Saturday 5 November 2011

Rumah Kaca


Judul : Rumah Kaca (Tetralogi Buru #4)
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Tebal : 646 halaman
Penerbit : Lentera Dipantara
Resensi :
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an.

Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menampilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pascakolonial paling bergengsi.


Buku keempat Tetralogi Buru ini tidak lagi diceritakan dari sudut pandang Minke lagi karena dia sudah dibuang ke Ambon dan dipisahkan dari "anak sulungnya" yang adalah organisasi Syarikat Islam. Sang pencerita adalah Jacques Pangemanann, seorang pribumi yang pernah bersekolah di Perancis. Dia bekerja di pemerintahan dan boleh dibilang sebagai "anjing kolonial" karena ia membuang prinsip hidupnya begitu saja demi sebuah jabatan. Ia mengagumi Minke, sang pelopor nasionalisme di Hindia. Namun ia tak berdaya melawan perintah Gubermen untuk mencari cara mematikan pengaruh Minke.

Menurut saya, Pangemanann ini adalah si munafik yang benar-benar bodoh. Hidup setengah abad namun ia sama sekali tidak bisa memegang prinsip hidupnya sendiri. Setiap saat ia terus mengeluh karena hilangnya kebesarannya bahkan juga keluarganya, tapi ia tidak pernah mau mengubah semuanya. Ia tetaplah musuh bagi bangsanya sendiri, bukan pribumi juga bukan Belanda. Jadi, di akhir hidupnya dia sudah tidak punya jati diri lagi. Sendirian, menyesali seluruh perbuatannya.
 

Buku ini menuturkan perkembangan sejarah organisasi di Indonesia setelah Minke dibuang ke Ambon. Melemahnya kolonial karena Perang Dunia, semakin maraknya pembentukan organisasi. Tapi semua perjuangan itu tidak ada gunanya. Hanya sedikit tawaran kedudukan dalam dewan perwakilan rakyat, semua pemberontakan hilang padam tanpa bekas. Di sini menunjukkan betapa Hindia mudah sekali disetir dan dipengaruhi oleh Nederland.
 

Membaca buku ini membuat saya sedih sendiri. Minke yang susah-susah membuang masa mudanya demi membangun Hindia harus meninggal tanpa dikenang siapapun. Seakan hidupnya sia-sia dan tak berarti. Meninggal berarti dilupakan, bahkan hanya sedikit saja yang datang ke pemakamannya. Sungguh tragis betapa keberadaan sosok hebat ini tidak begitu dikenal banyak orang.
 

Untung saja dia adalah seorang penulis, jurnalis dengan semangat tak pernah padam.
 

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."  

"Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya."

"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia."

"Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut."

"Gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut."

Dan yang terakhir...
 
Deposuit Potentes de Sede et Exalvatat Humiles.
(Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina)
   

Tidak ada kata lain dari saya selain... LIMA BINTANG!!! Tetralogi Buru terlalu bagus sampai saya tidak habis pikir bagaimana mungkin ada pengarang sehebat Pramoedya Ananta Toer. Pengarang yang pernah hidup dan lahir di Indonesia ini. Dia bisa menceritakan semua peristiwa sejarah ini dengan begitu detail dan juga mengharukan. Angkat topi, deh. Sayang sekali hidupnya begitu sulit dengan pembuangan, pembakaran karya-karyanya, dilarang menulis... Namun semangat menulisnya tetap tak pernah padam sama seperti Minke yang bernama asli Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers juga kebangkitan nasional di Indonesia di awal abad ke-20.
  
Dreamer wishes that time will run slower, not ready to go back to Singapore...


:)  

3 comments:

  1. Gyaaahh jadi pengen baca ulang tetralogi buru ini..

    ReplyDelete
  2. Wahhhh ...jadi pengen mencoba membacanya (jujur blm pernah baca)

    ReplyDelete
  3. @annisa : baca lagi :) buat nostalgia hehe...
    @dion : bacaan wajib!! bagus banget lho :D

    ReplyDelete