Sunday, 28 August 2011

The Hunger Games


Title : The Hunger Games (Hunger Games #1)
Writer : Suzanne Collins
Publisher : Scholastic
Synopsis :
Twenty-four are forced to enter. Only the winner survives. In the ruins of a place once known as North America lies the nation of Panem, a shining Capitol surrounded by twelve outlying districts. Each year, the districts are forced by the Capitol to send one boy and one girl between the ages of twelve and eighteen to participate in the Hunger Games, a brutal and terrifying fight to the death - televised for all of Panem to see.

Survival is second nature for sixteen-year-old Katniss Everdeen, who struggles to feed her mother and younger sister by secretly hunting and gathering beyond the fences of District 12. When Katniss steps in to take the place of her sister in the Hunger Games, she knows it may be her death sentence. If she is to survive, she must weigh survival against humanity and life against love.

WINNING WILL MAKE YOU FAMOUS. LOSING MEANS CERTAIN DEATH.


I didn't know what to expect from this book. But because there were so many good reviews about this book, I believed it would be good. 

And it is. This book kept me staying out late until 5 am, unable to put it down.
 

The first part of it actually bored me. Maybe I could not wait for the actual hunger games to start when the tributes killed each other. Yes, I was that sadistic waiting for the brutality :(
 

That's why I felt quite disappointed when I found out that there were not many fightings inside the book. The book was written in first POV and Katniss as the main character was not really involved in the killings. Her strategy was a good defence and avoidance. But I like the part where she struggled for life, trying to find food and water hopelessly.
 

Really, this book is very cruel. I mean killing each other was not enough and they had to find a way to survive in the wilderness. At least Suzanne Collins wrote it in purely first POV so that it was not necessary to show all the killing scenes.
 

I like Katniss. She was tough, serious, smart, and cautious. She was so cool. And her expertise in bow and arrow makes me love her more. I always like archers (like Legolas in the Lord of The Rings :D).
 

The romance was very little. The boys here are Gale and Peeta. Gale didn't get much scenes in this first book of the trilogy. So, I didn't bother to pay much attention to him. But Peeta who was together with Katniss joining the hunger games was a lovable character. He was not macho and great as usual dreamy male characters, but I like him. He seemed easy-going, although he was inside that crazy stupid game. He could laugh and joke in spite of his wounds. And he was so sweet to Katniss, loved her very much that it hurted him so bad when he knew that everything Katniss did was only for the games.
 

It is so long ago since I read good fantasy novels like Harry Potter and Eragon. The Hunger Games is really awesome. My complaint is only for the writing. It needs improvements in building real, strong, and memorable characters. Most of the side characters were not well-developed; like the members of prep team, Katniss' mother, and some of the tributes. I cannot help thinking that they were merely book ornaments without feelings and emotions. Hence, I only give this book four and half stars. 

Dreamer needs diet seriously,


:)

Kau: Cinta Pada Pandangan Pertama


Judul : Kau
Penulis : Sylvia L'Namira
Penerbit : Gagasmedia
Resensi :
Aku sendiri tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi kau adalah pengecualian. Kau muncul di sudut mata seperti sesuatu yang wajar adanya, menghangatkan wajahku seperti cahaya matahari pagi. Suaramu bergelenyar lembut seperti belaian angin sore. Seluruh indraku bereaksi waspada, kau adalah godaan yang tak bisa disangkal begitu saja.

“Siapa namamu?” batinku bertanya-tanya. Kau benar-benar membuat pikiranku tak keruan. Aku semakin sering melihatmu dalam hidupku, tetapi aku tak punya petunjuk barang secuil pun tentang dirimu. Kau misterius seperti malam tak berbulan. Hadirmu memabukkan seperti aroma rempah-rempah.

Namun, sebelum aku berhasil membongkar misteri tentangmu, sosokmu menguap begitu saja seperti embun menjelang siang. Kukira nyeri di hatiku juga bisa cepat pergi, dibantu oleh waktu—aku salah.

Perasaanku tak sama lagi setelah kepergianmu. Kau membuatku mencandu. Kau membuatku merindu. 


Oke. Si juara kedua ini ternyata lebih ke chicklit dibanding teenlit. Ceritanya tentang perempuan yang kerja sebagai wartawan perang. Keren banget jobnya. 

Eh, eh, eh... Job cowoknya lebih mantap lagi. Pilot!!! Dan cowok itu suka olahraga berat-berat kayak bungee jumping, arung jeram, dkk.

Coba. Di mana lagi bisa ketemu tokoh utama yang jobnya unik begitu.

Nah, ceritanya si Viola alias Piyo itu suka awan. Dia suka mencari wangsit dari awan. Kalau wangsitnya bagus, dia pakai topi rajut hijau. Kalau agak bahaya, dia pakai topi rajut kuning. Dan kalau bahaya, topi rajut merah.

Seperti lalu lintas saja. (Ngomong-ngomong saya nggak tahu wangsit artinya apa, itu hanya mengutip kalimat dari novel).

Begitulah. Dia tuh dipaksa Mamanya cepat nikah (bukan kawin ya). Mamanya yang pemaksaan jodohin dia sama anak temannya. Pokoknya Mamanya itu lucu banget. 

Piyo jatuh cinta sama seorang pilot yang mengantarkan dia ke daerah-daerah bencana alam dan perang, namanya Igo. Dan ternyata Igo itu anak teman Mamanya.

Sounds familiar, doesn't it? Kebetulan banget.

Tapi sayangnya si Igo itu kecelakaan dan dikabarkan sudah meninggal.

Yah, sebagai pembaca buku beginian, pasti sudah tertebak kalau si Igo masih hidup. Dan anehnya cowok ini nggak muncul untuk beri penjelasan apapun selama satu tahun. Si Piyo sedih karena mengira si cowok sudah meninggal dan ternyata si cowok hidup tenang dan senang begitu saja. 

Aneh banget. Padahal si cowok juga suka sama si Piyo. Dia patah hati. Saya nggak tahu karena alasan apa. Tinggal cari ceweknya kok susah amat.

Dua bintang. Plotnya sih enak dan mengalir. Tapi selain keanehan cowoknya, endingnya juga menyebalkan. Menggantung dan singkat. Mau marah bacanya. Padahal dari tiga buku yang jadi juara, si Igo itu yang paling maskulin, paling macho, dan paling cowok. Eh... malahan paling nggak masuk akal. Atau cowok itu memang nggak masuk akal ya?

Ah, sudahlah. Akhirnya selesai juga baca buku-buku yang jadi juara roman ini.

Dreamer is gonna try Billy Bombers for the first time... Hope it's delicious...


:) 

Saturday, 27 August 2011

Minx


Judul : Minx (Splendid Trilogy #3)
Penulis : Julia Quinn
Penerbit : Dastanbooks
Resensi :
Henrietta Barrett, alias Henry, suka mengenakan celana dan kemeja seperti laki-laki. Selain itu, ia mampu mengelola estat walinya dengan baik. Namun, ketika walinya meninggal, estat itu diwariskan kepada seorang sepupu jauh yang bahkan tidak dikenalnya.
William Dunford, bujangan yang paling sulit dipikat di London, sangat terkejut ketika ia mendapat warisan estat dan gelar. Namun, ia tidak menduga kalau warisan itu termasuk menjadi wali Henry. Dunford yang digilai wanita-wanita kalangan atas namun menolak untuk terikat, tergetar hatinya melihat kepolosan dan gaya bicara Henry yang terus terang. Di lain pihak, Henry tidak menyangka kalau walinya begitu muda dan tampan. Jantung Henry langsung berdebar kencang ketika melihat Dunford untuk pertama kalinya.

Dunford, yang merasa memiliki kewajiban untuk mendidik Henry menjadi seorang lady yang anggun, membawanya ke London untuk melakukan debut. Namun, ketika banyak laki-laki mulai terpikat dan mendekati Henry, mampukah Dunford merelakan gadis perwaliannya itu menjadi milik laki-laki lain? Setelah melakukan debut yang sukses, apakah perasaan Henry masih sama kepada Dunford? Karena untuk menaklukkan seorang playboy tampan dibutuhkan lebih dari sekadar kecantikan...


Seri terakhir dari keluarga Blydon. Atau tepatnya mungkin bukan keluarga Blydon, sesukanya sajalah.

Saya sudah nggak sabar baca buku ini karena tokoh utama prianya, William Dunford berhasil mencuri perhatian saya sejak buku satu dan dua : Splendid dan Dancing At Midnight. Dia sangat santai, bebas, jahil, namun bisa tegas jika diperlukan. Pokoknya salah satu tipe tokoh utama yang pasti saya suka.

Begitu saya membaca buku ini, terus-terang saya cukup bosan. Di awal-awal diceritakan interaksi Dunford dengan si Henrietta yang tomboy. Henry ingin mengusir Dunford dari tanahnya karena takut dirinya yang diusir. Saya suka bagian kejahilan Henry untuk mengusir Dunford, mulai dari mengurangi jatah mandi, menyediakan sedikit makanan, juga memaksa pria itu menyekop kotoran babi!

Tapi, bagian itu membosankan. Saya mulai suka begitu Dunford membawa Henry ke London untuk debutnya. Dunford cemburu buta karena Henry begitu sukses menarik perhatian ton dan para pria bangsawan. Dia marah-marah sendiri nggak jelas karena merasa bersalah karena menginginkan anak perwaliannya itu.

Tak perlu berlama-lama. Dunford adalah tipe yang tidak takut akan cinta dan pernikahan. Dia langsung melamar tanpa menunggu-nunggu.

Begini ya. Yang aneh dari cerita ini adalah Henry sendiri. Di awal katanya Henry itu tomboy dan ceplas-ceplos. Tapi di akhir saya tidak merasakan sifat itu lagi. Henry terkesan feminin walaupun mungkin itu dimaksudkan untuk menarik perhatian para bangsawan juga Dunford. Tapi Henry terlalu minder. Dia merasa ragu akan cinta Dunford sampai puncaknya ia cemburu pada simpanan Dunford.

Sebenarnya masalah terakhir itu sama sekali nggak penting. Si Henry yang membuntuti Dunford ke rumah simpanannya merasa sedih karena dia hanya ingin jadi satu-satunya buat pria itu. Dia menciptakan akal bulus supaya Dunford memutuskan pertunangan mereka dengan menggunakan surat palsu kalau dirinya hanya menginginkan Dunford demi rumah saja. 

Ada-ada saja. 

Jadi, deh. Si Dunford kesal dan memperlakukan Henry dengan dingin. 

Itulah anehnya. Henry bisa minderan dan banyak nangis di akhir padahal di awal dia itu perkasa sekali sampai bisa main sama babi. 

Empat bintang karena Dunford!!! Suka sama sikapnya yang sweet dan santai.

One by one dreamer's friends graduate... Feeling trapped lol,


:)

Monday, 22 August 2011

Kambing Jantan (sebuah catatan harian pelajar bodoh)


Judul : Kambing Jantan
Penulis : Raditya Dika
Penerbit : Gagasmedia
Berawal dari blog, Raditya Dika berhasil membuat namanya melambung dengan tulisan kehidupannya yang sederhana namun kocak ini. Dia selalu menggambarkan dirinya sebagai kambing dan menghina dirinya sendiri. Mungkin itulah yang membuat kumpulan cerita blog ini begitu menarik.

Jujur, blak-blakan, dan menghibur.

Tapi seperti kata orang, buku dikatakan bagus karena dibaca di waktu yang tepat, tempat yang tepat, dan suasana hati yang tepat. Entah bagaimana saya tidak terlalu menikmati membaca buku ini. Padahal selera humor saya cukup mirip dengan penulis yang terkesan lebay.

Dua bintang karena ini bukan buku yang ditulis dengan usaha berlebihan. Dari gaya bahasa saja sudah terlihat asal-asalan seperti diari pribadi. Lagipula ini kan catatan perjalanan hidup sehari-hari. Pasti membosankan. Memang ada bagian yang sangat lucu. Tapi lucu dan kocak itu relatif. Tidak semua orang suka dengan gaya penulisan seperti ini.

Kesimpulannya buku ini adalah ungkapan jujur anak muda bernama Raditya Dika. Kehidupannya sih biasa saja seperti orang lain tapi dia mengemasnya dengan beberapa humor lucu.

It is time to start new project...


:)

Sunday, 21 August 2011

Mahabharata


Judul : Mahabharata
Penulis : Nyoman S. Pendit
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kisah epik yang sangat terkenal dari zaman dahulu ini benar-benar sebuah bacaan yang sangat saya rekomendasikan untuk semua orang. Selain mengajarkan hal-hal bijak, buku ini juga memuat banyak ajaran moral juga cara hidup dalam dharma.

Saya lebih menyukai ini dibandingkan Ramayana. Saya menghabiskan waktu lama sekali untuk menghabiskan Ramayana karena membosankan. Tapi Mahabharata benar-benar menarik. Saya sangat suka bagian peperangan dan iri dengki antara Kaurawa-Pandawa. Tapi terutama saya sangat suka dengan pengaturan rumit kehidupan tokoh-tokohnya yang sangat sesuai dengan perbuatan dan tindakan mereka semasa hidup.

Yang juga dikenal sebagai karma.

Cerita klasik India ini memang sangat kental dengan kebudayaan dan agama Hindunya. Selain karma, buku ini menunjukkan tingkatan kasta (brahmana, ksatria, paria). Bahwa tiap orang sudah diciptakan sesuai statusnya, bahwa setiap orang harus bertindak sesuai kastanya. Seperti contohnya, kaum brahmana tidak diperbolehkan berperang seperti kaum ksatria.

Banyak sekali peraturan yang dituliskan di buku ini. Dan entah kenapa saya sangat setuju dan menyukai aturan-aturan itu. Mungkin semuanya terkesan sederhana dan kuno. Tapi saya selalu percaya hal-hal seperti itulah yang bisa memberikan arti pada kehidupan.

Lima bintang untuk cerita dasar dan penuturan Nyoman S. Pendit yang cukup aneh. Memang dialog-dialognya sering membuat saya mengerutkan dahi, tapi justru seperti itulah sebuah epos kuno seharusnya diceritakan.

Dreamer should clean up the room... Such a mess...


:)

Saturday, 20 August 2011

Hujan Dan Teduh


Judul : Hujan Dan Teduh
Penulis : Wulan Dewatra
Penerbit : Gagasmedia
Resensi :
Kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu.

Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.

Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam-diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu-malu.

Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan. Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu.

Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan....


Bacaan singkat. Saya membacanya sebelum pergi ke Changi Airport Singapore untuk pulang ke Indonesia. Terus-terang saja saya tidak menyangka buku setipis ini bisa menceritakan sesuatu sedalam itu.

Hujan dan teduh... Tidak ada hubungan antara judul dengan ceritanya. Bahkan untuk jenis cerita, saya justru lebih menyukai Till We Meet Again.

Tapi kenapa novel ini justru yang mendapat juara satu dalam lomba roman?

Alasannya terletak pada idenya yang tidak biasa. Tidak ada sesuatu yang sweet atau menjual mimpi dalam kisah ini. Lebih banyak sakit hati dan persoalan menyedihkan yang disebabkan oleh cinta itu sendiri. Tokoh utamanya terkesan lemah karena mampu menjadi budak cinta sekalipun saya menyukai tokoh Bintang ini karena kerelaannya berkorban luar biasa besar.

Kalau saya boleh jujur, saya juga bakal memilih novel ini untuk dijadikan juara satu. Masalahnya, novel ini sangat memorable. Bukan tipe yang dibaca selewat dan dilupakan. Tokoh utamanya yang ternyata punya kisah cinta tragis di masa lalu dengan seseorang, ketertarikan tidak normalnya pada sesama jenis (lesbian), dan pada saat ia mencintai seorang cowok... cowok itu kasar dan sedikit sadistis. Tapi demi cinta, Bintang rela memberikan semua miliknya yang paling berharga, bahkan maafnya berkali-kali untuk cowok itu.

Yah, yang membuat novel ini agak aneh adalah bagian cowoknya yang terlalu cepat berubah dan menyadari kalau Bintang sangatlah berharga baginya. Kesannya terlalu diburu-buru. Lalu endingnya yang menggantung cukup mengganggu saya. Kenapa endingnya hanya satu kalimat itu? Seharusnya ditambah lagi.

Tapi sekalipun begitu, saya memberikan tiga setengah bintang untuk novel ini. 

Great!!! Dreamer is coming back again to Singapore... Oh, gosh...


:) 

Thursday, 18 August 2011

Till We Meet Again


Judul : Till We Meet Again
Penulis : Yoana Dianika
Penerbit : Gagasmedia
Resensi :
Saat pertama kali aku melihat dia hari itu, aku sudah berbohong beberapa kali.

Aku bilang, senyumannya waktu itu tak akan berarti apa-apa. Aku bilang, gempa kecil di dalam perutku hanya lapar biasa. Padahal aku sendiri tahu, sebenarnya aku mengenang dirinya sepanjang waktu. Karena dia, aku jadi ingin mengulang waktu.

Dan suatu hari, kami bertemu lagi. Di saat berbeda, tetapi tetap dengan perasaan yang sama. Perasaanku melayang ke langit ketujuh karena bertemu lagi dengan dirinya. Jantungku berdetak lebih cepat seolah hendak meledak ketika berada di dekatnya. Aku menggigit bibir bawahku, diam-diam membatin, “Ah, ini bakal jadi masalah. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.”

Apakah aku bisa sedetik saja berhenti memikirkan dirinya? Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku jatuh cinta, tetapi ragu dan malu untuk menyatakannya.


Saya membeli buku ini dengan alasan karena novel ini menang dalam lomba roman yang diadakan Gagasmedia. Saya penasaran apa yang istimewa dari buku ini sehingga mendapatkan juara ketiga.

Saya membacanya saat saya jenuh belajar ujian. Saya pikir membaca bisa membuat otak saya segar lagi walau sayangnya sekali membaca saya tidak bisa berhenti. Saya menyelesaikannya hanya dalam beberapa jam saja.

Bagi saya yang menyukai segala hal berbau Jerman, saya sangat tertarik membaca buku ini. Selain banyak ungkapan bahasa Jerman, buku ini menyajikan jenis romance yang sangat magical dan berbau destiny. Maksudnya, romance-nya adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena terlalu banyak kebetulan. Tetapi justru kebetulan-kebetulan itulah yang membuat novel ini sangat magical.

Sebenarnya plot dan adegan-adegannya biasa saja. Kita pasti pernah membacanya di buku lain. Tapi karena deskripsi settingnya luar biasa, semuanya jadi terasa istimewa. Apalagi saya belum pernah ke Wina. Novel ini benar-benar terasa seperti mimpi saja. 

Ada kekurangan sana sini tapi saya tetap menganggap novel ini sangat sweet. Dan menghibur, tentunya. Sangat tepat dibaca di waktu saya stres dengan ujian kemarin ini.

Tiga setengah bintang untuk riset Kota Wina-nya. 

Dreamer loves Bandung,


:)  

Friday, 12 August 2011

Akhirnya...

Ujian selesai juga akhirnya... Cuma dua hari sih, tanggal 10 dan 12 Agustus saja. Tapi jangan salah. Gue harus belajar dari seminggu sebelumnya karena bahannya banyak banget. Itulah resiko kuliah biologi. Ujiannya itu bikin rambut rontok dan kepala sakit. Bukunya tebel banget sampe lalat aja mati pas ngeliat.

Oke, jadi begitulah. Dua pelajaran yang diujiankan : Gene Expression and Cellular Communication (GECC) sama Disorder of the Blood and Immune Systems (DBIS).

Dari awal, gue takut banget sama GECC soalnya gue emang paling lemah sama ilmu genetik apalagi gue benci banget sama gen. Udah nggak keliatan, namanya itu pake angka dan huruf-huruf nggak jelas kayak model gini : MAPK, ERK, p38, c-jun, rhlR, luxS... What the hell? Sumpah, gue benci banget itu. Mana gue nggak suka merhatiin lecture, pastilah gue kelabakan belajar di saat-saat terakhir.

DBIS itu sebenernya menarik. Tapi sayangnya hafalannya itu banyak luar biasa. Apalagi nilai gue jelek pas di modul Immunology taun kemaren, jadinya gue juga agak takut sama pelajaran ini.

Dan itu belum ditambah kenyataan bahwa dua pelajaran itu adalah pelajaran paling susah dalam kuliah gue. Dosen gue bilang kalau rata-rata tiap taun setengah kelas selalu gagal untuk kedua modul itu.

Yeah, great. Kill me now, please...

Nah, gue belajar bener-bener. Cuma karena gue nggak apal-apal, akhirnya gue maen judi. Gue tebak aja kira-kira mana yang bakal keluar.

Dan ternyata... harapan gue terkabul. Untuk GECC saja, tapi. Tiga soal yang gue prediksikan keluar semua. Gile, mantap lah itu.

Pengaruh euforia ujian pertama selalu mengurangi niat belajar. Gue tuh nggak niat banget belajar DBIS, sampe-sampe gue pasrah aja deh. Dan karena itulah, gue nggak gitu bisa ngerjain soalnya. Memang sih kata semua orang soalnya parah banget susahnya. Gue jadi merasa salah pilih jurusan. Soalnya jurusan pilihan satu lagi katanya soal ujiannya gampang banget. Sial!!! Hahahaha... (ketawa frustrasi)

Yah, sudahlah. Yang penting udah beressssssssss...

Oh, ya. Sekadar tambahan, gue mau belajar membuat review buku dengan lebih baik lagi sekalian melatih cara penulisan gue. Terus, novel inggris harus pake review inggris biar keren. Sekalian melatih inggris gue yang acak-acakan.

Dan besok, gue bakal pulang... Lalalalala...

Dreamer in relax state...


:)

Thursday, 4 August 2011

A Thousand Splendid Suns


Title : A Thousand Splendid Suns
Writer : Khaled Hosseini
Publisher : Bloomsbury Publishing
Synopsis :
A Thousand Splendid Suns is a breathtaking story set against the volatile events of Afghanistan's last thirty years, from the Soviet invasion to the reign of the Taliban to post-Taliban rebuilding, that puts the violence, fear, hope and faith of this country in intimate, human terms. It is a tale of two generations of characters brought jarringly together by the tragic sweep of war, where personal lives, the struggle to survive, raise a family, find happiness, are inextricable from the history playing out around them.

Propelled by the same storytelling instinct that made The Kite Runner a beloved classic, A Thousand Splendid Suns is at once a remarkable chronicle of three decades of Afghan history and a deeply moving account of family and friendship. It is a striking, heartwrenching novel of an unforgiving time, an unlikely friendship, and an indestructible love, a stunning accomplishment.

I bought this book impulsively because I had read a lot of compliments about this book. Actually the writer was well known for his first debut "The Kite Runner" which I haven't read.

I was not surprised that I really enjoyed reading it. The story was very dramatic. And as a sucker for any dramatic stories, this book was really entertaining.

The book tells a story of two women, twenty years apart, who built their friendship in such unexpected way.

Mariam...
She was the woman who asked very low demands in life. She was raised by her mother in a place far from the town where her father lived. She loved and adored her father eventhough her mother hated him. On her fifteenth birthday, she asked her father to take her to the cinema. Her mother didn't allow her to go and told her that outside world was dangerous and crazy, that nobody liked her because she was a harami (a girl without legitimate father). However, she disobeyed her mother and chose her father instead. And that was her biggest mistake. She found the truth, that her father never really cared about her, even let her sleep on the street all night waiting for him while he comfortably stayed in the house. She hated him but it was too late. When she went back home, she found her mother had committed suicide. Feeling guilty, her father took her and then sent her to Kabul for marrying Rasheed, a shoemaker who was unexpectedly a sadist. He tortured her unhumanly.

Laila...
She was a modern woman. She was taught by her father to be strong and independent. She had a good family although her mother obviously loved her brothers much more than her. Falling in love with her one-legged childhood friend, Tariq and luckily her love was mutual. Until one day... a tragedy took all her loved ones and she was alone. Fate brought him to Rasheed, married him as a second wife.

At first, Mariam hated Laila because Rasheed preferred her. However, Laila agreed to become Rasheed's wife because she was pregnant with Tariq's child. Many things happened and step by step Rasheed changed his attitudes toward her. Two wives, with the same husband, they were tortured and felt betrayed by fate. Friendship blossomed between them.

The books mainly told us about the history of Afghanistan in 1970-2000. About the Taliban and their irrational regimes which treat women like rubbish. I don't know that women were hated that much. They were not allowed to go out without male companion, not allowed to work, even they didn't deserved for getting proper medical attentions. I was angry when I came to the part in which Laila was operated without anesthetics in the stupid and dirty place that they called a hospital specifically for women. Seriously... it was cruel, unfair, and unhuman. Kinda made me wanna shoot all the bad guys.

The ending was okay, not dramatic and all, but I think that was the perfect ending for this kind of story. Happy but there would always be a scar, a wound that would never be healed even by time. It is true that war never gonna ends well, like this story.

I adored both characters. Laila and Mariam were so tough and they could endure their unjust fates. I am sure I will not be able to accept the things that happened to them. Especially the unfair rules between women and men. Oh, I really hate them.

I give this book five stars mainly because of Khaled Hosseini's writing. The descriptions, the explanations, and the dialogs were beautifully written. The sentences amazed me in the way lovely poems would amaze me. The words are intertwined in a very good way.

"One could not count the moons that shimmer on her roofs. Or the thousand splendid suns that hide behind her walls."

Those are the lines in a poem which inspire the title of this book. I interprete it as the happiness hidden behind the pasts and life journeys. It is like memories which will never be lost or fade away, always rest in our minds and shine in our heart.

Nice book with an excellent aftertaste.

Again... Dreamer was not supposed to read novels when exams are coming... But as you see, disobedience always wins...


:)