Monday, 28 November 2011

New Template And Other Stuff

Err... Yah, saya baru ganti template blog. Lebih dark, katanya terpengaruh sama buku bacaan saya yang banyak tentang vampir. Tapi alasannya karena teman saya bikinin saya desain judul blog. Baiknya...

*Nangis terharu dulu...

Nah, karena itulah saya memutuskan mengubah desain blog walau saya tidak punya sense of art sama sekali. Biasanya saya cuma asal ambil blog skin dari website apa gitu. Dan karena desain judul blog teman saya itu sangat cling-cling kayak warna lampu neon, saya jadi pilih tema yang dark. Bukan karena vampir, atau karena baru nonton Breaking Dawn. Yap, film Breaking Dawn yang itu. Astaga, romance excessive banget. Sebentar-sebentar ciuman, sampai saya jadi geli sendiri. Untuk film adaptasi dari buku sih bagus, tapi saya merasa film itu boring. Bukan jenis film yang saya suka. Saya pengen yang banyak tembak-tembakannya biar lebih menegangkan gitu. Tapi saya tetap merekomendasi film itu buat para Twilight fans dan manusia penggemar romantisme berlebihan. Saya harus memuji adegan wedding ceremony dan honey moon-nya yang fantastique.

Oke, nggak penting...

Minggu ini adalah study week. It means next week is the exam week. Saya masih punya final dissertation selain harus belajar ujian. Jadi, sibuk deh. Nggak sempat bikin book review lagi. Hopefully, minggu depan bisa diupdate lagi.

Books to be reviewed next :
  • Your Wicked Ways (Duchess Quartet #4) - Eloisa James
  • Frostbite (Vampire Academy #2) - Richelle Mead
  • Kisah-Kisah Tengah Malam - Edgar Allan Poe
  • Dan Hujan Pun Berhenti - Farida Susanti
Segini saja post tidak penting ini. Just wanna write something in this chaotic time :(

Exam!!! Dreamer is freaking out now, GRAOOO...


:)

Thursday, 24 November 2011

Vampire Academy


Title : Vampire Academy (Vampire Academy #1)
Writer : Richelle Mead
Number of pages : 332
Publisher : Razorbill
My rating : 4/5

I picked this book because my friend kept telling me how good the story is. I'm curious. The first time I saw this book in the bookstore, I was not even interested. The synopsis at the back of the book is ridiculuous some more. But, still I bought it.

Once I started, I could not put it down. The story was interesting and unique. I like the concept of three creatures : Moroi, Dhampir, and Strigoi, how they are related, why the Guardian system are made, and the academy itself. Oh, wow.

Moroi : good mortal vampire, can master one of the elements (water, air, fire, earth --> legend of Ang, lol), can withstand under a little sunlight.

Dhampir : half human, half vampire, faster and stronger than Moroi, the guardian of Moroi.

Strigoi : bad immortal vampire, very strong and very fast, cannot withstand sunlight, predator instinct 

Errr, I don't like the name of Moroi. Seriously. Doesn't it sound like moron? =.=

Continue...

The story was about Rose Hathaway a dhampir who ran away from academy with her Moroi best friend, Lissa. They were caught by the academy staff after two years and brought back. I was very curious at first because I wanted to know the reasons why they had run away.

After that, mostly the book was centered around the teenage life of Rose and Lissa. School, guys, popularity, and stuff. But slowly the secrets were revealed from many flashbacks in Rose's memory.

In the beginning, I like Rose because she was tough and independent. But as the story went, I couldn't find her interesting anymore. She liked to flirt (A LOT), she was reckless and irresponsible, and her confidence with her looks was just annoying. She kept saying how sexy and pretty she was that no Moroi could even compare with her. Okay, I got it. You could not always get likable heroine, even I still read Twilight although I hate Bella. But the problem is the reason Rose falling in love with Dimitri. Rose kept saying about how god-like and handsome he was. And just that. Love based on looks. Seriously, is that supposed to be lust?

In the end, I like Lissa more than Rose. She may be weak, but she was persistent and full of compassion. There was something genuine in her that made me relieved. At least, there was likable character in this book. Furthermore, I like Christian Ozera more than Dimitri. Ozera was sardonic bad boy whereas Dimitri was very bland like Edward Cullen plus pony tail. Iuhhh... I don't like long-haired man.

Anyway, like I said the story was interesting, The suspense was good although I could guess the villain from the beginning. Sigh* I was getting good at guessing, I think. And I hate that since it ruins the surprise. But, I enjoyed the story very much. Nice read.

Dreaming was drowning in the world of skin stem cells...


:)

Wednesday, 23 November 2011

Tirai Menurun


Judul : Tirai Menurun
Penulis : Nh. Dini
Tebal : 464 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
My rating : 3/5

Ini karya Nh. Dini pertama yang saya baca. Ternyata isinya sangat sastra sampai kadang-kadang saya masih kesulitan dengan bahasanya. 

Menceritakan empat tokoh utama yang awalnya tak saling mengenal tapi akhirnya bertemu di sebuah panggung pewayangan Kridopangangarso. Empat orang itu adalah Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo.

Kedasih punya sifat ceria, terbuka, dan cerewet. Hidupnya cukup bahagia dengan orang tua yang berkecukupan dan bisa membelikannya barang yang diinginkan. Nantinya ia bakal jadi penari tetap di panggung pewayangan. 

Kintel pemuda sederhana berhati lapang yang giat bekerja. Mungkin dia tidak terlalu berpendidikan tapi kesetiaan tampak jelas dari kelakuannya. Dia berawal dari pekerja kasar dan nantinya jadi pengusaha becak.

Sumirat gadis pendiam yang sangat feminin. Dia penurut dan sangat berbakti pada ibunya. Tapi ia lebih memilih menari daripada sekolah. 

Wardoyo adalah salah satu pemain kawakan di panggung Kridopangarso. Sifatnya penyabar dan tenang. Ia mengabdikan hidupnya untuk seni pewayangan.

Cerita berlatar waktu di waktu Indonesia baru merdeka. Saya sangat suka deskripsi Nh. Dini tentang keadaan kampung zaman itu. Bagaimana interaksi antartetangga dan antarsaudara, betapa sederhananya masalah kehidupan, dan yang paling lengkap adalah penjelasan seni pewayangannya.

Buku ini menunjukkan betapa panggung pewayangan bisa menjadi sebuah pelarian. Hidup boleh susah dan tidak bahagia, tapi saat pentas dimulai para artis panggung itu menjelma menjadi dewa dewi atau pangeran dan putri. Kridopangarso bagai organisasi di mana para pemainnya saling senasib sepenanggungan dan menemukan  keluarga di dalamnya. 

Entah kenapa sewaktu membaca buku ini saya merasa plotnya acak-acakan. Mungkin pembagian babnya kurang pas atau bagaimana. Karena sebentar saya baru selesai satu bagian, di bagian selanjutnya ternyata sudah beberapa tahun kemudian. Kok rasanya ada yang dilewat. Dan itu sering banget. Saya pikir sastra roman seharusnya lebih lambat kecepatan plotnya. Yah, itu pendapat saya sih.

Selain itu tokoh utamanya kan empat orang menurut sinopsis di belakang buku, tapi rasanya kurang pas juga. Ceritanya lebih berpusat di seni pewayangannya yang perlahan hancur dengan berkembangnya dunia teknologi. Siapa sih yang mau nonton wayang wong lagi kalau ada televisi? Dan epilognya bahkan bukan tentang empat orang itu tapi tentang salah satu tetua Kridopangarso. Itulah jebakan sebuah sinopsis belakang buku, menipu hahaha...

Seperti semua roman, akhirnya tragis. Cuma saya kesal sama nasib Kintel, nggak dijelasain gimana, lalu tiba-tiba sudah meninggal. Aneh, ah. Beneran, dasar manusia. Sudah menikah, lupa sama diri sendiri. Judi melulu. 

Tambahan, untuk baca buku ini harus setidaknya mengerti sedikit tokoh-tokoh wayang. Untung saya pernah baca Mahabharata dan Ramayana. Di sekolah juga dulu diajarkan. Karena kalau nggak, saya bisa bingung. Sebentar-bentar nyebut tokoh ini, tokoh itu, Prabu sana, dewa situ. Alamak!

Dreamer only has one more assignment to do, lalala...


:)

Saturday, 19 November 2011

Rainwater


Judul : Rainwater
Penulis : Sandra Brown
Tebal : 336 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
My rating : 4/5

Saya sudah menjadi penggemar Sandra Brown (SB) sejak SMP sebenarnya. Waktu zaman-zamannya saya seharusnya suka teenlit karena saya remaja, saya malah demen buku-buku Sandra Brown, Sydney Sheldon, dan Marga T. Jangan tanya kenapa selera saya aneh.

Kenapa saya suka SB? Karena dia itu pengarang yang konstan menghasilkan karya yang bagus. Ide-ide ceritanya bervariasi padahal dia sudah mengarang sekitar 70 buku dan saya mungkin sudah baca sekitar 60 karyanya. Sinting? Boleh dibilang begitu. Dulu tiap bulan saya ngumpulin uang jajan buat bisa beli novelnya. Koleksi gitu. 

Sampai tiap kali Mama saya tanya : "Mau kado apa buat ulang tahun?" 
Saya : "Beliin novel Sandra Brown saja yang belum punya." 
Mama : "Beli baju baru saja. Sudah butut yang kemarin. Atau hape saja?"
Saya : "Nggak mau. Mau novel. Tapi kalau hape 9500 communicator boleh juga." (Jiahhhh, madut) 

Oke, ini resensi ya? Kok isinya diari? Zzzz...

Rainwater. Bukan air hujan ya. Ini nama tokoh di buku ini yaitu David Rainwater. Saking hebatnya tokoh ini sampai dijadikan judul buku. Kenapa? Kita lihat.

Seperti yang sudah saya bilang, saya sudah baca hampir semua karya SB dan saya harus bilang yang ini paling paling paling beda. Saya ingatkan dulu kalau saya suka menjadi seorang spoilerer. Pertama, karya SB selalu happy ending. Kedua, karya SB mengambil setting masa sekarang. Tapi kedua unsur itu tidak ada di buku ini.

Cerita dimulai dengan prolog. Sepasang suami istri datang ke sebuah toko antik bernama Solly's. Mereka tertarik membeli jam saku kuno milik si pemilik toko. Tapi sayangnya jam itu tidak dijual dengan harga berapapun. Di jam saku itu terukir tanggal 11 Agustus 1934. Suami istri itu bertanya apa arti tanggal itu?

Dan kita akan diterbangkan ke masa lalu.

Ella Baron adalah  janda beranak satu yang mengelola pondok sewa. Dia punya anak aneh bernama Solly. Zaman dulu anak itu dianggap gila dan berbahaya karena istilah autis belum dikenal sama sekali. Ella berusaha melindungi anak itu mati-matian sekalipun ia juga suka kesal karena anak itu seakan tidak mengenal dirinya. Dan keanehan Solly itulah yang membuat Ella ditinggal suaminya tanpa penjelasan.

Hari itu, Ella kedatangan seorang tamu bernama Dr. Kincaid. Dia membawa saudaranya yang butuh tempat tinggal. Nama saudaranya itu adalah David Rainwater. Ella sih setuju saja karena dia punya kamar kosong. Tapi Dr. Kincaid memperingati Ella bahwa David Rainwater sedang menjemput ajal.

1934, zaman perekonomian susah atau disebut era Great Depression juga saat-saat di mana rasialisme sangat kental di antara orang kulit putih dan hitam. Saat itu ada kebijakan pemerintah yang sangat aneh, menurut saya. Peternak-peternak yang merasa sudah hampir bangkrut boleh menjual ternaknya pada pemerintah dengan harga murah, tapi pemerintah hanya akan mengambil ternak sehat saja. Yang tidak sehat atau kurus akan ditembak sampai mati. Sadis gila. Maksudnya itu kan makhluk hidup. Saya ngerti mungkin maksudnya supaya tidak perlu menambah pengeluaran untuk mengurus sapi sakit-sakitan dan nggak punya banyak daging. Tapi tetap saja. Iuhhhhh...

Banyak orang kelaparan dan mereka berusaha memburu sapi kurus itu agar bisa makan sekalipun sapi itu sudah mati ditembak dan siap dikubur. Mereka nggak peduli. Tapi Conrad Ellis, orang terkaya dan paling suka membuat onar itu nggak suka. Dia bersama antek-anteknya sengaja memukuli orang-orang miskin itu supaya nggak bisa ambil daging bangkai sapi itu. Alasannya karena pemerintah tidak mengizinkan. Padahal itu BS banget.

Kembali ke tokoh utama. Saya suka dengan karakter Ella yang bitter, kaku, dan suka rutinitas. Memang sifatnya nggak gitu bagus. Tapi dia manusia, senyata-nyatanya yang membangun dinding di sekitarnya karena takut tersakiti dan ingin mandiri. Dia membangun dinding itu untuk melindungi anaknya juga. Strong banget deh. Sementara David Rainwater adalah tipikal gentleman baik hati yang tidak peduli apapun karena umurnya sudah tidak panjang lagi. Davidlah yang menemukan kejeniusan Solly dalam memahami angka. Sesuatu yang tidak pernah diketahui Ella sendiri. Dan itu memberi Ella harapan, harapan kalau mungkin saja Solly bisa kembali normal.

Sifat David yang penuh kasih sayang inilah yang mampu meluluhkan hati keras seorang Ella. Mereka jatuh cinta di saat tidak ada waktu lagi. 

"Jangan meminta satu-satunya hal yang tidak bisa kuberikan padamu, Ella. Andai bisa, pasti kuberikan. Tapi satu-satunya yang tidak bisa kuberikan padamu adalah waktu."
 
Kebanyakan bagian menceritakan kejahatan dan juga kekacauan di kotanya akibat Conrad Ellis juga pemberontakan kaum yang tidak mendapat keadilan.

Di saat akhir, Conrad hampir memperkosa Ella karena dendamnya ditolak mentah-mentah waktu Ella muda dulu. David menyelamatkannya dan yang tak terduga adalah Solly yang saat itu juga ada di tempat kejadian membunuh Conrad. Dan tidak ada jalan lain. David mengorbankan diri agar Solly tidak dipenjara. Itulah terakhir kali Ella melihat David Rainwater.

David selalu menolak bertemu Ella di penjara karena ia tidak mau Ella melihatnya dalam keadaan tak berdaya seperti itu. Ia tidak mau Ella punya kenangan buruk. Biar saja.

David meninggal sebelum dieksekusi. Ia mewariskan seluruh kekayaan dan kebun kapasnya pada Ella.

David memberikan buku "A Farewell To Arms" pada Ella. "Itu hadiah untukmu, Ella."

"Apa akhir kisahnya sedih?"

"Sangat," kata David Rainwater. "Walaupun tahu akhir ceritanya sedih, itu tidak akan menghalangi keinginanku untuk menikmati keindahan ceritanya. Kau bagaimana?"

11 Agustus 1934... David meminta Dr. Kincaid mengukir tanggal itu pada jam sakunya, tanggal saat pertama kalinya David menginjakkan kaki di pemondokan Ella, pertama kalinya David bertemu dengan wanita itu.

Di epilog, suami istri di prolog memuji sosok David Rainwater itu. Mereka mengagumi orang masa lalu yang telah berkorban untuk si pemilik toko.

"Dia berkorban untuk Solly."

"Tapi... bukankah Anda...?" 

Lelaki tua pemilik toko itu menggeleng.

Sang istri membaca kartu nama yang tadi diberikannya. "Saya pikir... Nama toko Anda..."

"Itu untuk meenghormati kakak lelaki saya. Nama saya David. David Rainwater Barron."

"...Apakah Mr. Rainwater tahu tentang Anda?"

Laki-laki tua itu tersenyum. "Dr. Kincaid memberitahunya beberapa jam sebelum dia meninggal. Meski kondisinya sangat lemah, dia menulis sepucuk surat untuk ibu saya. Ibu selalu membawa-bawa surat itu. Dia tak pernah mau berpisah dari surat itu. Tak mau berpisah dari Mr. Rainwater."

Bittersweet and heartwrenching. Sandra Brown never failed me. Kekurangannya cuma di bagian tidak dikasih tahu penyakit David itu apa dan surat David untuk Ella itu isinya apa. Kan penasaran saya.

Dreamer just ate Cadburry Dairy Milk Chocolate, heaven in a little box...


:)

Thursday, 17 November 2011

Life of Pi


Judul : Life of Pi
Penulis : Yann Martel
Tebal : 446 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
My rating : 5/5

Resensi :
Pada tanggal 21 Juni 1977, kapal barang Tsimtsum berlayar dari Madras menuju Canada. Pada tanggal 2 Juli, kapal itu tenggelam di Samudra Pasifik. Hanya satu sekoci berhasil diturunkan, membawa penumpang seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang-utan betina, seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg, dan Pi--anak lelaki India berusia 16 tahun.

Selama lebih dari tujuh bulan sekoci itu terombang-ambing di Samudra Pasifik yang biru dan ganas. Di Samudra inilah sebagian Kisah Pi berlangsung. Kisah yang luar biasa, penuh keajaiban, dan seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan.
 

Saya mau komentar gaya tulisan Yann Martel dulu. Lucu banget. Saya suka dengan deskripsi-deskripsinya yang lebay. Ditambah analogi-analoginya yang asyik. Saya ketawa terus tanpa sadar apa yang lucu. Pokoknya itu pasti karena keajaiban tulisan penulis yang menyembunyikan anekdotnya.

Ceritanya sendiri tidak bisa ditebak. Saya pikir kisah seseorang terdampar berhari-hari itu pasti biasa saja. Paling-paling juga membahas bagaimana Pi berjuang bertahan hidup.

Eh, tapi nanti dulu. Bagaimana caranya bertahan hidup bersama empat binatang random yang tidak ada hubungannya satu sama lain? Pi terdampar di laut bersama orang utan betina, hyena, zebra yang kakinya patah, dan harimau Royal Bengal dengan berat 225 kg. Wih, seru amat.

Buku ini dibagi tiga bagian. Bagian pertama menceritakan masa kecil Pi yang konyol, kegemarannya bermain di kebun binatang ayahnya, keisengannya menjadi pemeluk tiga agama sekaligus (Islam, Kristen, dan Hindu) karena alasan suka sama Tuhan-nya. Bagian kedua bertempat di Samudra Pasifik di mana Pi terdampar setelah kapal yang mengangkut seluruh keluarganya tenggelam. Bagian ketiga saat Pi selamat sampai ke tujuan.

Menarik sekali membaca bagaimana Pi berteman dengan si Richard Parker, harimau di sekocinya itu. Dia menggunakan cara-cara pelatih singa di sirkus untuk menjinakkan harimaunya itu. Mereka bukan teman tapi saling bersimbiosis. Selama ratusan hari di tengah laut itulah, Pi berubah menjadi pemburu yang hebat karena didesak dengan keadaan. Saya suka melihat semangatnya untuk tetap hidup hanya supaya bisa terus mencari makan buat si Richard Parker. Cuma sayang si harimau kabur di akhir. Dasar nggak tahu terima kasih!

Pengalaman yang dialami Pi sangat menakjubkan sampai-sampai nggak ada yang mau percaya. Kita mungkin juga nggak bakal percaya karena tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Dan itulah kenapa konsep Tuhan susah dipercayai. Toh Tuhan nggak bisa dilihat, cerita tentang Tuhan juga punya banyak versi. Kita mau percaya yang mana juga bingung.

Tapi di situlah kita mengenal kata iman. Seperti yang diceritakan dalam kisah Pi ini.


Dreamer hates breast cancer now because she was bored researching about that the whole term...


:) 

Again The Magic


 Title : Again The Magic (Wallflowers #0.5)
Writer : Lisa Kleypas
Number of pages : 391
Publisher : Avon
My rating : 4/5

Synopsis :
She gave him her innocence . . .Lady Aline Marsden was brought up for one reason: to make an advantageous marriage to a member of her own class. Instead, she willingly gave her innocence to John McKenna, a servant on her father's estate. Their passionate transgression was unforgivable -- John was sent away, and Aline was left to live in the countryside . . . an exile from London society . . .and he took her love.
Now McKenna has made his fortune, and he has returned -- more boldly handsome and more mesmerizing than before. His ruthless plan is to take revenge on the woman who shattered his dreams of love. But the magic between them burns as bright as ever. And now he must decide whether to let vengeance take its toll . . . or risk everything for his first, and only, love.

Wow, I met Marcus Westcliff again from It Happened One Autumn. When I bought this book, I did'nt know that it was the prequel of Wallflowers series.

Anyway, this book is amazing. As always I was spell-bounded with Lisa Kleypas' writing. She has the most perfect style of describing emotions, expressions, and subjects that suits me well. I don't know, I just love the way she tells stories.

The story was quite common, about childhood friends who then became lovers and separated because of social status differences. Lady Aline Marsden had to protect John McKenna from her cold-hearted father. She sent him away by telling him that she had never even once loved him and she just considered him as a toy, an experience before she married gentleman from the same class with her. McKenna was hurt badly and her betray changed him into a man full of hatred.

Twelve years later, they met again. McKenna had been living in America and he came back, rich and more striking than before. He had sworn to himself that he would take revenge to Aline. He wanted her to feel the hardships and the destructions she had caused him. Aline knew that, but stil she could not refuse McKenna because she still loved him.

The story was nice although somehow I found the plots were quite boring. And there were too much love scenes, not only from Aline and McKenna but also the secondary characters which were Aline's sister, Livia and Gideon Shaw, McKenna's American partner. Well, I didn't mind with the side characters since I really liked Shaw. He was cynical, sweet, full of flaws, and gentleman from head to toe despite of his reputation. But still too much love scenes really bored me to tears although they were hot and full of tension whatsoever.

But the ending was perfect for both couples. I really like it.

"...I didn't want to get better. I wanted to die. Then Mrs. Faircloth showed me the letter... Mrs. Faircloth read the letter to me... and hearing the words you had written made me realize... that as long as there was a chance that you were in this world, I wanted to go on living in it."

I like Marcus although I never gave a damn about him when I read It Happened One Autumn a long time ago. The way he protected his sisters, Aline and Livia was just so cute. Especially when he growled in frustration because he couldn't do anything to prevent his sisters from loving the two notorious Americans.


Book rating rules
one star : It's just garbage. Why in the world could it be published?
two star : I don't like it. There's something wrong in this book. But, it's just my opinion.
three star : It was okay. Nothing special but it can refresh your day.
four star : It was good and entertaining. 
five star : Fantastic! Amazing! Satisfying! Genious! Should I say more?

Tuesday, 15 November 2011

Book Review?

Jadi, begini. Saya itu keranjingan nulis review buku yang saya baca. Kenapa? Karena kadang-kadang saya pengen mengumbar emosi apapun setelah saya baca buku. Entah itu marah, kesal, sedih, senang, dsb.

Nah, masalahnya saya kan tinggal di dalam ruangan 3x4 sendirian. Memang ada landlady di luar kamar sewa saya. Tapi kan nggak lucu dong kalau saya cerita ke dia. Dia mana ngerti. Saya juga nggak mungkin kan ngomong ke tembok kamar saya. Jadinya saya bikin review.

Eits, tunggu dulu. Bukan review lho yang saya tulis. Lebih tepatnya spoiler. Hahaha...

Review buku saya itu bukan review buku yang seharusnya. Sebenarnya saya tidak bermaksud nulis review. Saya cuma mau membahas isi buku yang sudah saya baca, beserta embel-embel pujian dan emosinya. Jadi, kalau ditanya blog saya berisi book review atau nggak. Saya mungkin jawab nggak. Lebih tepat jika dikatakan kalau blog saya itu berisi curhat buku yang saya baca. Jujur, apa adanya. Kalau sedikit jahat, ya terima saja. Kalau sedikit cheesy, ya sudahlah. Kalau sedikit lebay, memang saya dasarnya begitu. Kalau sedikit nggak masuk akal, itu berarti saya nggak nangkap maksud bukunya.

Balik ke awal. Kenapa saya nulis blog? Mau nulis apa saja. Uneg-uneg, pamer-pamer, gado-gado, tahu gejrot (lho?).

Pokoknya begitulah. Nggak jelas kan isi blognya seperti post saya yang satu ini. =.=

Eh, saya lupa kalau saya punya berita yang sangat mengejutkan. Ternyata ya... saya itu masuk daftar blog buku Indonesia di goodreads. *Plok, plok, plok...

Huhuhu... Nangis terharu...

Apaan sih? Nggak penting. Gitu aja nangis.


Lucu ya logonya? Cute-cute gimana gitu. Rambutnya kayak cacing cacat (kayak saya >.>). Hahaha... Makanya langsung saya pasang di blog.

Dreamer is probably going crazy...


:)

Monday, 14 November 2011

A Thousand Tomorrows


Judul : A Thousand Tomorrows (Cody Gunner #1)
Pengarang : Karen Kingsburry
Tebal : 384 halaman
Penerbit : Ufuk Heart
Resensi :
Cody Gunner tidak mengenal cinta sejati. Saat masih kecil, dia diabaikan oleh seseorang yang sangat dibutuhkannya. Dia berjanji tidak akan mengizinkan dirinya untuk merasa kehi­langan lagi. Ali Daniels juga menolak cinta. Dia menyim­­pan rahasia, menjalani hidup dengan susah payah, mengambil risiko, dan menolak pertemanan.

Ketika Cody dan Ali bertemu, mereka menyembunyikan perasaan yang muncul di dalam hati mereka. Tapi tampaknya mereka ditakdirkan untuk menjalani hidup yang sebenarnya mereka hindari karena ketertarikan di antara mereka sangat kuat. Dan dengan segera mereka tidak dapat menghindari rasa cinta itu apa pun akibatnya.
Setelah tiga tahun bersama—ribuan hari esok kemudian —mereka menya­dari bahwa ada harga yang harus mereka bayar untuk perasaan mereka itu. Pada akhirnya, mereka harus memutuskan apakah cinta sepadan dengan keadaan yang harus mereka jalani. 


Dibeliin Mama, hehe... Senangnya.

Buku ini memiliki banyak kesamaan dengan A Walk To Remember karya Nicholas Sparks. Cody Gunner merasa dikhianati ayahnya karena meninggalkan keluarga mereka saat dia masih kecil. Ia berubah menjadi seseorang yang lebih suka membenci. Yah, Landon Carter dalam AWTR juga membenci ayahnya sehingga memberontak. Tapi bedanya Cody menyalurkan kemarahannya dalam pertandingan rodeo. Menurutnya, delapan detik di atas punggung banteng bisa membuatnya melupakan kebenciannya.

Ali Daniels sangat suka berkuda sejak kecil. Ia berkuda demi adiknya, Anna yang tidak punya kesempatan itu. Anna meninggal karena pneumonia sewaktu muda. Hanya saja Ali punya keterbatasan. Ia menderita cystic fibrosis. CF ini penyakit genetik yang menyebabkan paru-paru memproduksi terlalu banyak mucus. Kelainan ion channel di paru-paru itu membuat Ali tidak bisa menghirup debu terlalu banyak. Paru-parunya lemah dan ia selalu terbatuk-batuk setelah bertanding. Ia harus menahan napas sepanjang berkuda supaya tidak menghirup debu.

Ali Daniels terdengar seperti Jamie Sullivan di AWTR. Kalau Jamie punya leukeumia, Ali punya CF.

Cody dan Ali bertemu di gelanggang pertandingan rodeo. Mereka sama-sama penyendiri dan hanya memusatkan diri menjadi yang terbaik dalam bidangnya. Tapi sejak awal mereka sudah saling memperhatikan satu sama lain.

Karen Kingsbury menulis buku ini karena terinspirasi oleh para penderita CF juga oleh para pendonor paru-paru bagi penderita CF. Paru-paru yang terasa biasa saja bagi orang normal itu sangat penting bagi penderita CF walau hanya secuping/selobus saja. Bagaikan janji untuk hidup selama ribuan hari esok (a thousand tomorrows).

Ceritanya mengharukan sekali karena gaya bercerita penulis sangat mudah dimengerti. Belum lagi kalimat-kalimat inspirasionalnya. Cody mau memaafkan ayahnya karena belajar dari Ali. Bahwa hidup terlalu singkat untuk dihabiskan untuk membenci.

Yah, menurut saya ini jauh lebih bagus dari AWTR. Lebih mendalam dan lebih banyak dialog membangunnya. Kedua tokoh yang punya rahasia, pelajaran untuk memaafkan, dukungan penuh sebuah keluarga, cinta tulus dan sebuah pengertian yang tidak perlu dipertanyakan... Pokoknya saya suka banget.

"Cody, apa kau sedang mengejarku?"

"Tidak."

"Bagus. Karena aku tidak mau tertangkap."


Tapi akhirnya Ali juga yang menahan Cody supaya tidak pergi. Gilaaa, si Cody parah... sayang banget sama si Ali.
 

Empat bintang.

Dreamer is crazy. How could she read so many books in the busy time like this?!


:)  

Sunday, 13 November 2011

Twilight


Judul : Twilight (The Mediator #6)
Pengarang : Meg Cabot
Tebal : 288 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Suze sudah terbiasa menghadapi para hantu. Suze kan memang seorang mediator, dan berkomunikasi dengan para orang mati sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Jadi jelas dia tidak pernah menyangka akan jatuh cinta pada hantu: Jesse, hantu abad kesembilan belas yang tampan.

Saat Suze menyadari dia memiliki kekuatan untuk menentukan siapa yang akan menjadi hantu duluan, Suze mulai panik. Karena itu berarti dia bisa mengubah jalannya sejarah… dan mencegah pembunuhan atas diri Jesse, mencegahnya menjadi hantu gentayangan—dan mencegahnya bertemu Suze 150 tahun kemudian.

Jalan manakah yang akan dipilih Jesse: hidup tanpa Suze atau mati demi cintanya pada Suze?


SATISFYING ENDING!!! FIVE STARS TO THE MAX!!!

Oke, itu berlebihan. Tapi kalau melihat posisi buku ini yang langsung masuk favorite shelf saya peringkat ke-6, itu jelas sekali menunjukkan betapa bagusnya buku ini buat saya.

Satisfying, bukan perfect. Karena menurut saya tidak ada buku yang sempurna. Bahkan buku keenam atau seri terakhir mediator ini banyak keanehannya. Bahkan boleh dibilang poorly wrapped-up hanya supaya bisa happy ending. Tapi Meg Cabot tahu selera pembacanya. Dia menciptakan ending yang sangat, sangat, sangat memuaskan.

Nah, keanehan buku ini terletak pada status Suze sebagai pengelana. Ternyata dia bisa berkelana ke dimensi keempat alias dimensi waktu. Ya, ampun. Dia bisa balik ke masa lalu, bo!!

Jadi, Jesse dan Suze pacaran di buku ini. Saya suka sekali melihat betapa gentleman si Jesse ini. Dia kan kolot, berasal dari dunia kuno. Aduh, sweet banget deh. Si Jesse nggak mau tinggal sekamar sama Suze lagi karena mereka belum menikah. Dia bahkan nggak berani "gerepe-gerepe" Suze sembarangan sampai Suze kesal sendiri soalnya dia kepingin. LOL

Ceritanya ada Paul yang juga pengelana seperti Suze. Dia suka Suze dan nggak suka kalau Suze jadian sama Jesse. Si Paul ini mau kembali ke masa lalu buat menyelamatkan nyawa Jesse. Dan itu berarti Suze dan Jesse bakal nggak pernah saling mengenal. Bahkan mungkin Suze nggak bakal ingat pernah kenal pada seorang Jesse kalau sejarah diubah.

Suze ketakutan. Dia nggak sanggup kehilangan Jesse. Kan dia pernah diramal kalau dia hanya bakal jatuh cinta sekali dan cinta itu akan berlangsung sampai akhir zaman. Dia terlalu sayang sama Jesse. Padahal kalau dipikir-pikir Suze egois karena melarang Jesse untuk hidup, menikmati masa mudanya. 

Yah, tapi Jesse juga nggak mau itu terjadi. Dia memilih untuk mati demi mengenal Suze.

Saya jujur saja walau memalukan. Saya banjir air mata baca buku ini. Dilemanya banyak amat. 

Nah, si Suze balik ke masa lalu buat mencegah Paul menyelamatkan Jesse. Tapi begitu dia ketemu sama sosok Jesse yang hidup, dia nggak sanggup lagi. Dia nggak bisa membiarkan Jesse terbunuh karena itu tidak benar. Jadi, dia rela melepaskan Jesse. Dia rela melupakan Jesse.

Saya menyesal pernah baca spoiler buku ini karena waktu itu saya sedang mempertimbangkan mau beli buku ini atau nggak. Saya sempat tahu kalau Suze bakal jadian sama Jesse karena ada kesalahan waktu Suze mau balik ke masa depannya. Jadi, saya nggak kaget sih waktu baca endingnya. Tapi terus-terang endingnya cukup mengejutkan kok.

Kembali ke cerita. Paul yang egois ingin memiliki Suze langsung mengalah begitu melihat Jesse menyelamatkan Suze dari kebakaran yang terjadi di lumbung. Jadi, ceritanya si Jesse diperingatkan Suze kalau dia bakal dibunuh. Jadi si Jesse bersiap-siap membunuh Diego, calon pembunuhnya itu. Tapi dalam prosesnya terjadi kebakaran. Si Suze terperangkap dan Jesse rela menyelamatkannya sekalipun sebenarnya Jesse kan baru kenal Suze di situ. Paul sampai terpana sendiri. Dia nggak nyangka Jesse sebaik itu. Bahkan dia juga nggak nyangka kalau Suze merelakan Jesse tetap hidup dan rela Jesse tidak mengenalnya hanya supaya Jesse bisa menikmati kehidupannya. Dia baru tahu kalau ada orang yang bisa mencintai secara tidak egois.

Pokoknya kasihan banget deh. 

Ini spoiler ya. Jangan baca kalau nggak mau dapat spoiler. Jadi waktu si Jesse menyelamatkan Suze dari kebakaran itu, si Suze langsung membayangkan masa depan dan kembalilah dia. Dia sudah dinasehati kalau nggak boleh menyentuh apapun yang tidak mau dibawanya ke masa depan. Tapi kan dia lagi nyentuh si Jesse. Yah, Jesse kebawa ke masa depan deh. Tapi karena Jesse bukan pengelana, tubuhnya tidak cocok untuk perjalanan seperti itu sehingga dia koma. Suze terus menangis karena dia gagal. Dia gagal bikin Jesse tetap hidup. 

Tapi hantu Jesse datang. Dia kaget lihat badannya yang asli ada di depannya. Hantu Jesse nyentuh badannya sendiri dan menghilang karena dua roh dalam satu dimensi waktu itu tidak mungkin ada. Tapi itu berarti kedua roh sedang bersatu, memutuskan apakah harus hidup atau meninggal.

Dan, sementara aku berdiri di sana, menunduk memandanginya, kelopak matanya terbuka...

... dan aku terjatuh, seperti yang selalu terjadi setiap kali dia menatapku, ke dalam kolam gelap yang adalah mata Jesse... mata yang bukan hanya menatapku, tapi juga mengenaliku. Mengenali jiwaku. (DAMN, I cried again. Si Suze sudah putus asa dan bahkan dia pikir Jesse bakal lupa sama dia. Bahkan dia kira si Jesse meninggal dan ternyata... Jesse mengenali jiwanya. OMG!!)

Dia mengangkat tangannya yang tidak kupegang, menyingkirkan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya, dan mengucapkan satu kata saja.

Tapi kata itu membuat hatiku bernyanyi-nyanyi riang.

"Querida." (panggilan sayang Jesse buat Suze selain Susannah. Jesse nggak mau manggil Suze dengan "Suze" doang karena menurutnya "Suze" itu terdengar mesum, hahaha...) 

Mantap lah. 

Yang pasti buku ini memenuhi selera saya dalam hal tokoh terutama. Susanna Simon nggak cengeng dan dia berani berjuang buat keyakinannya. Dia bahkan rela susah-susah menyelamatkan Jesse. Jadi kalau memang seandainya sifatnya jelek dan annoying, semuanya sudah terbayar dengan tindakannya demi Jesse. Redemption. Jesse kan keren banget ceritanya. Dia itu tipe gentleman abad 19. Ditambah lagi cowok zaman dulu lebih 'cowok" dengan kemampuan berkuda, menembak, berperang, dan sebagainya. Kan kalau Suze biasa saja, nggak pantas dong dapetin Jesse. Saya kan suka kalau kedua tokoh utama seimbang, meant to be with each other. Bahwa tidak ada yang pantas buat Jesse selain Suze dan sebaliknya.

Yang bikin nangis lagi adalah bagian hantu ayah Suze yang mengucapkan selamat tinggal. Hantu ayah Suze gentayangan karena dia masih punya urusan yang belum selesai, yaitu bikin Suze bahagia. Nggak dikasih tahu sih sebenarnya, cuma saya bisa menebak itulah alasan ayah Suze masih gentayangan. Perpisahan yang sangat bittersweet.

Sudah cukup deh. Sekarang saja saya sudah berkaca-kaca lagi. Ada apa sih dengan masalah dilema dan happy ending ini? Kenapa saya selalu nangis kalau baca soal itu?

Review lengkap seri Mediator Meg Cabot yang sebelumnya :
1 & 2 :  Shadowland & Ninth Key
3 : Reunion
4 : Darkest Hour
5 : Haunted 

Dreamer is sad because the Mediator series was already over...


:)

Saturday, 12 November 2011

Haunted


Judul : Haunted (The Mediator #5)
Pengarang : Meg Cabot
Tebal : 248 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Suze sudah terbiasa berurusan dengan masalah, tapi kali ini dia benar-benar dalam masalah besar: Jesse si hantu tampan sudah merebut hatinya, tapi Paul Slater, cowok ganteng yang masih hidup dan bernapas, kelihatannya mengejar-ngejar Suze. Dan Paul adalah seorang mediator, sama seperti Suze, yang tahu bagaimana caranya mengirim Jesse ke alam lain. Untuk selamanya.

Paul bilang dia tidak akan melakukan apa pun terhadap Jesse selama Suze bersedia berkencan dengannya. Karena takut dia akan kehilangan Jesse selamanya, Suze setuju. Tapi bahkan kalaupun Suze bisa memancing Jesse mengakui perasaannya pada cewek mediator itu, masa depan seperti apa yang bisa diharapkan dari berpacaran dengan cowok yang sudah mati?

Kira-kira siapa yang akan jadi pilihan Suze? Paul, si mediator ganteng yang misterius, atau Jesse, si hantu yang Suze cintai semenjak pertama kali bertemu?

Hmm... saya punya kebiasaan untuk menunda membaca lanjutan dalam buku berseri supaya bisa diawet-awet. Nggak mau cepat tamat. 

Tapi saya nggak tahan. Saya gatal penasaran sama lanjutan seri Mediator ini.

Buku kelima sekarang. Mulai agak aneh sih sebenarnya. Di sini dijelaskan kalau Suze adalah pengelana bukan mediator. Maksudnya, pengelana itu bisa menjelajah dunia roh. Bisa pergi kapan saja ke dunia roh atau eksorsis hanya dengan membayangkannya saja. 

Nggak jelas. Apalagi masalah hantu di buku ini benar-benar parah. Nggak penting sampai penyelesaiannya itu terasa sangat asal-asalan.

Tapi romance Jesse dan Suze bagus banget di sini. 

Setelah peristiwa dicium di akhir buku keempat, Jesse dan Suze bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi Suze terus kelabakan dalam hati karena Jesse sepertinya tidak peduli sama dia. Malah Jesse itu pindah rumah, nggak mau tinggal sama Suze lagi. Dia pergi tanpa pamit pula. Yah, Suze kecewa dong.

Tapi ternyata Jesse itu cuma nggak sanggup berada di dekat Suze. Dia tahu kalau Suze sayang sama dia dan dia nggak mau itu. Dia mau Suze suka sama orang hidup yang bisa dilihat. Toh, mau dibawa ke mana hubungan dengan hantu?

Hanya saja Suze nggak peduli. Dia akhirnya mengejar Jesse, menyatakan perasaannya. Jadi Jesse nggak sanggup ninggalin Suze lagi karena Suze meminta dia untuk tinggal.

Adegan di akhir buku ini bikin saya nangis. Oke, saya memang cengeng dalam membaca buku karena saya sangat ahli menghanyutkan diri ke dalam cerita. Saya bahkan bisa membayangkan dengan jelas perasaan tokoh dan situasi sekitarnya. 

Adegan terakhir bertempat di kuburan baru Jesse yang dibuat oleh Suze dan Pastor Dominic (kepala sekolah Suze yang juga adalah mediator). Sebenarnya si Suze bukan lagi nyari Jesse tapi dia kebetulan nemuin Jesse di sana lagi mandangin kuburannya sendiri. Si Suze ini memang aneh. Dia kalau lagi stres suka cari kuburan. =.=

DI SINI TERBARING HECTOR 'JESSE' DE SILVA, 1830-1850, KAKAK, ANAK, DAN TEMAN YANG TERKASIH.

Jesse mendongak waktu aku datang dan berdiri di sampingnya. Tanpa bersuara, dia mengulurkan tangannya di atas nisan. Aku menyelipkan jari-jariku ke sela jari-jarinya.
"Aku minta maaf," katanya, sorot matanya sehitam biasanya, "untuk segalanya."

Aku mengangkat bahu, mataku tetap tertuju pada tanah yang mengeliling batu nisan itu-segelap matanya. "Aku mengerti, kurasa." Walaupun sebenarnya aku tidak mengerti. "Maksudku, bukan salahmu bila... well, kau tidak merasa seperti yang aku rasakan terhadapmu." (Suze mengira Jesse pergi ninggalin dia karena nggak mau ngomong sendiri kalau dia nggak bisa membalas perasaan Suze. Suze kira Jesse pengecut.)

Entah apa yang membuatku mengatakannya. Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, aku berharap kubur di bawahku terbuka dan menelanku juga.

Jadi bayangkan saja kekagetanku waktu Jesse menyergah, dengan suara yang nyaris tidak kukenali sebagai suaranya, karena sarat oleh emosi terpendam, "Jadi kau mengira begitu? Bahwa aku ingin pergi?"

"Bukankah begitu?" Kupandangi dia, benar-benar terperangah. Aku berusaha keras tetap menjaga jarak dengan persoalan ini, mengingat harga diriku yang sudah terinjak-injak. Meski begitu, jantungku, yang berani sumpah kurasa sudah mengerut dan hancur berantakan satu atau dua hari yang lalu, mendadak kembali berdenyut, walaupun aku sudah secara tegas melarangnya.

"Bagaimana mungkin aku tetap tinggal di sana?" tanya Jesse ingin tahu. "Setelah apa yang terjadi di antara kita, Susannah, bagaimana mungkin aku tetap tinggal?"

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bicarakan. "Apa yang terjadi di antara kita?Apa maksudmu?"

"Ciuman itu." Jesse melepas tanganku, begitu tiba-tiba hingga aku tersandung.

Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli karena aku mulai berpikir sesuatu yang indah sedang terjadi. Sesuatu yang agung. Aku semakin yakin akan hal itu waktu kulihat Jesse mengangkat tangandan menyurukkanjari-jarinya ke rambutnya, dan aku melihatnya gemetar. Jari-jarinya, maksudku. Mengapa jari-jarinya gemetar seperti itu? (Saya nangis karena seorang cowok seperti Jesse bisa gemetar sedih hanya karena cintanya sama Suze)

"Bagaimana aku bisa tinggal?" tanya Jesse ingin tahu. "Pastor Dominic benar. Kau harus bersama seseorang yang bisa dilihat oleh keluarga dan teman-temanmu. Kau harus bersama seseorang yang bisa menua bersamamu. Kau harus bersama seseorang yang masih hidup."

Oke, saya mengakui kalau saya ridiculous. Seriusanlah. Nangis cuma karena itu. Tapi beneran, saya bisa merasakan dilema kedua tokoh itu. Saya kan punya kelemahan terhadap cerita-cerita dilema seperti itu.

Empat bintang saja!!!

Dreamer must start doing her assignment,


:)

Friday, 11 November 2011

Darkest Hour


Judul : Darkest Hour (The Mediator #4)
Pengarang : Meg Cabot
Tebal : 288 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Resensi :
Ketika dibangunkan di tengah malam buta oleh hantu Maria de Silva dari abad ke-sembilan belas, Suze tahu itu bukan kunjungan biasa---apalagi karena ada pisau ditempelkan ke lehernya. Semasa hidupnya dulu, Maria adalah tunangan Jesse---yang tewas dibunuh 150 tahun silam. Jesse yang dicintai Suze. Jesse si hantu tampan.

Maria mengancam Suze: pembangunan dek di halaman belakang rumah keluarga Suze harus dihentikan. Suze tahu benar apa---atau lebih tepatnya siapa---yang tidak ingin ditemukan oleh Maria. Tapi apakah bila ia memecahkan misteri pembunuhan Jesse, Suze akan kehilangan lelaki itu selamanya? Apakah Suze sudah siap menerima risiko kehilangan hantu cowok yang telah merebut hatinya?


Saya baca ini di pesawat waktu balik ke Singapur. Seri keempat dari Mediator karya Meg Cabot ini benar-benar mulai menarik. Kenapa? Karena Suze sudah mulai mengakui kalau dia jatuh cinta sama Jesse. Apalagi di buku ketiga kemarin dia diselamatkan Jesse terus si Jesse menyentuh pipinya sebentar. Dan dia langsung meleleh.

Di buku ini terbuka semua masa lalu Jesse. Memang si Suze sudah tahu dari awal soal pembunuhan Jesse di masa lalu. Dia tahu dari buku sejarah dan dia sudah sempat memancing-mancing Jesse untuk cerita sama dia soal kejadian itu. Tapi dasar Jesse. Dia nggak mau cerita, selalu saja mengalihkan pembicaraan kalau Suze mulai nanya.

Jadi, begini. Ternyata si Jesse itu dibunuh sama calon istrinya yang bernama Maria de Silva, sepupunya. Biasalah, zaman dulu kan sesama sepupu boleh nikah. Nah, Maria itu ternyata suka sama cowok lain bernama Diego. Karena itulah, Diego membunuh Jesse demi mendapatkan Maria. Memang ada-ada saja.

Di buku ini, ayah tiri Suze mau bikin hot tube di kebun belakang rumah yang adalah bekas losmen tempat tinggal Jesse 150 tahun lalu. Tiba-tiba Suze didatangi si Maria. Maria minta Suze mencegah penggalian di kebun belakang itu karena ada mayat Jesse di situ.

Rumit deh ceritanya. Yang jelas di sini dijelaskan lebih lanjut soal eksorsisme yang adalah pengantaran paksa hantu ke dunia lain. Si Jesse sempat dieksorsis sama mediator lain. Dan karena Suze nggak mau kehilangan Jesse, dia rela pergi ke dunia eksorsis demi menyelamatkan Jesse.

Sedih banget. Si Jesse mengira Suze yang eksorsis dia.

Akhirnya...

"Terutama," sambungku tegas, tanpa mendongak memandangnya, "dari bicara. Itulah yang paling kubutuhkan saat ini. Libur bicara."
 

"Baiklah," ucap Jesse. Dia mengangkat tangan dan merengkuh wajahku dengan kedua tangannya. "Kita tidak perlu bicara."
 

Dan saat itulah dia menciumku.
 

Di bibir.

Awww!!! Oke, saya suka bagian itu. To the point banget soalnya. Hahahaha... Suze dicium juga sama si Jesse, lama amat nunggunya.

Empat bintang.

Dreamer got stomachache, zzzz...



:)

Thursday, 10 November 2011

Nasional.is.me


Judul : Nasional.is.me
Pengarang : Pandji Pragiwaksono
Tebal : 330 halaman
Penerbit : Bentang Pustaka
Resensi :
Di tengah carut marutnya kehidupan di negara ini, di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin negara, dan di tengah ketidakpedean masyarakat Indonesia akan nasib negaranya,
buku ini hadir dengan optimisme kuat.

Pandji melalui Nasional.is.Me ingin mengembalikan kecintaan kita terhadap Indonesia, melahirkan optimisme untuk Indonesia, dan kelak memicu perubahan baik untuk Tanah Air kita.

Salah seorang pemuda Indonesia ini menceritakan situasi bangsanya dengan nada dinamis. Rasa bangga, bahagia, kecewa, sampai kekesalan tertumpah di dalamnya.


Saya baru saja menonton stand-up comedy di youtube oleh Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono. Lalu tiba-tiba saya ingat kalau saya baru beli buku baru yang pengarangnya bernama Pandji. Eh, nggak tahunya si pengarang sama dengan orang yang sedang saya tonton. Alamak!!

Saya harus akui ini buku bagus banget. Memang isinya sih nggak penting. Hanya ungkapan hati seorang nasionalis yang ingin mengajak sesamanya untuk mencintai Indonesia. Tapi dia jujur.

Buku ini menularkan optimisme dan juga alasan-alasan mengapa kita harus mencintai negeri kita sendiri. Suatu buku yang sangat subjektif dalam menilai Indonesia namun konsep nasionalismenya bagus kok. 

Kenali Indonesia-mu (maksudnya budaya dan sejarahnya)
Temukan passion-mu (maksudnya bakat dan minatmu)
Berkaryalah untuk masa depan bangsamu (maksudnya gunakan bakatmu untuk membangun bangsa)

Lima bintang.

Nasionalisme ya? Terus-terang masyarakat Indonesia itu punya rasa nasionalis yang rendah. Bukan apa-apa. Itu memang sudah terbentuk dari dulu. Pejabat korupsi, keamanan yang kurang, manusia-manusia yang mudah disuap... Karena makhluk-makhluk jahat itulah, orang-orang jadi berpendapat negatif tentang Indonesia. Memang harus diakui bangsa kita itu masih di bawah negara-negara lain. Tapi kalau saja masyarakatnya tidak malas dan punya rasa nasionalis yang tinggi, mereka pasti bakal mau berjuang memajukan negara ini. Jangan cuma bisa ngomel dan tidak berbuat sesuatu. Berusaha untuk mengubah, jangan apatis. Tapi susah juga lah. Begitu terjun ke politik, idealisme pasti hancur. Lalu jadilah pejabat yang korupsi. Apalagi dengan nasionalisme yang rendah, orang itu jadi egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Kesetiaan bisa dibeli dengan uang sehingga mudah sekali dihancurkan. 

Yah, penulis ini memang menunjukkan dalam bukunya bahwa dia mau melakukan sesuatu demi Indonesia dengan banyak berorganisasi. Kasih contoh buat pembaca bahwa untuk mengubah suatu bangsa harus dimulai dari diri sendiri. Memang terlalu idealis, tapi orang boleh bermimpi kan?

Saya merekomendasi buku ini untuk semua rakyat Indonesia. Bagus buat inspirasi.

Dreamer just ate buffet AGAIN, zzzz... how could she reduce weight now?


:)

Wednesday, 9 November 2011

Reunion


Judul : Reunion (The Mediator #3)
Pengarang : Meg Cabot
Tebal : 264 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
 
Resensi :
Kecelakaan terjadi. Dan selalu disebabkan oleh hantu, kalau kau adalah Susannah Simon.

Malaikat-Malaikat RLS dendam kesumat, dan hanya Suze yang bisa menghentikan mereka---karena hanya dia yang bisa melihat mereka. Empat remaja tewas dalam kecelakaan tragis, dan mereka menyalahkan teman sekelas Suze, Michael... dan tidak mau berhenti sampai Michael bergabung dengan mereka di dunia orang mati.

Di tengah perjuangan mati-matian menggagalkan setiap usaha mereka mencabut nyawa Michael, Suze mendapati ternyata bahwa amarah para Malaikat itu beralasan. Karena kematian mereka ternyata sama sekali bukan kecelakaan. Dan pembunuh mereka tak segan-segan mengulangi perbuatan jahatnya.

Nah, ini buku ketiga dari seri mediator Meg Cabot. Seri pertama dan keduanya yang berjudul Shadowland and Ninth Key saya baca versi Inggrisnya karena kebetulan saya nggak nemu yang Indonesianya.

Buku ketiga ini masih mirip-mirip sama buku pertama dan kedua. Sederhana dan mudah ditebak. Saya bahkan sudah tahu penjahatnya dari awal. Tapi karena buku ini bacaan remaja yang ringan, saya tidak bisa komentar lebih jauh dari itu. Untuk genre fantasy young adult, ini buku oke banget. 
  
Di buku ini, Suze mulai menyadari kalau dia itu jatuh cinta sama Jesse si hantu. Tapi dia masih menyangkal dan berusaha mengabaikan perasaannya karena itu nggak normal. Saya ngerti kenapa Suze bisa suka sama Jesse. Masalahnya, dia kan mediator yang mengarahkan hantu gentayangan ke dunia kehidupan selanjutnya. Itu kan aneh. Dia merasa nggak terlalu cocok dengan anak sebayanya. Sementara Jesse, si hantu 150 tahun kuno ini sangat pengertian. Dia melindungi Suze dan selalu ada kalau Suze lagi butuh pertolongan.

Saya suka Suze karena dia strong dan mandiri. Saya suka Jesse karena dia itu lucu banget. Dia suka malu-malu di depan Suze. Apalagi kalau dia lagi nanya soal hal-hal modern yang nggak ada di zaman dia hidup. 

Saya kasih buku ini tiga bintang karena ceritanya mudah ditebak alurnya. Selain itu agak membosankan sih bagian hantu-hantunya. Tapi kelebihan novel ini adalah penceritaan kehidupan sehari-hari Suze yang normal. Dimulai dari adik tirinya yang jenius, kakak sulung tirinya yang cuek, dan terutama pertengkarannya dengan kakak tirinya yang seusia dengannya. Rasanya sangat real seperti keluarga asli. Lucu juga sih bagaimana si Suze bikin julukan buat saudara tirinya : Sleepy buat si cuek yang memang suka tidur, Dopey buat si kakak satunya yang memang bodoh, dan Doc buat si adik tiri. Bahkan untuk sudut pandang orang pertama bagi genre seperti ini, tokoh-tokoh sahabat si Suze yang sebenarnya nggak terlalu berhubungan dengan cerita tidak terasa seperti pajangan. 

Dreamer is waiting for Christmas...


:)

Saturday, 5 November 2011

Rumah Kaca


Judul : Rumah Kaca (Tetralogi Buru #4)
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Tebal : 646 halaman
Penerbit : Lentera Dipantara
Resensi :
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an.

Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menampilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pascakolonial paling bergengsi.


Buku keempat Tetralogi Buru ini tidak lagi diceritakan dari sudut pandang Minke lagi karena dia sudah dibuang ke Ambon dan dipisahkan dari "anak sulungnya" yang adalah organisasi Syarikat Islam. Sang pencerita adalah Jacques Pangemanann, seorang pribumi yang pernah bersekolah di Perancis. Dia bekerja di pemerintahan dan boleh dibilang sebagai "anjing kolonial" karena ia membuang prinsip hidupnya begitu saja demi sebuah jabatan. Ia mengagumi Minke, sang pelopor nasionalisme di Hindia. Namun ia tak berdaya melawan perintah Gubermen untuk mencari cara mematikan pengaruh Minke.

Menurut saya, Pangemanann ini adalah si munafik yang benar-benar bodoh. Hidup setengah abad namun ia sama sekali tidak bisa memegang prinsip hidupnya sendiri. Setiap saat ia terus mengeluh karena hilangnya kebesarannya bahkan juga keluarganya, tapi ia tidak pernah mau mengubah semuanya. Ia tetaplah musuh bagi bangsanya sendiri, bukan pribumi juga bukan Belanda. Jadi, di akhir hidupnya dia sudah tidak punya jati diri lagi. Sendirian, menyesali seluruh perbuatannya.
 

Buku ini menuturkan perkembangan sejarah organisasi di Indonesia setelah Minke dibuang ke Ambon. Melemahnya kolonial karena Perang Dunia, semakin maraknya pembentukan organisasi. Tapi semua perjuangan itu tidak ada gunanya. Hanya sedikit tawaran kedudukan dalam dewan perwakilan rakyat, semua pemberontakan hilang padam tanpa bekas. Di sini menunjukkan betapa Hindia mudah sekali disetir dan dipengaruhi oleh Nederland.
 

Membaca buku ini membuat saya sedih sendiri. Minke yang susah-susah membuang masa mudanya demi membangun Hindia harus meninggal tanpa dikenang siapapun. Seakan hidupnya sia-sia dan tak berarti. Meninggal berarti dilupakan, bahkan hanya sedikit saja yang datang ke pemakamannya. Sungguh tragis betapa keberadaan sosok hebat ini tidak begitu dikenal banyak orang.
 

Untung saja dia adalah seorang penulis, jurnalis dengan semangat tak pernah padam.
 

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."  

"Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya."

"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia."

"Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut."

"Gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut."

Dan yang terakhir...
 
Deposuit Potentes de Sede et Exalvatat Humiles.
(Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina)
   

Tidak ada kata lain dari saya selain... LIMA BINTANG!!! Tetralogi Buru terlalu bagus sampai saya tidak habis pikir bagaimana mungkin ada pengarang sehebat Pramoedya Ananta Toer. Pengarang yang pernah hidup dan lahir di Indonesia ini. Dia bisa menceritakan semua peristiwa sejarah ini dengan begitu detail dan juga mengharukan. Angkat topi, deh. Sayang sekali hidupnya begitu sulit dengan pembuangan, pembakaran karya-karyanya, dilarang menulis... Namun semangat menulisnya tetap tak pernah padam sama seperti Minke yang bernama asli Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers juga kebangkitan nasional di Indonesia di awal abad ke-20.
  
Dreamer wishes that time will run slower, not ready to go back to Singapore...


:)  

Thursday, 3 November 2011

The Mediator : Shadowland and Ninth Key


Title : Shadowland - Ninth Key (The Mediator #1 - #2)
Writer : Meg Cabot
 Number of pages : 516
Publisher : HarperTeen
Synopsis :
Ghosts ruin everything, especially your love life.
Suze is a mediator—a liaison between the living and the dead. In other words, she sees dead people. And they won't leave her alone until she helps them resolve their unfinished business on earth. But after a cross-country move to sunny California, Suze is looking forward to a fresh start and a life free of spectral interventions.
Too bad Suze can't escape the undead that easily. She might not mind Jesse, the sexy ghost who haunts her bedroom, but there are plenty of other poltergeists out there with less friendly intentions. Some of them are out for revenge . . . of the murderous kind. And Suze might be the only one who can stop them.

This book contains two parts of the mediator series, Shadowland and Ninth Key. The series have six installments.

Ok, this is Meg Cabot. I know I will find the sarcasm and the unique style of her writing in this book. And I did find it. Wah, how I miss the time I read her Princess Diaries series.

Light, funny, entertaining as always...

If you like the light adventure-thriller, this book is definitely good for you. Well, I could guess all twisted mysteries inside and I didn't feel so surprised when all the cards were opened. But like I said, this book is a light adventure-thriller-mystery-whatever.

But...
 

Susannah rocks!! She become one of my favorite heroine with her kick-ghost-butt styles. She was tough, stubborn, and also mean sometimes. But I like her. 

Other characters only get small portion in the book. But there are not much to tell about them. Mostly, the book tells about Susannah and the annoying ghosts. But, I don't mind since I really like Suze, haha...
 

Anyway, Jesse is likeable although he seldom appears in the story. He was described as hot ghost who was quite oldies since he came from nineteenth century. But he was so polite and so Spanish (I always have a thing with Spanish language and Latino guys, don't know why). And the way he always called Susannah by "querida" (means darling) with smooth, silky, and deep voice... I know why Suze could not help to fall in love with him although it's not normal to fall in love with ghosts since they are already dead. 

Three stars!

Dreamer does not want to go back to Singapore, seriously...


:)

Wednesday, 2 November 2011

Savage Thunder


Judul : Savage Thunder (Wyoming #2)
Pengarang : Johanna Lindsey
Tebal : 480 halaman
Penerbit : Dastan Books
Resensi :
Lady Jocelyn Fleming adalah wanita cantik berambut merah dengan semangat membara dan harta warisan berlimpah. Ia melarikan diri dari Inggris ke daerah barat Amerika yang liar untuk memulai hidup baru sekaligus guna menghindari pembunuh yang terus mengejarnya selama tiga tahun terakhir atas suruhan pewaris gelar mendiang suaminya.

Sementara itu, White Thunder yang dibesarkan sebagai seorang Indian rela memenuhi permintaan ibunya untuk hidup layaknya pria kulit putih dan mengganti namanya menjadi Colt Thunder. Namun, sebuah pengalaman buruk membuat pria berdarah campuran itu selalu menjaga jarak dengan kaum kulit putih, terutama para wanitanya... sampai ia bertemu dengan Jocelyn yang mengusik hasrat yang dipendamnya dalam-dalam.

Jocelyn menyewa Colt menjadi pemandu untuk menemukan tempat tinggal yang baru setelah Colt berhasil menyelamatkannya dari salah satu usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Selama perjalanan mereka, ketertarikan di antara keduanya pun tumbuh semakin besar dan tak tertahankan. Colt mendapati dirinya melawan emosi yang meluap ketika aturan dunia mereka yang berbeda saling berbenturan. Sementara itu, Jocelyn terus berusaha dengan gigih meyakinkan Colt tentang ketulusan hatinya. Dapatkah Jocelyn menyembuhkan luka masa lalu Colt? Sanggupkah Colt menghapus prasangka yang telah melekat sekian lama? Akankah Jocelyn dan Colt menjawab panggilan cinta mereka?


Ini pertama kalinya saya baca karangan Johanna Lindsey. Katanya dia pengarang historical romance yang oke. Tapi saya salah pilih bacaan ya kayaknya. Memang buku ini dibeliin orang, bukan saya yang milih. 

Yah, menurut saya buku ini membosankan sih. Ceritanya begitu-begitu saja hanya seputar melarikan diri dari pembunuh. Nggak jelas lah. Romancenya juga tipe yang to the point. Ceweknya suka, cowoknya suka. Cuma saling gengsi-gengsian dan minder-minderan. 

Buku ini termasuk dalam seri Wyoming. Tepatnya ini buku kedua. Tapi kalau lihat dari ceritanya, saya sih nggak mau baca yang lain. 

Yang bikin saya geleng-geleng kepala itu adalah satu love scene-nya. Alamak, di atas kuda berkuda-kudaan. Kreatif amat ini pengarang. 

Mungkin saya bakal coba karangan Johanna Lindsey yang lain karena dia katanya pengarang yang oke banget. Memang sih saya bisa melihat dari gaya tulisannya yang kelihatannya sudah ahli banget mendeskripsikan sesuatu. Mengalir banget. Tapi untuk buku ini saya kasih dua bintang buat ceritanya dan ekstra satu bintang untuk cara menyampaikan ceritanya. Jadi, tiga bintang.

Dreamer is in relax state...


:)