibunya, dan juga keempat saudara perempuannya. Entah kenapa saya merasa nuansa novel ini agak bittersweet. Perjalanan hidup seorang Iwan ini tidak lebay sih. Keluarganya miskin tapi semua anak-anaknya masih bisa sekolah. Hanya saja Iwan sangat beruntung karena ditawarkan pekerjaan di Amerika.

Segalanya mulai dari bawah. Perlahan namun pasti kalau kita ulet, kesuksesan akan datang menghampiri. Pintar-pintar saja mencari kesempatan. 

Penyampaian cerita novel ini cukup oke. Tapi saya nggak suka sama kalimat Inggrisnya yang kebanyakan. Waduh, ini sih kayak baca buku Inggris nanggung. Dialognya sebagian besar dalam bahasa Inggris, mungkin itu dimaksudkan supaya nuansa New Yorknya lebih terasa kali ya. Tapi rasanya aneh. Sebentar Inggris, sebentar Indonesia. Kelihatannya nggak rapi gitu. 

Lalu saya agak bingung dengan hubungan Iwan dengan si anak kecil yang selalu mendengarkan cerita masa kecilnya. Hubungan yang sangat aneh sampai saya merasa apa si anak kecil ini adalah sosok yang tidak nyata, semacam pribadi ganda si Iwan. Tampaknya saya mikirnya kejauhan, padahal kayaknya ini bukan novel psikologi deh. Haha...

2/5