Judul : Haunted (The Mediator #5)
Pengarang : Meg Cabot
Tebal : 248 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Suze sudah terbiasa
berurusan dengan masalah, tapi kali ini dia benar-benar dalam masalah
besar: Jesse si hantu tampan sudah merebut hatinya, tapi Paul Slater,
cowok ganteng yang masih hidup dan bernapas, kelihatannya
mengejar-ngejar Suze. Dan Paul adalah seorang mediator, sama seperti
Suze, yang tahu bagaimana caranya mengirim Jesse ke alam lain. Untuk
selamanya.
Paul bilang dia tidak akan melakukan apa pun terhadap Jesse selama
Suze bersedia berkencan dengannya. Karena takut dia akan kehilangan
Jesse selamanya, Suze setuju. Tapi bahkan kalaupun Suze bisa memancing
Jesse mengakui perasaannya pada cewek mediator itu, masa depan seperti
apa yang bisa diharapkan dari berpacaran dengan cowok yang sudah mati?
Kira-kira siapa yang akan jadi pilihan Suze? Paul, si mediator
ganteng yang misterius, atau Jesse, si hantu yang Suze cintai semenjak
pertama kali bertemu?
Hmm... saya punya kebiasaan untuk menunda membaca lanjutan dalam buku berseri supaya bisa diawet-awet. Nggak mau cepat tamat.
Tapi saya nggak tahan. Saya gatal penasaran sama lanjutan seri Mediator ini.
Buku kelima sekarang. Mulai agak aneh sih sebenarnya. Di sini dijelaskan kalau Suze adalah pengelana bukan mediator. Maksudnya, pengelana itu bisa menjelajah dunia roh. Bisa pergi kapan saja ke dunia roh atau eksorsis hanya dengan membayangkannya saja.
Nggak jelas. Apalagi masalah hantu di buku ini benar-benar parah. Nggak penting sampai penyelesaiannya itu terasa sangat asal-asalan.
Tapi romance Jesse dan Suze bagus banget di sini.
Setelah peristiwa dicium di akhir buku keempat, Jesse dan Suze bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi Suze terus kelabakan dalam hati karena Jesse sepertinya tidak peduli sama dia. Malah Jesse itu pindah rumah, nggak mau tinggal sama Suze lagi. Dia pergi tanpa pamit pula. Yah, Suze kecewa dong.
Tapi ternyata Jesse itu cuma nggak sanggup berada di dekat Suze. Dia tahu kalau Suze sayang sama dia dan dia nggak mau itu. Dia mau Suze suka sama orang hidup yang bisa dilihat. Toh, mau dibawa ke mana hubungan dengan hantu?
Hanya saja Suze nggak peduli. Dia akhirnya mengejar Jesse, menyatakan perasaannya. Jadi Jesse nggak sanggup ninggalin Suze lagi karena Suze meminta dia untuk tinggal.
Adegan di akhir buku ini bikin saya nangis. Oke, saya memang cengeng dalam membaca buku karena saya sangat ahli menghanyutkan diri ke dalam cerita. Saya bahkan bisa membayangkan dengan jelas perasaan tokoh dan situasi sekitarnya.
Adegan terakhir bertempat di kuburan baru Jesse yang dibuat oleh Suze dan Pastor Dominic (kepala sekolah Suze yang juga adalah mediator). Sebenarnya si Suze bukan lagi nyari Jesse tapi dia kebetulan nemuin Jesse di sana lagi mandangin kuburannya sendiri. Si Suze ini memang aneh. Dia kalau lagi stres suka cari kuburan. =.=
DI SINI TERBARING HECTOR 'JESSE' DE SILVA, 1830-1850, KAKAK, ANAK, DAN TEMAN YANG TERKASIH.
Jesse mendongak waktu aku datang dan berdiri di sampingnya. Tanpa bersuara, dia mengulurkan tangannya di atas nisan. Aku menyelipkan jari-jariku ke sela jari-jarinya.
"Aku minta maaf," katanya, sorot matanya sehitam biasanya, "untuk segalanya."
Aku mengangkat bahu, mataku tetap tertuju pada tanah yang mengeliling batu nisan itu-segelap matanya. "Aku mengerti, kurasa." Walaupun sebenarnya aku tidak mengerti. "Maksudku, bukan salahmu bila... well, kau tidak merasa seperti yang aku rasakan terhadapmu." (Suze mengira Jesse pergi ninggalin dia karena nggak mau ngomong sendiri kalau dia nggak bisa membalas perasaan Suze. Suze kira Jesse pengecut.)
Entah apa yang membuatku mengatakannya. Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, aku berharap kubur di bawahku terbuka dan menelanku juga.
Jadi bayangkan saja kekagetanku waktu Jesse menyergah, dengan suara yang nyaris tidak kukenali sebagai suaranya, karena sarat oleh emosi terpendam, "Jadi kau mengira begitu? Bahwa aku ingin pergi?"
"Bukankah begitu?" Kupandangi dia, benar-benar terperangah. Aku berusaha keras tetap menjaga jarak dengan persoalan ini, mengingat harga diriku yang sudah terinjak-injak. Meski begitu, jantungku, yang berani sumpah kurasa sudah mengerut dan hancur berantakan satu atau dua hari yang lalu, mendadak kembali berdenyut, walaupun aku sudah secara tegas melarangnya.
"Bagaimana mungkin aku tetap tinggal di sana?" tanya Jesse ingin tahu. "Setelah apa yang terjadi di antara kita, Susannah, bagaimana mungkin aku tetap tinggal?"
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bicarakan. "Apa yang terjadi di antara kita?Apa maksudmu?"
"Ciuman itu." Jesse melepas tanganku, begitu tiba-tiba hingga aku tersandung.
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli karena aku mulai berpikir sesuatu yang indah sedang terjadi. Sesuatu yang agung. Aku semakin yakin akan hal itu waktu kulihat Jesse mengangkat tangandan menyurukkanjari-jarinya ke rambutnya, dan aku melihatnya gemetar. Jari-jarinya, maksudku. Mengapa jari-jarinya gemetar seperti itu? (Saya nangis karena seorang cowok seperti Jesse bisa gemetar sedih hanya karena cintanya sama Suze)
"Bagaimana aku bisa tinggal?" tanya Jesse ingin tahu. "Pastor Dominic benar. Kau harus bersama seseorang yang bisa dilihat oleh keluarga dan teman-temanmu. Kau harus bersama seseorang yang bisa menua bersamamu. Kau harus bersama seseorang yang masih hidup."
Oke, saya mengakui kalau saya ridiculous. Seriusanlah. Nangis cuma karena itu. Tapi beneran, saya bisa merasakan dilema kedua tokoh itu. Saya kan punya kelemahan terhadap cerita-cerita dilema seperti itu.
Empat bintang saja!!!
Dreamer must start doing her assignment,
:)