Judul : Disguised: A Wartime Memoir
Penulis : Rita la Fontaine de Clerq Zubli
Tebal : 366 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Buku ini adalah autobiografi perempuan keturunan Belanda yang tinggal di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang. Ditulis dengan kata-katanya sendiri, Rita la Fontaine berusaha menggambarkan apa yang terjadi padanya dan juga keluarganya sewaktu menjadi tawanan perang.
Setting dimulai pada akhir tahun 1941 setelah Jepang menghancurkan Pearl Harbour dan mencetuskan Perang Dunia II. Ayah Rita adalah seorang pekerja di bagian kepengurusan telegram. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi pada keluarganya begitu Jepang memutuskan untuk masuk ke Hindia Belanda. Rita, sebagai anak perempuan satu-satunya, diminta untuk menyamar menjadi anak laki-laki supaya tidak dijadikan budak seks untuk penjajah Jepang. Saat itu usia Rita dua belas tahun.
Perjalanan dimulai. Rita, ibu, Tante, dan kedua adiknya harus tinggal di kamp tawanan perang bersama wanita-wanita dan anak kecil lain. Kamp pria terpisah sehingga ayah Rita harus ditempatkan di kamp yang berbeda dengan mereka. Tiga tahun lamanya mereka berjuang untuk tetap bertahan hidup di kamp yang kotor dan jelek.
Entah kenapa saya membandingkan memoir ini dengan Between Shades of Gray karya Ruta Sepetys. Keduanya sama-sama menceritakan kehidupan tawanan perang. Hanya saja, entah benar atau salah, kamp Jepang ini kok sangat manusiawi ya. Tidak seperti kamp Rusia di BSoG. Pemimpin kamp sangat baik hati pada Rita yang diubah namanya menjadi Rick. Kebetulan Rita bisa bahasa Jepang karena pernah belajar sewaktu menjadi asisten di sebuah kantor yang atasannya orang Jepang. Karena itulah, ia dipercaya untuk menjadi penerjemah. Dan para pemimpin kamp sayang banget sama si Rita.
Baru pertama kali saya baca kehidupan perang seindah ini. Rita itu beruntung sekali karena disukai para atasan Jepang bahkan dipuji-puji pula. Dan saya jadi merasa buku ini dituturkan oleh orang yang narsis. Bayangkan saja. Pujian-pujian itu banyak sekali. Tidak hanya dari para atasan Jepang, tapi juga dari penghuni kamp tawanan. Semuanya selalu berterima kasih atas bantuan Rita walau saya pikir bantuan yang diberikan Rita tidak terlalu istimewa. Dan Rita baru berusia tiga belas tahun saat itu. Aneh saja rasanya membaca hal seperti itu.
Kurang konflik, menurut saya. Atau mungkin kurangnya penjelasan dan deskripsi-lah yang membuat saya tidak menikmati buku ini. Rita tidak terlalu menjelaskan latar belakang ayah ibunya. Ia juga tidak menjelaskan kedua adiknya itu seperti apa. Seluruh cerita hanya berlangsung di sekitar Rita sendiri. Bahkan Rita tidak menjelaskan banyak soal kematian ibunya. Seakan kematian itu tidak ada artinya. Beneran. Saya merasa ada yang salah dari buku ini. Tidak ada emosinya sama sekali. Padahal sayang. Saya suka sekali tema perang begini.
Catatan akhir : Buku ini dibaca untuk mengikuti post bareng BBI bulan Maret, yaitu dengan tema perempuan. Diterbitkan bersama dengan anggota BBI yang lain pada tanggal 30 Maret 2012.
2/5