Wednesday 23 November 2011

Tirai Menurun


Judul : Tirai Menurun
Penulis : Nh. Dini
Tebal : 464 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
My rating : 3/5

Ini karya Nh. Dini pertama yang saya baca. Ternyata isinya sangat sastra sampai kadang-kadang saya masih kesulitan dengan bahasanya. 

Menceritakan empat tokoh utama yang awalnya tak saling mengenal tapi akhirnya bertemu di sebuah panggung pewayangan Kridopangangarso. Empat orang itu adalah Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo.

Kedasih punya sifat ceria, terbuka, dan cerewet. Hidupnya cukup bahagia dengan orang tua yang berkecukupan dan bisa membelikannya barang yang diinginkan. Nantinya ia bakal jadi penari tetap di panggung pewayangan. 

Kintel pemuda sederhana berhati lapang yang giat bekerja. Mungkin dia tidak terlalu berpendidikan tapi kesetiaan tampak jelas dari kelakuannya. Dia berawal dari pekerja kasar dan nantinya jadi pengusaha becak.

Sumirat gadis pendiam yang sangat feminin. Dia penurut dan sangat berbakti pada ibunya. Tapi ia lebih memilih menari daripada sekolah. 

Wardoyo adalah salah satu pemain kawakan di panggung Kridopangarso. Sifatnya penyabar dan tenang. Ia mengabdikan hidupnya untuk seni pewayangan.

Cerita berlatar waktu di waktu Indonesia baru merdeka. Saya sangat suka deskripsi Nh. Dini tentang keadaan kampung zaman itu. Bagaimana interaksi antartetangga dan antarsaudara, betapa sederhananya masalah kehidupan, dan yang paling lengkap adalah penjelasan seni pewayangannya.

Buku ini menunjukkan betapa panggung pewayangan bisa menjadi sebuah pelarian. Hidup boleh susah dan tidak bahagia, tapi saat pentas dimulai para artis panggung itu menjelma menjadi dewa dewi atau pangeran dan putri. Kridopangarso bagai organisasi di mana para pemainnya saling senasib sepenanggungan dan menemukan  keluarga di dalamnya. 

Entah kenapa sewaktu membaca buku ini saya merasa plotnya acak-acakan. Mungkin pembagian babnya kurang pas atau bagaimana. Karena sebentar saya baru selesai satu bagian, di bagian selanjutnya ternyata sudah beberapa tahun kemudian. Kok rasanya ada yang dilewat. Dan itu sering banget. Saya pikir sastra roman seharusnya lebih lambat kecepatan plotnya. Yah, itu pendapat saya sih.

Selain itu tokoh utamanya kan empat orang menurut sinopsis di belakang buku, tapi rasanya kurang pas juga. Ceritanya lebih berpusat di seni pewayangannya yang perlahan hancur dengan berkembangnya dunia teknologi. Siapa sih yang mau nonton wayang wong lagi kalau ada televisi? Dan epilognya bahkan bukan tentang empat orang itu tapi tentang salah satu tetua Kridopangarso. Itulah jebakan sebuah sinopsis belakang buku, menipu hahaha...

Seperti semua roman, akhirnya tragis. Cuma saya kesal sama nasib Kintel, nggak dijelasain gimana, lalu tiba-tiba sudah meninggal. Aneh, ah. Beneran, dasar manusia. Sudah menikah, lupa sama diri sendiri. Judi melulu. 

Tambahan, untuk baca buku ini harus setidaknya mengerti sedikit tokoh-tokoh wayang. Untung saya pernah baca Mahabharata dan Ramayana. Di sekolah juga dulu diajarkan. Karena kalau nggak, saya bisa bingung. Sebentar-bentar nyebut tokoh ini, tokoh itu, Prabu sana, dewa situ. Alamak!

Dreamer only has one more assignment to do, lalala...


:)

2 comments: