Sunday, 31 July 2011

Fool For Love


Judul : Fool For Love (Duchess Quartet #2)
Penulis : Eloisa James
Penerbit : Dastanbooks
Resensi :
Lady Henrietta Maclellan adalah wanita cantik, cerdas, dan mewarisi kekayaan berlimpah. Gadis romantis ini sangat mendambakan pernikahan dan anak-anak, tapi kondisi kesehatannya menjadi penghalang untuk mendapatkan keduanya. Ia lalu menyalurkan hasratnya dengan mempelajari cara-cara membesarkan anak dan mempraktikkannya dengan mengajar di sekolah. Namun, saat ia bertemu dengan Simon Darby, Henrietta bersumpah untuk mengejar keinginannya, tidak peduli jika ia harus membuat skandal sekalipun.

Simon Darby adalah pria tampan calon pewaris gelar earl yang suka berpakaian bagus dan dilabeli sebagai bujangan paling diminati. Diserahi tanggung jawab untuk mengurus dua adik tirinya yang masih kecil dan merepotkan, membuat Simon tidak berminat untuk menikah apalagi mempunyai anak. Segalanya berubah setelah ia jatuh hati pada pesona, kecantikan, dan sikap blak-blakan Henrietta. Tapi ketika ia menyadari apa diderita Henrietta, Simon tahu bahwa ia tidak bisa menikahi wanita itu.

Henrietta kemudian menulis surat palsu yang menyatakan bahwa Simon telah merenggut kesuciannya. Dengan berat hati, Simon kemudian menikahi Henrietta. Meskipun keduanya mulai saling jatuh cinta, tapi mereka tidak pernah memercayai satu sama lain. Dan masalah mereka tidak berhenti sampai di situ. Siapkah Henrietta menerima konsekuensi atas ketidakjujurannya? Lalu, bagaimana cara Simon menyempurnakan pernikahan mereka tanpa melukai Henrietta yang perlahan mulai mengisi relung hatinya?


Hmm... sebenernya gue nggak nyangka buku ini cukup menarik buat dibaca. Waktu gue baca sekuelnya dulu, Duchess In Love, gue ampe stres karena bosannya minta ampun. Gue habisin berminggu-minggu buat baca buku itu sampe eneg sendiri. 

Tapi yang ini lumayan. Masih sama dengan sudut pandang nggak fokus, tapi lebih bagus karena gue udah kenal semua tokohnya dari buku satu. Contohnya, Esme. Dia mengambil porsi cukup besar di buku satu di mana sebenernya nggak terlalu penting. Tapi di sini okelah. Dia ada peran menyatukan kedua tokoh utama.

Kedua tokoh utamanya perfect banget. Gue suka karena mereka nggak sempurna. Ceweknya agak pincang karena pinggulnya ada masalah sehingga nggak bisa punya anak. Cowoknya terlalu modis dan suka pake baju berenda-renda. Lucu deh.

Percakapan di antara keduanya juga sangat lucu dan enak dibaca. Gue suka banget tuh. Dan gue sangat suka si Simon Darby karena dia dengan tegas bilang kalau dia nggak serendah itu buat selingkuh sewaktu istrinya nyuruh dia punya simpanan. Bermartabat banget si Simon. Mantap.

Empat bintang. Interesting read.

Dreamer is gonna watch Captain America today...


:)
 

Friday, 29 July 2011

Kisah Tragis Oei Hui Lan (Putri Orang Terkaya di Indonesia)


Judul : Kisah Tragis Oei Hui Lan
Penulis : Agnes Davonar
Penerbit : NTI book
Resensi :
Oei Hui Lan yang terlahir dengan kemewahan dan kehidupan yang sempurna. Ayahnya Oei Tiong Ham adalah seorang pria terkaya di Asia Tenggara yang disebut sebagai raja gula asal Semarang. Suaminya Wellington Koo adalah seorang politikus handal, ia menjabat sebagai menteri luar negri China yang ikut serta dalam pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sang ibu yang ambisius, berhasil membawanya bergabung dengan kalangan jet-set di Eropa yang sejajar dengan keluarga kerajaan Eropa.

Perjalanan hidup Hui Lan bagaikan sebuah kisah telenovela yang tidak pernah berhenti dengan konflik, perselingkuhan dan tragedi kehidupan. Sang ayah, tiba-tiba meninggal dan menyisakan warisan yang menjadikan petaka diantara 8 istri dan 42 anak-anak yang dilahirkan. Warisan yang sejatinya membawa berkah berubah menjadi pertikaian yang tidak pernah berhenti sampai detik ini.

Sebuah sejarah kehidupan yang benar-benar membuat kita bertanya apakah kekayaan dan kehormatan dapat memberikan kita rasa bahagia sesungguhnya.


Gue kebetulan liat buku ini dipajang di Gramedia Istana Plaza dengan begitu mencolok. Tapi anehnya tidak ada di Gramedia PVJ. 

Ah, tidak penting. Anyway, ini kan semacam biografi gitu. Gue nggak bisa komentar soal cerita dong yah. Cuma gue nggak suka cara penulisannya.

Agnes Davonar adalah penulis adik-kakak yang memulai kariernya di blog. Blog mereka mendapat juara, katanya. 

Karya mereka yang pertama gue baca apa ya judulnya? Gue lupa. Pokoknya tentang cewek buta dan cowok aids. Gue beli buku yang itu karena sinopsisnya menarik. Tapi begitu gue baca halaman pertama... Astaga, bukan gue jahat. Tolong diksinya diperbaiki dulu ya. Gaya penceritaannya kok kayak anak kecil dan agak konyol. Jadi, yang seharusnya jadi cerita dramatic romance sedih malah jadi cerita tak beremosi. Padahal gue kan penggemar tema dramatic romance.

Oke, itu tentang buku yang pertama gue baca. Tapi pas gue mau baca buku ini, gue agak waswas juga sih. Dan ternyata nggak berubah. Gaya penceritaannya sama. Cuma untungnya ini biografi, jadi nggak perlu banyak emosi juga. Hanya saja sayang sekali karena kehidupan Oei Hui Lan ini sangat dramatis padahal.

Yah, gue dari dulu punya pikiran kalau gue mau jadi orang pas-pasan saja. Pas mau apa, pas duitnya ada. Gue nggak mau jadi orang kaya, apalagi yang berlebihan. Alasannya apa? Karena orang kaya hidupnya nggak tenang. Dan salah satu alasannya adalah gue penggemar ajaran Budha sekalipun gue itu Kristen (KTP, sayangnya). Budha mengajarkan kesederhanaan. Coba liat biksu-biksu. Mereka pake baju compang-camping, bawa tas isinya cuma sedikit. Gila, gue selalu berpikir hebat bener ya mereka. Coba semua orang tidak matre kayak gitu, dunia bakal aman dan damai.

Terbukti sekali dengan melihat kehidupan Oei Hui Lan yang sarat dengan kesedihan. Kekayaan ayahnya, Oei Tiong Ham yang luar biasa bukan menjadikan keluarga menjadi bahagia malah hancur lebur. Rebutan harta lah, iri-irian, sampe gara-gara gundiknya banyak si istri juga benci sama suaminya.

Cape, deh.

Oei Tiong Ham memang salah satu orang terkenal di zamannya. Dia adalah raja gula Asia Tenggara. Ia bergabung di politik, perdagangan, dan juga perekonomian Indonesia yang waktu itu masih dijajah Belanda. Yang gue nggak ngerti, kenapa orang ini tidak ada dalam sejarah Indonesia manapun yang dipelajari di sekolah. Bahkan peninggalannya pun hanya sedikit di Kota Semarang, tempat mereka semua tinggal dulu. Hanya dibilang istana rumahnya yang luar biasa besar dijadikan universitas. Yah, gue nggak akan komen lebih jauh. Tarik kesimpulan saja sendiri.

Oei Hui Lan adalah anak kesayangan ayahnya. Dia dimanja sejak kecil sehingga sampe dewasa pun hidupnya royal sekali. Bahkan dia tidak tanggung-tanggung kalau mau habisin duit. Hidupnya bagai putri, di mana dia juga diakui sebagai anggota bangsawan Eropa dan bahkan menikah dengan Wellington Koo, salah satu duta besar Cina. Wah, ini cewek udah kaya, berpengaruh pula. 

Cuma sayang. Hubungannya dengan keluarga itu nggak bagus. Suami juga punya gundik lagi padahal dia benci gundik karena melihat aksi ayahnya dulu. Bahkan anaknya pun mengikuti jejak yang seperti itu pula. 

Jadi, pada akhirnya dia hanya sendirian. Dia berteman dengan banyak anjing peliharaannya tapi sebenernya dia itu kesepian. 

Di akhir, perusahaan ayahnya diambil pemerintah. Mereka semua bangkrut dan tidak terdengar lagi namanya. Walaupun aset mereka masih banyak, tapi perusahaan sudah bukan milik mereka lagi. 

Di saat tua Oei Hui Lan hanya mau tinggal di tempat sederhana. Dia menyadari kalau orang kalau sudah melewati puncak umur, tidak akan terlalu peduli pada kekayaan. Inilah yang bikin gue jadi suka sama orang ini. Tadinya kesel juga liat dia seenaknya pake uang ayahnya tanpa mikir. Yah, sudahlah. Kesimpulannya, jangan jadi berlebihan. Cukup-cukup saja lah.


Empat bintang. Bukan lima karena diksinya yang sangat aneh. Tapi secara keseluruhan gue menikmati ceritanya. Oei Hui Lan ini begitu hebatnya sampe lukisannya pun terpajang di museum-museum Inggris. Orang Indonesia yang sangat dihargai dan dihormati di negara luar namun tidak di negara sendiri.

Exams give dreamer a headache...


:)

Thursday, 28 July 2011

Why Do I Rate A Book Five Stars?

Gue mau bikin patokan aja di sini. Biar gue kalau ngasi rate nggak berlebihan atau melenceng. Biar gue tau mana buku yang layak dibaca ulang nantinya.

Oke, dimulai dari satu bintang terus berurutan sampe lima bintang.

Satu bintang
Buku yang gue kasih rating segini berarti udah payah banget. Gaya bahasa kacau, nggak enak dibaca, ceritanya nggak jelas, ide ceritanya aneh, bikin kesel bacanya, dan yang pasti kerasa sekali betapa ngasal si penulis dalam membuat ceritanya. Istilahnya, gue rela nyumbang buku ini kalau ada yang mau.

Dua bintang
Buku dua bintang bisa bermacam-macam. Bisa saja gaya bahasanya jelek, ceritanya lumayan, diksinya aneh, dan ide ceritanya oke tapi standar. Bisa juga gaya bahasa bagus, enak dibaca, cerita super nggak jelas, tapi gue ngerti maksud si pengarang, agak ngasal si pengarang waktu nulisnya. Atau cerita lumayan tapi penyelesaian ceritanya aneh dan terkesan nggak niat. Dua bintang itu biasanya nasib buku Harlequin dan Metropop yang pas gue baca membosankan. Teenlit standar juga biasanya masuk ke sini. Dan banyak juga bacaan membosankan walaupun ceritanya bagus masuk kategori ini.

Tiga bintang
Ugh. Setiap buku yang ditulis dengan hati pasti dengan mudah dapet tiga bintang dari gue. Untuk dapet dua bintang dan empat bintang itu susah dari gue mah. Tapi tiga bintang pasti dapet. Buku tiga bintang menurut gue, ceritanya standar, idenya oke, enak dibaca, bisa bikin gue nangis, sederhana, dan nggak mungkin dibaca ulang. Nah, untuk cerita romansa yah gue rating berdasarkan itu. Tapi fantasi dan cerita lain nggak bisa pake standar gitu karena gue tau menulis fantasi jauh lebih susah daripada menulis genre romance. Selalu ada satu bintang ekstra dari fantasi, thriller, suspense, sejarah, dan non-fiksi. Jadi jenis cerita itu yang dapat tiga bintang berarti ceritanya masih kurang oke. Tapi ekstra satu bintang itu buat effort si penulis. Harlequin, metropop, teenlit, buku tipis, dan cerita ringan yang lumayan pasti masuk kategori ini.

Empat bintang
Wih, kalau sudah dapet empat bintang sih kemungkinan gue pasti baca ulang. Yang menentukan buku dapet empat bintang dari gue adalah aftertaste dari buku itu. Bagaimana perasaan gue pas selesai baca buku itu? Ada beberapa buku yang bikin gue terbengong-bengong saking bagusnya walaupun ide ceritanya standar. Atau bikin gue mewek padahal ceritanya biasa saja. Empat bintang lebih pada emosi gue yang bisa diaduk-aduk atau nggak. Itu kalau romance. Kalau fantasi empat bintang berarti memang bagus. Non-fiksi empat bintang berarti cukup menambah pengetahuan walau ada kurang sedikit. Ada juga buku standar mendapat empat bintang dari gue. Alasannya karena effort penulis dalam menulis bukunya keliatan banget, ada satu tokoh dalam buku yang bikin gue terkesan, ketebalan buku yang melampaui 700 halaman, dan banyaknya kalimat bagus di dalam buku tersebut. Atau bisa juga buku yang ceritanya luar biasa bagus tapi diksi, ending, atau satu bagian kecil dari bukunya bikin gue ngerasa aneh. 

Lima bintang
Baca ulang pasti. Bagus ceritanya pasti. Enak dibaca yah pasti juga. Tapi lima bintang sama empat bintang itu agak mirip. Hanya satu yang membedakan. Buku lima bintang bikin gue nggak mau makan, nggak mau tidur, nggak mau ngapa-ngapain sampe bukunya beres. Aftertaste-nya terbayang-bayang sampe berminggu-minggu, tokohnya sangat mengesankan, pesan moralnya luar biasa, gaya bahasanya sempurna, dan dibaca di saat yang sangat tepat dengan mood. Buku-buku yang tebalnya di atas 800 halaman biasanya masuk ke kategori bintang lima sih. Tapi tergantung aftertaste-nya.

Yah, itulah alasan gue kasih bintang lima ke hampir semua buku Harry Potter. Ceritanya bagus dan fantasi. Itulah kenapa romance dapet rating yang lebih rendah dari non-fiksi, kenapa classic literature selalu dapet bintang yang banyak (karena ketebalannya), dan kenapa buku yang diksinya jelek juga bisa dapet rating yang bagus (tergantung ceritanya).

Sumpah... ada apa dengan gue yang bisa menulis post kayak gini??? NGGAK JELAS BANGET.

Dreamer craves for KFC. Strange, isn't it?


:)

Wednesday, 27 July 2011

Promises, Promises (Mencintaimu Sekali Lagi)


Judul : Promises, Promises
Penulis : Dahlian
Penerbit : Gagasmedia
Resensi :
Setelah bertahun-tahun lamanya, takdir mempertemukan kau dan aku lagi. Berdiri, berhadap-hadapan, dan sama-sama bingung memulai percakapan. Harusnya “Apa kabar?” dan “Aku selalu memikirkanmu” bisa dengan mudah meluncur dari bibir kita. Tapi, kau bergeming di tempatmu berdiri dan aku tak akan mengizinkan kau melihatku meneteskan air mata rindu. Aku menutup rapat-rapat hati dan menyembunyikan kuncinya sejauh mungkin darimu. Tak ingin kau menyentuhku semudah itu. Tak akan membiarkanmu memelukku seerat dulu.

Kulawan semua godaan yang menghampiriku dan ingin pergi jauh-jauh darimu... meskipun yang kulakukan justru berusaha menahanmu di sisiku lebih lama lagi. Kukatakan sudah berhenti memikirkanmu—tetapi aku sendiri ragu akan hal itu.

Aku benci tak jujur kepadamu. Namun, lebih khawatir kau akan membuatku jatuh cinta lagi untuk kedua kali.

Membuatku jatuh dan terluka lagi....


Apa ya? Gue jadwalin baca buku ini nanti setelah gue baca A Thousand Splendid Suns sebenernya. Cuma gue pinjemin buku ini ke temen dan dia suka banget sama buku ini terutama gara-gara cowok tokoh utamanya yang super baik. Nah, gue kan jadi penasaran gitu.

Genre buku ini boleh dibilang metropop. Tapi menurut gue, buku ini adalah Harlequin Indonesia. 

Bukan gue jahat ya. Tapi apa iya di Indonesia sekarang jatuh cinta sama dengan nafsu? Rasanya aneh. Banyak banget gambaran si cowok merasa darahnya memanas melihat bibir dan tubuh ceweknya. Ceweknya juga. Kalau disentuh cowoknya merasa seperti tersetrum. 

Ugh. Gue pembaca Harlequin juga. Tapi itu kan negara barat sana. Normal bagi mereka. Sedangkan Indonesia? EGH...

Jadi ceritanya si cewek pernah gituan sama cowoknya pas SMA. Terus si cewek hamil tapi disuruh aborsi sama cowoknya. Nah, sejak saat itu si cewek benci banget sama si cowok.

Cerita dimulai tiga belas tahun kemudian dengan beberapa kalimat flashback tentang kebencian ceweknya untuk cowok itu. Bener-bener Harlequin banget di mana masa lalu selalu digambarkan secara singkat.

Tiga bintang karena gue rata-rata ngasih rating segitu buat Harlequin. Ringan, tak ada isinya, dan gaya bahasa enak dibaca. Standar dan tidak mungkin dibaca ulang.

Emang sih cowoknya baik banget. Super sempurna. Dan seperti biasa, gue nggak suka cowok sempurna berlebihan. Nggak nyata. Bayangin. Cowoknya bisa masak, ngurusin ceweknya mulu, bla bla bla. Terlalu baik sampai gue merasa baca sesuatu yang aneh.

Dan ada adegan uhuk-uhuk di luar nikahnya. Nggak cocok buat Indonesia. Atau emang gue yang pikirannya kolot ya. 

Ah, sudahlah.
 
Dreamer wanna try to write something, seriously...


:)

Tuesday, 26 July 2011

Perhaps You


Judul : Perhaps You
Penulis : Stephanie Zen
Penerbit : Gagasmedia
Resensi :
Tak tahukah kau seperih apa perasaan hati yang tak berbalas? Menanti sesuatu yang tak kunjung datang?

Hari berganti hari, tapi arah hatiku tak pernah berubah—selalu tertuju padamu. Aku tak pernah jenuh menunggu... menunggu untuk kau cintai. Tapi kau hanya menganggapku lalu. Seperti tak kasat mata aku di matamu.

Terkadang lelah menyuruhku menyerah, memintaku berhenti melakukan perbuatan sia-sia dan mulai mencari cinta baru. Tapi bagaimana mungkin aku sanggup melakukannya, kalau semua tentangmu mengikuti seperti bayangan menempel di bawah kakiku? Dan bagaimana pula caranya membakar habis semua rindu yang bertahun-tahun mengendap di hatiku?

Aku berharap mendapatkan jawaban darimu. Tapi kau tetap membisu, membuatku lebih lama menunggu.


Gue bisa beli buku ini karena di goodreads ada pilihan buku ini buat baca bareng bulan Juni. Memang sih nggak kepilih (baca barengnya buku Twenties Girl by Sophie Kinsella), tapi gue penasaran. Kebetulan gue udah lama nggak baca genre metropop. Pengen tau aja gitu.

Yah, seperti biasa. Gue selalu kecewa dengan bacaan metropop yang nggak menggigit. Alasannya mungkin karena tokoh ceweknya selalu dalam jajaran kaya atau menengah ke atas. Gue selalu suka cerita yang dramatis dan biasanya cerita dramatis berarti ceweknya miskin atau menengah ke bawah lah. 

Begitu baca kalau tokoh ceweknya anak orang kaya, gue langsung nggak tertarik lanjutin sih. Gimana ya? Abis dia kan kaya, kalaupun mereka ada masalah juga ya udahlah. Hidup mereka udah enak, ngapain sih diributin? Nggak layak dibikin cerita sebenernya.

Apalagi tokoh cewek di sini, Abrielle Estefania Jusuf sangatlah cengeng dan kekanak-kanakan. Jangan tanya gue seberapa bencinya gue sama tokoh utama cengeng dan nggak strong. Paling anti gue baca romance yang tokohnya ceweknya banyak nangis dan lemah. 

Dan Abby ini lemah banget. Nangis mulu dan bodoh. Dia suka cowok yang udah punya pacar. Udah resiko bakal ditendang kan? Tapi ini nangis-nangis minta balik. Oh, so typical.

Akhirnya dia jadian sama cowok lain yang baik dan cuma pajangan di buku ini. Maksud gue pajangan tuh karena cowok ini nggak dideskripsikan lebih jauh. Cuma lewat sebentar doang. 

Yang bikin gue kasih tiga bintang untuk buku ini bukanlah gara-gara tokoh. Gue suka gaya penulisan Stephanie Zen yang enak dibaca dan... ceritanya yang sangat (SANGAT) menggambarkan kehidupan cinta anak zaman sekarang. Kenalan, tuker PIN BB, BBM-an, jadi deket, jatuh cinta padahal belum ketemu orangnya, ketauan ada belangnya, tetep aja lanjutin acara selingkuhnya, ketauan, pisah, nangis, nggak mau lepas, dll.

Beneran. Baca buku ini serasa membaca kehidupan cinta salah satu temen gue. Gue masih inget banget karena kasusnya sama persis. Urutan kejadiannya juga persissssssss banget. Sangat menohok banget, hahahaha...  

Yah, gue suka sih pas bagian cowok hidung belangnya dapet ganjaran setelah nyakitin dua ceweknya. Mantap banget kalimat terakhirnya. There's no way back! Makan tuh cowok tukang selingkuh!! (Kok gue jadi jahat gini?)

Oke, lanjut baca lagi.

Dreamer is happy when all assignments are done... but now waiting for exams in two weeks time...


:)

Monday, 25 July 2011

Reconnected Kids


Title : Reconnected Kids
Writer : Dr. Robert Melillo
Publisher : Perigee Trade
Resensi :
Finally, a lasting solution to behavior problems-for every child.

Reconnected Kids is a groundbreaking guide to help parents resolve their child's behavioral problems-without medication, strife, or drama. This empowering method shows parents how to first identify their own role in their child's behavior, and then how to guide the child to focus on goals, practice lifelong good habits, and stay motivated.

This insightful and whole-family approach will help parents and kids reach their full potential.


Yah, sebenernya gue beli buku ini mendadak. Gue pergi ke Kinokuniya dan melihat buku ini berhubungan dengan kelakuan anak-anak. Kebetulan gue inget saudara gue ambil psikologi anak jadi gue beli buat hadiah.

Tapi seperti biasa. Keusilan tangan gue tidak tahan untuk tidak membacanya. Hahahaha...

Yah, alasannya adalah gue pengen mengerti sesuatu tentang autistik karena kebetulan juga ada saudara gue yang autis. Memang gue nggak menemukan solusi apapun di buku ini, tapi gue menemukan teori yang sesuai dengan prinsip gue.

Gue nggak pernah suka mengobati dengan cara pakai obat. Gue lebih percaya natural healing. Buku ini mengatakan teori bahwa setiap orang normal mempunyai porsi otak kanan dan kiri yang seimbang. Kalau salah satunya lebih besar atau lebih kecil, maka terjadilah autis, Asperger, ADHD (attention deficit hyperactive disorder), dyslexia, dan kekurangan lainnya.

Itu secara ilmiah.

Robert Mellilo percaya bahwa sikap anak yang buruk dipengaruhi oleh orang tuanya. Selama ini pengobatan selalu berusaha menargetkan anak-anak sedangkan seharusnya pengobatan dimulai dari orang tua anak bermasalahnya dulu. 

Dengan menggunakan law of attraction-nya Rhonda Byrne (baca buku the Secret kalo nggak tau), Robert Mellilo meminta orang tua selalu berpikir positif tentang anak-anaknya. Bagaimana anak bisa bahagia dan tenang kalo orang tuanya saja tidak bahagia? Begitulah, kira-kira. 

Lalu tips yang diberikan penulis adalah mengembalikan kita ke keluarga zaman dulu. Orang tua harus banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak, membuat peraturan disertai sedikit hadiah jika anak berhasil melakukannya, mengadakan pertemuan keluarga wajib seminggu sekali, dan membangun komunikasi dengan seluruh anggota keluarga. Dan tradisi seperti itu memang sudah hilang di keluarga zaman sekarang di mana kedua orang tua sibuk bekerja, menitipkan anak di tempat penitipan atau suster, dan sebagainya. Bahkan orang tua sekarang tidak pernah mau mendidik anak dengan benar. Mereka percaya kalau anak mereka itu tidak pernah salah. Coba ya, di sekolah kalau anak dimarahi guru karena melakukan kesalahan, besoknya orang tuanya datang marahin gurunya. Gawat nggak sih?

Empat bintang buat teori penyembuhan baru yang tidak menggunakan obat, melainkan stimulasi otak yang kurang berkembang. Hanya saja buku ini terlalu banyak mempromosikan Brain Balance Program yang memang perusahaan milik si penulis. Seperti yang kita tahu, tempat perawatan seperti itu harganya selangit dan sebenernya tidak diperlukan kalau saja kita sebagai orang tua bisa mendidik anak dengan baik.

Dreamer in busy state...


:)

Saturday, 23 July 2011

The Taming of The Duke


Judul : The Taming Of The Duke (Essex Sisters #3)
Penulis : Eloisa James
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Setelah setahun berlalu, Imogen memutuskan masa berkabungnya sudah berakhir. Saatnya memanfaatkan statusnya sebagai janda muda sebaik-baiknya. Bagaimanapun, status baru itu memberinya kesempatan untuk memiliki cicisbeo---kekasih gelap. Maka Imogen pun mulai memilih targetnya.

Rafe merasa geli dengan ulah Imogen, dan sangat senang mendengar Imogen gagal mendekati Mayne. Tapi ketika bekas anak perwaliannya itu mulai menggoda Gabe, adik haram Rafe, rasa geli Rafe berubah jadi cemburu.

Tidak, kali ini Rafe memutuskan tidak akan kehilangan Imogen lagi. Ia bertekad mendapatkan Imogen. Rafe pun menyamar sebagai Gabe, dan mengalami saat-saat menyenangkan bersama Imogen. Tapi penyamarannya berbalik menjadi senjata makan tuan. Karena ketika Imogen berkata, "Aku mencintaimu", Rafe jadi tidak yakin siapa yang dimaksud wanita itu, Gabe atau Rafe?


Seperti yang pernah gue bilang, gue sangat menanti-nantikan baca buku ini setelah membaca dua buku sebelumnya : Much Ado About You dan Kiss Me, Annabel. 

Menurut gue, ceritanya sih lebih bagus dari dua buku sebelumnya. Kenapa? Karena dari awal gue tertarik membaca soal Imogen yang keras kepala, menyebalkan, dan penuh dengki. Lagipula prianya itu tukang mabok dan digambarkan berperut gendut.

Ini satu-satunya buku yang bisa bikin dua orang kurang menarik menjadi tokoh utama yang sangat gue suka. Imogen di buku satu adalah si keras kepala dan penuh dengki. Di buku kedua dia marah karena suaminya meninggal jadi dia ingin membuat skandal dan jadi liar. Di buku ketiga ini dia bertambah dewasa dan ternyata dia sadar kalau dirinya bukan tipe orang yang ingin tidur sembarangan dan membuat afair.

Rafe pemabuk dari awal sudah gue suka. Dia cukup lucu karena sangat berantakan dan canggung dalam menjadi wali. Dia digambarkan tidak cocok sebagai duke tapi juga punya aura kasar.

Nah, di buku ini dia berhenti minum. Berubahlah jadi ganteng karena perutnya ga buncit lagi dan jadi lebih kurus.

Rafe sudah tertarik pada Imogen sejak buku satu di mana ditunjukkan kalo dia benci sama Draven Maitland yang merupakan sasaran cinta Imogen. Di buku ini gue suka banget sama dia yang bisa memahami perasaan Imogen dan menerima gadis itu sepenuh hati. Sayangnya dia tidak terlalu punya percaya diri karena selama ini Imogen selalu mengejeknya sebagai pemabuk tak bertanggung jawab. Jadi, dia menggunakan penyamaran sebagai adik haramnya yang cukup mirip dengannya.

Sepanjang buku terlihat kalau Imogen jatuh cinta pada sosok tersembunyi si Gabe, adik Rafe. Sayangnya Imogen nggak tau kalau itu Rafe.

Sumpah. Rafe di sini digambarkan jadi terlalu hot menurut gue. Imogen memang sejak awal digambarkan sangat cantik dan sensual.

Kekurangan buku ini adalah bagian akhirnya. Tiba-tiba saja Imogen sudah tahu kalau yang selama ini bercinta dengannya itu adalah si Rafe dan bukannya Gabe. Bagian penjelasan di situ kurang.

Seperti biasa, Eloisa James selalu tidak fokus dalam sudut pandang karakternya dan banyak loncat-loncat. Tapi sudahlah. Kebetulan gue cukup penasaran dengan si Gillian sih jadi bisa ditolerir. Walau menurut pendapat gue, cerita sampingan itu agak merusak hubungan tokoh utama sih.

Empat bintang.

Dreamer is planning to stay at home next week despite of the class... Lazy...


:)

Thursday, 21 July 2011

Something Wonderful


Judul : Something Wonderful (Sequels #2)
Penulis : Judith Mcnaught
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Resensi :
Semenjak menyelamatkan nyawa Jordan Townsende, Duke of Hawthorne dari serangan penyamun, kehidupan Alexandra berubah 180 derajat. Tiba-tiba ia dihadapkan pada kenyataan dirinya menikah dengan Jordan, bangsawan paling ternama di seantero Inggris dan menjadi seorang duchess. Namun takdir seakan belum puas mempermainkan dirinya karena empat hari setelah pernikahannya, Jordan tiba-tiba menghilang dan diperkirakan telah tewas.

Dalam usia yang masih sangat belia dan hati dibutakan oleh cinta kepada mendiang suaminya, Alexandra mencicipi Season di kota London. Pada saat itulah ia mengetahui bahwa Jordan Townsende yang selama ini ia puja ternyata tidak semulia yang ia bayangkan. Cintanya berubah menjadi kebencian dan ia bertekad membuktikan dirinya layak menjadi Duchess of Hawthorne.

Lalu tanpa disangka-sangka Jordan muncul kembali. Jordan terkejut mendapati gadis lugu yang dinikahinya secara terpaksa sekarang menjelma menjadi wanita cantik pujaan para pria. Dan ia harus berusaha keras merebut hati Alexandra yang sekarang sudah mengetahui reputasinya di masa lalu.

Meski cinta mereka kembali diuji oleh pengkhianatan dan rasa curiga, Alexandra selalu percaya suatu saat nanti sesuatu yang indah akan menghampiri dirinya.


Terus terang gue beli buku ini karena banyak yang bilang bagus di goodreads. Tapi resensinya menarik juga sih.

Cerita, plot, hero, heroin, dialog, dan deskripsi sempurna sekali. Terutama ceritanya sangat menyentuh. 

Tapi gue nggak suka gaya penulisan Judith Mcnaught. Dia suka melebih-lebihkan sesuatu yang tidak penting. Banyak penjelasan yang diulang-ulang. Rasanya gue membaca mata biru heroinnya berkali-kali dalam satu buku. Mata kelabu prianya, sifat periang wanitanya, dan segala penjelasan fisik lainnya terlalu banyak yang mubazir, menurut gue.

Yah, itu saja kekurangannya. Yang lainnya gue nggak bisa komentar.

Dari segi historical romance, buku ini adalah salah satu buku dengan cerita terbagus yang pernah gue baca. Gue suka kepolosan dan optimisme heroinnya. Heronya juga sangat wow gitu : kaya, tampan, playboy, walau tak pernah tersenyum.

Dalam sebuah buku romance, gue selalu mencari pasangan yang meant to be together. Maksud gue di sini adalah kontribusi kedua tokoh utama terhadap satu sama lain harus seimbang. Di sini Alexandra yang ceria namun keras kepala ini sangat beruntung mendapatkan suami kaya seperti Jordan. Hidupnya bagai Cinderella. Tapi dia berhasil membuat Jordan banyak tertawa dan lebih santai. Kesetiaannya menanti dan menangisi pria itu saat mengira Jordan meninggal membuat gue berpikir tidak ada wanita lain yang tepat untuk pria ini.

“Jika menjadi kaya membuatmu tidak bisa bersantai dan menikmati hidup, maka harga sebuah kekayaan itu terlalu tinggi.”

Gue banyak terharu membaca buku ini. Terutama saat Alex dengan polosnya percaya kalau suaminya itu bagaikan santo kudus. Ia bahkan menyatakan cintanya dengan tulus walaupun hanya dibalas dengan ucapan terima kasih. 

Sampai Jordan dikira meninggal ia juga tidak tahu apa-apa. Ia begitu memuja pria itu dan ditertawakan seluruh ton. Saat ia tahu betapa jeleknya sikap Jordan dulu : mempunyai simpanan dan segalanya, ia kecewa. Ia sadar kalau Jordan menikahinya atas dasar rasa kasihan dan utang budi karena Alex sudah menyelamatkannya.

Tapi Jordan kembali. Wah, di sini gue suka banget interaksi antara keduanya. Cinta namun saling menolak. Di bagian sini emang Jordannya agak aneh karena selalu curigaan. Tapi gue cukup sedih waktu dia memberi penawaran begini : Alex harus hidup tiga bulan bersamanya sebagai istri yang baik dan kalau setelah tiga bulan Alex masih belum memaafkannya, maka Alex boleh pergi dengan diberi setengah juta pound.

Oh, kasihan sekali. Kenapa sih harus saling salah paham?

Di akhir Alex pasrah karena bahkan sebelum sebulan berjalan, ia sudah tidak bisa lepas dari Jordan. Ia memutuskan ingin membuat Jordan jatuh cinta padanya. Di bagian ini luar biasa sekali. Gue suka  banget sama si Alex.

Ah, sudahlah. Ini novel terlalu keren. Outstanding. Lima bintang.

Dreamer thinks that time is flying so fast...


:)

Friday, 15 July 2011

Éclair: Pagi Terakhir di Rusia


Judul : Eclair
 Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Gagasmedia
Resensi :
Seandainya bisa, aku ingin terbang bersamamu dan burung-burung di atas sana. Aku ingin terus duduk bersamamu di bawah teduhnya pohon-berbagi eclair, ditemani matahari dan angin sepoi-sepoi. Aku ingin terus menggenggam jari-jemarimu, berbagi rasa dan hangat tubuh-selamanya.

Sayangnya, gravitasi menghalangiku. Putaran bumi menambah setiap detik di hari-hari kita. Seperti lilin yang terus terbakar, tanpa terasa waktu kita pun tidak tersisa banyak. Semua terasa terburu-buru. Perpisahan pun terasa semakin menakutkan.

Aku rebah di tanah. Memejamkan mata kuat-kuat karena air mata yang menderas. "Aku masih di sini," bisikmu, selirih angin sore. Tapi aku tak percaya. Bagaimana jika saat aku membuka mata nanti, kau benar-benar tiada? 


Sebenernya itu bukan resensi lah. Nggak ada hubungannya sama cerita sama sekali.

Oke, buku Gagasmedia seperti biasa covernya bagus sekali. Sangat menarik minat pembaca. Atau cuma gue ya? Ah, terserahlah.

Gue menilai sebuah buku bukan hanya dari subjektivitas gue sendiri tapi juga objektivitas. Gue lebih memberi nilai plus yang banyak kalau gue tau seberapa banyak effort yang udah dituangkan seorang penulis ke dalam bukunya.

Empat bintang untuk buku ini.

Ceritanya sangat biasa. Alurnya oke. Persahabatan dan persaudaraan digambarkan dengan sangat baik walau sedikit aneh karena kok cowok bisa sampe segitunya.

Tapi riset tentang Rusia, Leo Tolstoy, puisi, dan eclairnya cukup membuat gue terkagum-kagum sendiri (maklum atuh kampungan). Dan kelihatan sekali penulisan Prisca Primasari ini sangat rapi. Nggak ada adegan yang dipaksakan atau terburu-buru. 

Dan karena gue penggemar sastra dan sejarah, gue suka sekali bagian puisi dan sejarah Rusianya. Karena gue nggak gitu suka baca buku nonfiksi, gue selalu suka bacaan gue memberi pengetahuan walau hanya sedikit. Apalagi buku ini. Temanya persahabatan tapi ada sedikit sejarah, sastra, puisi, dan budayanya. 

Rusia-Paris-New York-Surabaya. Gue sampe keliling dunia di dalam buku karena deskripsinya bagus banget. 

Ceritanya sih tipe romantis. Seperti bagian Sergei jatuh cinta dengan Ekaterina hanya gara-gara gadis itu berdiri dekat air mancur dan terlihat bagai pemandangan negeri dongeng. Nggak masuk akal tapi sweet.

Sederhana, menyentuh, dan menghibur. Tentang persahabatan yang hilang hanya gara-gara sebuah ego.

Ada bagian sejarah yang sepertinya diplesetin oleh Prisca Primasari. Gue nggak yakin bener apa nggak, tapi sotoy ajalah. Medali yang dikasi Peter I ke Catherine The Great dengan tulisan "Krasivaya Devushka, ich werde dich immer beschützen" sepertinya hanya khayalan saja. Soalnya gue nggak merasa menemukan tentang itu di sejarah Rusia manapun yang gue baca. Kalau itu bener, keren sekali. Top jempol kaki tangan untuk tulisan di medali itu. 

Beautiful young woman, I will always protect you... 

Ah, sudahlah. Gue cuma mau bilang kalau gue kagum sama riset di buku ini. Kalau udah masalah effort gue murah hati lah. Coba bandingin sama H.R.H. Danielle Steel. Itu mah kerasa banget asal-asalan nulisnya.

Dreamer considers to learn Russian language after reading this... Interesting, isn't it?


:)   

Tuesday, 12 July 2011

To Kill A Mockingbird


Title : To Kill A Mockingbird
Writer : Harper Lee
Publisher : HarperCollins
"Shoot all the bluejays you want, if you can hit 'em, but remember it's a sin to kill a mockingbird."

Buku ini dikatakan sebagai one of the best books in twentieth century. Karena itulah gue penasaran pengen baca. Gue nggak tau apa yang gue expect dari buku ini. Tapi yang jelas, gue rasa isinya pasti bagus dan keren.

Yah, memang. Gue kasih lima bintang untuk buku ini. Tapi ternyata isinya tidak sesuai dengan yang gue kira. Gue pikir isinya mengandung cerita rame dan penuh kekejaman. Apalagi di awal cerita sudah diberi tahu soal Boo Radley yang tidak pernah keluar rumah. Kesannya misterius begitu.

Tapi seperti yang gue bilang, anggapan awal gue salah besar. Karena buku ini membuat gue merenung banyak. Diceritakan dari sudut pandang utama, si kecil Jean Louise Finch (Scout) membuat gue tersenyum sendiri dan memahami pergulatan hati si tokoh.

Menceritakan keluarga Finch yang terdiri dari si ayah, Atticus dan dua anak kecilnya, Jem dan Scout. Atticus adalah ayah yang bijak dan selalu mendidik anak-anaknya dengan cara adil. Segala perbuatan pasti ada konsekuensi. Tidak ada perbedaan di antara semua orang. Hargai semua orang karena setiap orang punya sisi baik. 

"...Atticus, when they finally saw him, why he hadn't done any of those things... Atticus, he was real nice..."

"Most people are, Scout, when you finally see them." 

“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya... hingga kau meyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.” (yang ini gue ambil dari review orang lain, gue lupa ada di mana kalimat ini. Tapi gue yakin pernah baca di bukunya)

Memang gaya penceritaan Harper Lee sangat lambat. Gue sendiri nggak yakin ini cerita mau dibawa ke mana sebenarnya pas awal-awal. Cuma di situlah Harper Lee ingin menjelaskan lebih banyak tentang tokoh-tokohnya. Dan memang keunggulan novel ini adalah narasi, gaya bercerita, dan penokohannya. Luar biasa. Gue angkat topi untuk pengarang ini. Sepanjang gue baca buku, gue belum pernah menemukan penulis yang menulis dengan penuh variasi kata-kata dan deskriptif sekali seperti Harper Lee ini.

Gue suka si Scout. Dengan gayanya sendiri yang tomboi dan selalu ingin bertanya, dia memperhatikan dunia di luarnya yang ternyata tidak seperti bayangannya. Bahwa dunia luar tidak selalu hitam putih seperti yang diajarkan ayahnya. Bahwa di dunia luar kita tidak bisa mengharapkan keadilan yang masuk akal. Lucu sekali membaca bagaimana dia memaksa tidak mau sekolah, berantem dengan teman sekelasnya, protes ini-itu, dan mengekori kakaknya, Jem terus-menerus. Gue sering tersenyum sendiri di setiap pertanyaan ingin tahu Scout. Anak kecil yang menggemaskan sekalipun narasi pikirannya tidak seperti anak berumur 8 tahun.

Jem digambarkan sebagai anak yang sedang beranjak dewasa. Penuh pertanyaan, intrik, kebingungan, namun yang gue suka adalah dia senantiasa melindungi Scout mati-matian. Ada satu masa sewaktu dia iri pada teman-temannya karena ayah mereka sering bermain bersama mereka sementara Atticus terlampau sibuk untuk bermain bersama dirinya. Atticus juga sudah tua dan tidak bisa diajak bermain bola. Namun dengan berjalannya waktu ia melihat ayahnya adalah sosok yang sangat keren. Atticus adalah penembak terbaik di kota mereka, Maycomb. The deadest shot in town. Di saat itulah Jem bertanya-tanya kenapa ayahnya tidak pernah memberitahunya. Kenapa Atticus terlalu rendah hati untuk memamerkan keahlian itu?
"... I wanted you to see what real courage is, instead of getting the idea that courage is a man with gun in his hand..."

Di saat Jem marah pada seorang tetangga yang menghina Atticus sebagai nigger lovers atau pecinta negro, ia merusak pekarangan rumah orang itu. Tapi Atticus malah menghukumnya padahal Jem telah membelanya. 
 
Di sinilah gue bisa melihat betapa Atticus adalah orang yang sangat bijak. Sebagai pengacara ia juga tidak membeda-bedakan kasus yang dijalankannya. Saat ia membela seorang negro yang dituduh memperkosa seorang wanita kulit putih, ia tidak mengeluh sekalipun dihina banyak orang di kotanya. Memang saat itu adalah zaman di mana orang negro sangat dibedakan dari orang kulit putih. Bahwa orang punya tingkatan mereka masing-masing.

"...Thomas Jefferson once said that all men are created equal, a phrase that the Yankees and the distaff side of the Executive branch in Washington are fond of hurling at us. There is tendency in this year of grace, 1935, for certain people to use this phrase out of context, to satisfy all conditions. The most ridiculous example I can think of is that the people who run public education promote the stupid and idle along with the industrious-because all men are created equal, educators will gravely tell you, the children left behind suffer terrible feelings of inferiority. We know all men are not created equal in the sense some people would have us believe-some people are smarter than others, some people have more opportunity because they're born with it, some men make more money than others, some ladies make better cakes than others-some people are born gifted beyond the normal scope of men.

"But there is one way in this country in which all men are created equal-there is one human institution that makes a pauper the equal of a Rockefeller, the stupid man the equal of an Einstein, and the ignorant man the equal of any college president. That institution, gentlemen, is a court. It can be the Supreme Court of the United States or the humblest J.P. court in the land, or this honorable court which you serve. Our courts have their faults, as does any human institution, but in this country our courts are the great levelers, and in our courts all men are created equal.

"I'm no idealist to believe firmly in the integrity of our courts and in the jury system-that is no ideal to me, it is a living, working reality. Gentlemen, a court is no better than each man of you sitting before me on this jury. A court is only as sound as its jury, and jury is only as sound as the men who make it up. I am confident that you gentlemen will review without passion the evidence you heard, come to a decision, and restore this defendant to his family. In the name of God, do your duty."

Kalo gue jadi jurinya, gue udah langsung milih nggak bersalah. Ya, ampun. Atticus ngomongnya mantep abis. Hahahaha...

Jadi, ternyata ceritanya bukan tipe rame yang ada klimaksnya. Ceritanya datar namun sarat akan makna. Gue rasa itulah yang membuat novel ini memenangkan penghargaan Pulitzer dan dikatakan sebagai a book adults should read before they die melebihi Bible.

Segalanya berupa prasangka. Orang mengikuti trend, gosip, dan apa kata orang. Pada akhirnya si negro tetap dijatuhi hukuman sekalipun jelas sekali dia tidak bersalah. Karena apa? Karena dia negro, tidak ada alasan lain. Orang kulit putih selalu menang, pokoknya. 

Prejudice.

Seperti Boo Radley yang dianggap jahat oleh Scout di awal-awal. Tapi ternyata Boo yang nanti menyelamatkan nyawanya dan kakaknya.

Judulnya sangat cocok sebenernya. To Kill A Mockingbird. Hanya saja kita perlu menelaahnya sendiri apa atau siapa Mockingbird ini. Mockingbird menggambarkan innocent people. Bisa saja yang dimaksud Harper Lee adalah anak-anak (Jem, Scout, dan Dill) atau orang negro yang tak bersalah itu.

“Mockingbirds don't do one thing but make music for us to enjoy . . . but sing their hearts out for us. That's why it's a sin to kill a mockingbird.”

Great job for Harper Lee! 

Dreamer wanna see a mockingbird... hmmm...


:)

Monday, 11 July 2011

Fantasy Fiesta 2010 (antologi cerita fantasi terbaik 2010)

Judul : Fantasy Fiesta 2010
Penerbit : Andhika Pustaka
Ini buku gue baca setelah gue mengirim cerpen fantasi gue ke lomba. Sumpah, gue langsung putus asa sedalam-dalamnya setelah membaca isinya. Gila, pengarangnya jago-jago amat. Hebat dan pertamax!!

Resensi :
Mari sejenak berkelana ke tanah angan.

Tanah di mana yang Hidup Seribu Tahun masih terus bernafas dan melangkah. Tempat di mana Burung Api masih mengarungi langit. Panggung di mana para dewa mementaskan Drama Terhebat Yang Pernah Ada. Dan realita di mana Nama Terlarang mengintip dari balik angkasa.

Mari bersama-sama menerbangkan daun harapan di Bukit Angin. Menelusuri kota misterius Apollyon. Berlari bersama Bocah Serigala, meraung bersama si Pengubah Wujud. Mengunjungi Kota Para Buas dan Istana Camar. Menonton Boxinite di Planet X31. Menjelajahi Labirin tak berujung.

Mari menari di Rhytma! Berteman Matahari Sylvania, bermandikan Hujan. Satukan tangan bersama Yang Empat, dan bertualang bersama Moka si Mobil Jelaga. Mencumbu Api Rangda, Mencandu Aksara, Merindu Buku bersama Wan dan Na.

Selamat datang di Fantasy Fiesta. Mari berpesta! 


Ah, karena ini sebuah antologi gue bikin review tiap cerita saja.

1. Bocah Serigala dan Isyarat-Isyarat Api - Jaladara
Pembuka yang bagus. Gue suka sama nama-namanya yang aneh. Cakar Serigala Memecah Bulan, hahaha... Sepertinya penulis terinspirasi Wiro Sableng atau apa. Cukup menarik di mana gunung meletus digambarkan sebagai dewa yang marah. Kerasa banget suasana fantasinya dengan segala ritual dan kepercayaan suku.


2. Hujan - Ivon Natasa
Begitu selesai membaca, gue nggak tau apa hubungan judulnya dengan ceritanya. Tentang orang mati yang bertemu naga dan tuannya sebelum masuk ke dunia akhirat. Gue suka sih sama naganya. Tapi menurut gue agak aneh.


3. Candu Aksara - Dewi Putri Kirana
Baru pertama kali baca buku pake sudut pandang orang kedua. Lucu banget. Salah satu cerpen terbaik menurut gue dan memang jadi juara satu lomba Fantasy Fiesta 2010. Orang kok makan buku? Hahahaha...


4. Boxinite - R. Mailindra
Wah, fantasi futuristik banget. Bukan tipe gue sih, dengan segala adegan boxing-nya. Cuma gue kagum aja bisa ngejelasin perselisihan antara manusia dan alien. Imajinasinya mantap.


5. Aku Hidup Seribu Tahun - L. M. R. Pradana
Yah, awalnya menarik sekali. Bikin gue penasaran membaca lebih lanjut. Hanya saja gue nggak begitu suka dengan akhirnya. Ceweknya mati dan sudah. Begitu doang. Tanpa penjelasan sebenernya dulunya si cewek itu hubungannya apa sama si tokoh utama. Atau gue emang lemot nangkepnya. Eaaa...


6. Api - Klaudiani
Suka, nih. Gue emang paling demen sama kekuatan-kekuatan model di film Heroes begitu. Apalagi ada agen-agen rahasianya. Top markotop lah.


7. Apollyon - Fachrul R. U. N.
The best from all twenty stories. Astaga, merinding banget bacanya. Aftertaste-nya mantap gila. Tipe model cerita Stephen King yang bikin merinding banget. Salut sama penulisnya.


8. Kota Para Penjarah - Luz Balthasaar
Pesan moralnya mengena sekali. Jangan membunuh binatang karena merusak alam. Di sini digambarkan kalau binatang tersebut bisa marah dan melawan. Walaupun si binatang tersebut juga bisa berubah wujud jadi manusia. Keren banget. Gue suka tokoh utamanya. Harimau salju, eh? Cewek pula. Keren!!!


9. Sang Pelukis - Fredrik Nael
Yah, jenis cerita yang deskripsi fantasinya sangat dalam tapi gue nggak dapet apa-apa di dalamnya. Nggak suka gue.


10. Anak Lelaki dan Si Pengubah Wujud - Magdalena M. Amanda
Bagus, sih. Sederhana. Tentang suatu suku di hutan mencari obat untuk menyembuhkan penyakit. Sangat zaman dulu banget. Menghibur.


11. Kerinduan Buku - Elbintang
Inilah salah satu cerpen yang bikin gue mikir bolak-balik. Ini maksudnya apa sih? Eh, nggak taunya... Baru tau di akhir cerita. Mengingatkan gue akan film seperti Deja vu. Kudu banyak mikir.


12. Dewa Laut Istana Camar - 145
Wih, kucingnya lucu banget. Tentang agen juga tapi nggak pake kekuatan-kekuatan mistis. Bagus banget! Emang dasar gue senengnya yang ada action-nya.


13. Moka Si Mobil Jelaga - Yuniar K.
Cerpen BOBO!!! Mobilnya bisa ngomong. Sangat anah-anak sekali. Mengingatkan gue akan zaman gue dulu masih kecil. Jadi, merasa tua deh.


14. Drama Terhebat Yang Pernah Ada - Tyas Palar
Kocak, cuy! Dewa-dewanya lucu. Terus bagusnya adalah drama yang dipentaskan dewa ditonton manusia lewat mimpi-mimpi mereka. Idenya boleh juga.


15. Rhytma - Bonmedo Tambunan
Sangat fantasi. Bahwa gerakan musik dan tarian bisa membunuh. Cukup menendang sekali idenya. Walau jahat sekali si cewek bunuh saudara cowoknya demi kekuasaan.

16. Labirin - Aphrodite
Ini seperti film Inception. Tapi bukan tentang mimpi, tentunya. Labirin itu menceritakan kalau di dalam cerita ada cerita lagi. Sang Pencipta atau mungkin maksudnya pengarang bisa mengubah segalanya dalam sekali jentik.


17. Nama Terlarang Di Angkasa - Calvin M. Sidjaja
Hmm... teori psikologi yang bagus. Sedikit tercampur mitologi dan sejarah. Kreatif! Cuma yah, kejam juga karena tokoh utama dicuri namanya dan jadi gila. Mencuri nama! Ada-ada aja.


18. Speak of The Devil : Perangkap - F. A. Purawan
Biasalah. Manusia vs Makhluk lain. Digambarkan kalau manusia itu sebagai pihak yang jahat. Bagus sih action-nya. Cuma tidak berkesan saja buat gue.

19. Hari Terakhir - Erwin Adriansyah
Boleh lah. Pertarungan antara dua kubu. Tapi biasanya tokoh utamanya menang, kalau yang ini tokoh utamanya yang jadi pihak kalah. Mengejutkan sekali (lebhay!!!).


20. Matahari Sylvania - R. D. Villam
Cerpen ini bisa jadi cerita panjang sih. Cuma penulis berhasil menceritakannya hanya dalam beberapa halaman saja. Keren sih menurut gue. Gue emang suka cerita tentang kerajaan dan perang, soalnya.


Yah, sekian. Kesimpulannya gue kagum banget sama penulis-penulisnya yang bisa nulis cerita yang sangat membukakan mata dan membuat gue menyerah. Masalahnya, cerpen gue nggak ada apa-apanya sama ini. OMG!


Lima bintang! Still need to ask?

Dreamer almost finished one project... *happy


:)

Thursday, 7 July 2011

Hadiah Dewa Alvest Untuk Vaughn Cordera

Yah, inilah cerpen yang gue masukkan ke lomba Fantasy Fiesta 2011. Sebenernya ini cerpen ketiga yang gue buat sepanjang hidup gue (lebhay amet sih bahasanya). Gue cuma mencoba ikut lomba ini karena gue pengen tau bisa nggak gue bikin cerpen.

Hehehe...

Sudahlah. Biarkan penulis amatiran ini menunjukkan kebolehannya.

Cerita ini juga bisa dibaca di kastilfantasi.com (baca karya penulis lain yang bagus-bagus deh).

HADIAH DEWA ALVEST 

UNTUK VAUGHN CORDERA

Sabrina Zee

---

Angin bertiup kencang mengacak-acak rambut cokelat kemerah-merahan milik Vaughn Cordera. Udara bulan Desember yang dingin menusuk membuat langkahnya melambat. Sepatu botnya yang berlubang bahkan tidak mampu memberi kehangatan bagi kakinya yang terasa semakin mati rasa seiring setiap detik yang berjalan.

Vaughn marah pada keadaannya. Setiap hari ia harus menempuh perjalanan sepuluh kilometer dari rumahnya ke pusat Kota Irlosse untuk menjual lukisan dan patung buatan ayah dan ibunya. Ia lelah dan bosan dengan rutinitas hidupnya selama enam bulan ini. Sejak ayahnya, Gray Cordera meninggal dirinya sebagai anak laki-laki tertua harus menggantikan ayahnya untuk mencari nafkah.

Vaughn benci dengan situasinya. Ia ingin berkelana dan bukannya terjebak di kota yang menyebalkan ini.

Dengan kasar, ditendangnya kerikil yang menghalangi langkahnya. Kerikil itu terpantul-pantul di permukaan jalan yang bersalju. Vaughn mendongak dan memandang ke kejauhan. Di hadapannya terbentang gunung-gunung yang menjulang tinggi dan diselimuti salju putih. Pohon-pohon di kanan kiri jalan setapak yang dilaluinya hanya bersisa ranting yang gundul. Pemandangan itu begitu menyedihkan di matanya dan membuatnya mendambakan udara panas.

Rumah keluarga Cordera terletak di kaki Pegunungan Zegna yang mengelilingi kota Irlosse dan desa-desa sekitarnya. Di sore hari seperti sekarang, rumah dari batu bata itu mengepulkan asap lewat cerobongnya, tanda perapian yang dinyalakan untuk menghangatkan penghuninya.

Vaughn melangkah masuk ke pekarangan rumahnya lewat pintu pagar bambu setinggi pinggangnya. Suara-suara terdengar ribut dari dalam rumah. Itu pasti suara adik laki-lakinya, Josan yang baru berumur dua tahun. Josan baru bisa bicara sehingga adiknya itu begitu cerewet dan penuh keingintahuan.

Vaughn membuka pintu kayu rumahnya dan masuk ke dalam. Kehangatan rumah itu menyambutnya bagaikan surga, terutama bagi sekujur tubuhnya yang kedinginan.

“Ma, Feyza, Alexie, aku pulang,” sahutnya sambil melepaskan jubah bulu berang-berangnya.

“Vaughn! Senang sekali kau sudah pulang,” balas ibunya, “udara di luar begitu dingin. Kau pasti kelelahan dan lapar.”

Vaughn menemukan ibunya di ruang makan sedang menata meja makan. Ibunya, Isabelle Cordera adalah wanita kecil montok dengan gerakan yang lincah. Rambutnya hitam legam dan tampak kusut tak terurus. Matanya hijau seperti miliknya dan penuh dengan kelembutan.

“Masak apa hari ini, Ma?” tanyanya.

“Sama seperti kemarin. Blueberry pie dan sup jagung.” Isabelle menepuk tangannya dengan tatapan optimis. “Semoga saja hari ini Alexie berhasil mendapatkan rusa. Sudah lama kita tidak makan daging.”

Vaughn hanya melengos tanpa berkomentar. Itulah sebabnya ia membenci situasi hidupnya yang miskin. Bahkan untuk makan daging saja, mereka tak mampu membelinya. Mereka semua hanya bisa bergantung pada Alexie yang gemar berburu untuk mendapatkan daging.

Saat itu, adiknya yang lain, Feyza turun dari lantai atas sambil menggendong Josan. Gaun lusuh Feyza melambai dan menyapu lantai dengan bunyi gemerisik anggun.

“Hai, Vaughn! Bagaimana penjualan hari ini?” tanya Feyza perhatian seperti biasanya.

“Sepi, seperti biasa. Hanya ada satu saudagar datang berkunjung dan membeli satu lukisan bunga tulip buatan Mama,” jawabnya sambil menuangkan air panas ke dalam gelas kayu berukir miliknya untuk menyeduh teh.

“Oh,” ucap Feyza singkat sebelum menjauh ke ruang tamu bersama Josan.

Vaughn duduk di bangku kecil si sebelah tangga sambil meniup-niup tehnya yang panas.

Ia mempunyai tiga orang adik. Yang tertua, Feyza berusia lima belas tahun dan lebih muda dua tahun darinya. Parasnya cantik dengan kulit seputih pualam dan mata biru tajam yang cerdas. Rambut ikalnya berwarna cokelat kemerahan yang memang diwariskan dari ayah mereka. Gerakan adiknya itu selalu luwes dan halus bagaikan putri raja. Feyza bertugas mengurus keuangan di keluarga ini karena dialah yang paling pandai berhitung.

Adiknya yang kedua, Alexie masih berumur dua belas tahun. Adiknya itu berambut hitam panjang dan bermata biru. Alexie sangat menyukai kegiatan di luar ruangan. Hobinya berburu hewan dan memetik tumbuhan-tumbuhan liar. Sepanjang hari dihabiskan adiknya itu di hutan Pegunungan Zegna.

Adik bungsunya, Josan berambut pirang dan bermata hitam kelam. Josan paling dekat dengan Feyza yang bertugas merawatnya. Josanlah yang membuat rumah itu terasa hidup dan ramai karena sejak ayah mereka meninggal, suasana di dalam rumah penuh dengan kesedihan dan kesunyian.

“Makan malam sudah siap,” lapor Isabelle yang berjalan masuk ke ruang makan dari dapur. Ia membawa piring besar berisi blueberry pie di tangannya dan menaruh piring itu di tengah-tengah meja makan kayu yang sudah kuno.

“Alexie belum pulang,” kata Feyza.

Bersamaan dengan itu, pintu depan terbuka dan angin dingin bertiup masuk. Alexie muncul dan mengabarkan kepulangannya dengan suara lantang, “Aku pulang!”

“Ah! Kau tepat waktu sekali, Lexie. Mama baru saja selesai masak,” ujar Isabelle.

“Apa yang kaubawa hari ini, Lexie?” tanya Feyza.

Vaughn menajamkan telinganya. Kabar dari Alexie-lah yang paling ingin diketahuinya.

“Aku tidak menemukan rusa di manapun hari ini, tapi aku berhasil memetik beberapa ceri di sisi barat hutan. Aku juga membawa ikan. Tadi aku memancing di Sungai Friara. Untungnya sungai itu tidak beku sepenuhnya.”

“Bagus sekali!” Feyza berseri-seri. “Besok kita akan makan ikan.”

“Ikan, ikan!” tiru Josan.

Sementara itu, Vaughn cemberut sambil menghirup tehnya. Katanya, “Apa enaknya makan ikan? Aku butuh makan daging yang sesungguhnya.”

“Yah, sayang sekali aku tidak bisa menemukan rusa hari ini,” sesal Alexie.

“Apa saja sih yang kaulakukan di luar sana sih? Memburu satu rusa saja tidak bisa.”

“Apa maksudmu?” Alexie tersinggung. “Kaupikir aku tidak becus berburu? Kaupikir aku juga tidak mau makan daging sepertimu? Aku sudah berusaha, tahu!”

Vaughn  bangkit dari duduknya dengan kasar. “Hah!”

“Kau hanya bisa mengeluh dan memprotes. Tugasmu hanyalah menjual lukisan dan patung buatan Mama dan Papa. Kau tidak tahu bagaimana keadaan di hutan sana. Kau tidak tahu seberapa dingin di atas pegunungan. Kalau bukan karena kalian, aku tidak akan bersusah payah mencari hewan buruan.” Alexie yang memang bertemperamen keras saat itu marah besar. Mata birunya menyala-nyala.

Semua mata menatap Vaughn dalam diam. Vaughn merasa disudutkan. Ia kesal sekali. Dibantingnya gelas teh di tangannya ke lantai dengan sekuat tenaga. Gelas kayu itu retak dan pecah menjadi beberapa bagian. “Aku benci kemiskinan ini!” teriaknya sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.

“Vaughn!” panggil ibunya.

“Dasar orang tidak tahu terima kasih!” omel Alexie.

“Alexie, sudahlah,” ujar Feyza lemah.

“Aku tidak peduli pada orang itu lagi! Dia mungkin kakakku, tapi dia tidak pernah mempedulikan keadaan keluarga ini. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri.”

“Itu tidak benar,” sanggah Feyza.

Josan mulai menangis karena bisa merasakan ketegangan di antara keluarganya. Feyza langsung menepuk-nepuk punggungnya supaya tenang.

“Sudahlah. Sebaiknya kita makan sekarang,” kata Isabelle berusaha meredakan perselisihan. “Vaughn akan turun kalau dia lapar.”

Ketiga anaknya langsung menurut.
¯¯¯

Vaughn kelaparan. Ia mengurung diri di kamar semalaman sebagai aksi ngambeknya. Karena itulah, sekarang ia terbangun di tengah malam dengan lambung perih.

Saat itu, suasana rumah begitu sepi karena seluruh anggota keluarganya sudah tertidur pulas. Lewat jendela kamarnya, Vaughn bisa melihat kalau malam itu sangat gelap tanpa keberadaan bulan dan bintang.

Vaughn memutuskan untuk turun ke bawah mencari makanan. Ia melangkah sehati-hati mungkin di kaki-kaki tangga yag berderit keras akibat kayu-kayunya yang sudah reyot.

Suasana di lantai bawah remang-remang oleh nyala api perapian. Cahaya api di perapian itu suram dan hampir padam. Vaughn menambahkan kayu ke dalam perapian sebelum menuju dapur yang bersambung dengan ruang makan.

Vaughn mengambil gelas baru karena gelas kayu miliknya yang biasa sudah dipecahkannya tadi. Ia mengambil teko air dari atas meja di samping kulkas dan menuangkan air ke dalam gelas. Sambil meminum air dari gelasnya, ia memandang lukisan pria tua berjenggot cokelat tebal yang digantung tepat di atas meja itu.

Dewa Alvest.

Hampir seluruh rumah orang di kota Irlosse memajang foto atau lukisan dewa itu di ruang makan atau ruang keluarga. Alvest dipercaya sebagai dewa pelindung dan kesejahteraan keluarga.

Lukisan Alvest di rumahnya itu dibuat oleh ayahnya sendiri. Di lukisan itu, Sang dewa mengenakan jubah zirah emas dipadukan dengan pakaian bangsawan para dewa berwarna putih. Di atas kedua tangannya, ia membawa kain merah yang dibiarkan terbentang di kedua sisi tubuhnya.

Vaughn mendesah puas setelah menghabiskan isi gelasya. Ia menaruh gelasnya dan memutuskan untuk mencari makanan.

Tapi langkahnya terhenti.

Sebentar, sebentar. Barusan ia melihat mata si Dewa Alvest berkedip. Ia pun menoleh ke arah lukisan itu lagi.

Tak ada kedipan.

Tentu saja. Sejak kapan lukisan bisa mengedipkan matanya? Ia pasti sudah salah lihat. Mungkin ia terlalu lapar hingga membayangkan yang bukan-bukan.

“Kau punya makanan, Nak? Saya lapar,” seseorang berkata.

Vaughn terlonjak kaget di tempatnya dan menoleh ke asal suara. Begitu melihat sosok yang sedang duduk di atas meja makan, matanya langsung membelalak. Ia melangkah mundur tanpa sadar dan punggungnya menabrak pintu kulkas.

Sosok di meja makan itu hanya menatapnya santai seakan tidak terjadi apa-apa.

Tidak terjadi apa-apa?!

“Kau… kau…,” Vaughn tergagap.

“Ah… saya pasti sangatlah tidak sopan.” Sosok itu turun dari atas meja dan membungkuk sebentar. Sosoknya yang tinggi besar tampak sangat mendominasi ruangan. Katanya, “Perkenalkan, nama saya Alvest Rivedarine Kalteroz Luminon.”

Vaughn tercengang. Ia tidak bisa bicara. Ia hanya menoleh bolak-balik antara lukisan dan bentuk asli si Dewa Alvest yang berdiri di hadapannya. Ia mengucek-ngucek matanya tidak percaya. Tapi sosok itu tidak menghilang dan tetap berdiri di sana dengan baju zirah yang sama dengan yang dilukis ayahnya.

“Ini pasti mimpi,” Vaughn mencicit.

Alvest hanya mengangkat salah satu alisnya.

Vaughn menampar wajahnya sendiri. “Aw! Sakit.”

“Tentu saja sakit. Kau memukul dirimu sendiri.”

“Tapi… tapi… itu berarti kau bukan mimpi.”

“Mimpi?” ulang Alvest bingung. “Ini bukan mimpi.”

“Tapi… tapi .. kau hanya ada di gambar dan cerita rakyat.”

“Kau ini bicara apa sih?”

Vaughn menegakkan tubuh dan menunjuk lukisan buatan ayahnya. “Lihat! Kau seharusnya tidak nyata.”

Mata Alvest mengikuti arah yang ditunjuk Vaughn. Ia tampak terkejut. Ia langsung menghampiri lukisan itu dan memelototi gambaran dirinya itu. Ia menggerakkan kain merah di salah satu tangannya tanpa sadar sementara tangan lainnya mengelus-elus jenggotnya.

“Ah… ini menarik sekali.” Alvest menoleh ke arah Vaughn. “Saya tampak tampan sekali di lukisan itu, bukan?”

“Hah?” Vaughn berdeham. “Yah… eh…”

Alvest tidak mempedulikan reaksi Vaughn dan kembali mengagumi lukisan dirinya sendiri.

Vaughn kebingungan. Ada apa ini? Ia yakin sekali dirinya sedang bermimpi karena tidak mungkin seorang dewa datang ke rumahnya. Kali ini ia mencubit pipinya. Dan ternyata masih sakit.

“Jadi, mana makanannya? Saya sudah sangat lapar.”

“Oh, itu…” Vaughn berdeham-deham tidak jelas. Akhirnya ia membuka kulkas dan mengeluarkan sup jagung dan blueberry pie yang masih tersisa. Gerakannya tidak yakin karena masih tidak percaya pada penglihatannya sendiri.

Vaughn memanaskan semua makanan di atas kompor sambil sesekali melirik ke arah Alvest yang asyik mengoprek barang-barang di sekitar situ dengan keceriaan anak kecil bodoh.

“Ini makanannya,” sahut Vaughn beberapa saat kemudian seraya menyajikan semua makanan di atas meja makan.

“Ah… blueberry pie. Kelihatannya enak.”

Alvest makan dengan lahap seperti orang kelaparan. Sementara itu, Vaughn hanya berdiri menyaksikan tanpa bersuara. Rasa laparya terlupakan begitu saja saking bingungnya.

Seorang dewa makan di rumahnya. Kejadian apa lagi yang lebih aneh daripada ini?

“Kau tidak mau makan?” tanya Alvest.

Vaughn sedikit terlonjak saat ditanya begitu. “Oh… saya tidak lapar,” jawabnya sambil tersenyum gugup.

“Ya, sudah,” ucap Alvest seraya melanjutkan aksi makannya.

Alvest menghabiskan seluruh makanan sampai ludes tak bersisa sedikitpun. Itu membuat Vaughn bertanya-tanya perut seperti apa yang bisa menampung makanan sebanyak itu.

Perut seorang dewa, tentunya.

Alvest mendesah puas sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. “Saya kenyang sekarang.” Lalu matanya menatap Vaughn tajam dan fokus. “Oke. Karena kau sudah menyediakan makanan, saya akan memberimu hadiah.”

“Hadiah?” ulang Vaughn serak.

“Betul. Menarik sekali, bukan?” Alvest menautkan kesepuluh jarinya di atas meja seraya memajukan posisi duduknya. “Begini.” Ia merogoh kantong di baju bangsawannya dan mengeluarkan tiga buah kotak hitam dengan ukuran berbeda-beda. Entah bagaimana ketiga kotak itu bisa muat dalam kantong mungil di bajunya itu.

“Apa itu?” tanya Vaughn spontan.

“Kado. Masak kau tidak tahu?”

“Oh.” Vaughn mengangguk-angguk.

“Tiga kado yang bisa kaupilih,” jelas Alvest. “Dari ukurannya, kau pasti tahu kalau kotak terbesar berisi hadiah paling bagus. Tapi…” Ia berhenti sebentar untuk menekankan betapa penting kata-katanya itu. Lanjutnya, “Bagus itu relatif. Yah… menurutku kado terbesar adalah yang paling bagus.”

Mata Vaughn berbinar. “Apakah aku boleh tahu apa isinya?” Ia akan diberi hadiah. Semoga saja hadiah itu adalah uang dalam jumlah yang sangat besar.

“Hmm…” Alvest mengelus-elus jenggotnya. “Aku bisa memberitahumu tiga hadiah itu. Tapi aku tidak akan memberitahu hadia mana berada di kotak yang mana.” Ia berdeham. “Tiga hadiah itu adalah kekayaan, kebijaksanaan, dan kesejahteraan.”

Vaughn berkedip. Hadiah apa pula itu?

“Oh. Oke. Aku hanya perlu memilih kan?” tanya Vaughn meminta kepastian. Ia sudah yakin akan pilihannya. Ia ingin kekayaan. “Aku pasti dapat hadiahnya kan?”

Alvest mengangguk. “Kau sudah memilih?”

“Sudah. Aku butuh kekayaan,” jawab Vaughn tanpa ragu.
Alvest mengerutkan keningnya. “Kekayaan? Untuk apa? Bukankah hidupmu sudah berkecukupan? Cukup makan, cukup tidur, cukup bahagia?”

“Tidak. Keluarga saya miskin dan melarat.”

“Oh.” Alvest menyandarkan punggungnya di kursi. Wajahnya tanpa ekspresi. “Jadi, kotak mana yang kauinginkan?”

Sesaat mata Vaughn berpindah dari satu kotak ke kota lain. Lalu ia berkata, “Kotak terbesar berisi hadiah paling bagus kan? Kalau begitu, aku pilih kotak terbesar.”

“Kau yakin?”

“Yakin.”

“Baiklah.” Alvest mendorong kotak terbesar ke ujung meja dekat Vaughn. “Buka saja.”

Vaughn ragu-ragu pada awalnya. Masalahnya, ia akan mendapatkan kekayaan yang selama ini diimpikannya. Senyum mengembang lebar di wajahnya. Dan ia pun membuka kota itu.
¯¯¯

Cahaya membutakan kedua matanya. Suara bising berputar di sekitarnya dan membuatnya pusing dan ingin muntah. Ia menutup mata dan bisa merasakan pijakan kakinya masih mantap di bawahnya.

Saat suara-suara bising itu menghilang, Vaughn perlahan membuka kedua matanya.

Ia berkedip. Satu kali, dua kali, tiga kali.

Pemandangan di depannya tidak berubah dan tampak begitu normal. Ia berdiri tepat di depan pintu kayu rumahnya. Dari dalam rumahnya terdengar suara-suara ribut yang berasal dari Josan.

Vaughn sama sekali tidak mengerti.

Ia membuka pintu itu dan masuk ke dalam.

Suasana di rumah itu menyambutnya dengan kehangatan yang mengingatkannya akan tubuhnya yang tiba-tiba kedinginan.

“Vaughn! Senang sekali kau sudah pulang,” sapa ibunya, “udara di luar begitu dingin. Kau pasti kelelahan dan lapar.”

Vaughn terkejut mendengar sapaan itu. Ia menemukan ibunya di ruang makan sedang menata meja makan.

Dan Vaughn merasakan déja vu. Ia yakin sekali ia baru mengalami peristiwa ini beberapa jam yang lalu.

“Masak apa hari ini, Ma?” tanyanya mencoba memastikan dugaannya.

“Sama seperti kemarin. Blueberry pie dan sup jagung.” Isabelle menepuk tangannya dengan tatapan optimis. “Semoga saja hari ini Alexie berhasil mendapatkan rusa. Sudah lama kita tidak makan daging.”

Astaga! Apa maksud semua ini? Kenapa Alvest memundurkan waktu hidupnya?

Vaughn berjalan menghampiri meja tempat menaruh teko air. Gelas kayu miliknya ada di sana, utuh dan sama sekali tidak pecah. Ia mengangkat gelas itu dan mengelus permukaannya yang kasar tanpa sadar.

Lalu ia mendongak dan menatap lukisan Dewa Alvest buatan ayahnya. Dewa itu diam dan sekaku patung seperti yang seharusnya terjadi.

Tapi, Alvest mendatanginya beberapa saat yang lalu untuk meminta makanan dan memberinya hadiah.

“Dewa Alvest.” Suara ibunya terdengar dari belakangnya.

Vaughn menoleh dan melihat ibunya sedang memandangi lukisan buatan suaminya itu.

Isabellele tersenyum dan menatap Vaughn hangat. “Ayahmu melukisnya sendiri karena penting bagi sebuah rumah untuk memiliki Dewa Alvest sebagi pelindung.”

“Pelindung?” ulang Vaughn tidak mengerti.

“Ya. Apa kau pernah mendengar cerita rakyat mengenai Dewa Alvest?”

Vaughn menggeleng.

“Yah… Dewa Alvest mendatangi orang-orang yang tidak menyayangi keluarganya. Ia akan menawarkan tiga buah hadiah ; kekayaan, kebijaksanaan, dan kesejahteraan. Hadiah tersebut dibungkus dalam kotak hitam dengan berbagai ukuran. Kotak terkecil berisi kekayaan karena bagi Dewa Alvest uang sama sekali tidak berarti. Kotak kedua berisi kebijaksanaan karena itu sangat penting bagi para pemimpin yang memerintah sebuah negara. Kado terbesar dan terbagus adalah kesejahteraan keluarga,” cerita Isabelle. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Itu sebabnya Alvest dianggap sebagai dewa pelindung keluarga. Ia menuntun orang-orang yang tersesat kembali pada keluarga mereka masing-masing. Karena hanya di dalam keluargalah seseorang bisa menemukan dukungan, kedamaian, dan ketulusan terbesar.”

Seiring Isabelle bercerita, Vaughn semakin tercengang. Sungguh. Dewa Alvest benar-benar mempermainkan dirinya.

Isabelle menepuk pundak Vaughn tanpa menyadari keterjejutan di wajah putra tertuanya. Ia malah berjalan menjauh ke dapur untuk kembali melanjutkan tugasnya menyediakan makan malam.

Sementara itu, Vaughn terus membeku di tempatnya tanpa bisa bergerak. Perlahan tapi pasti, pemahaman mulai masuk ke pikirannya.

Dewa Alvest datang kepadanya karena dirinya termasuk dalam kategori orang-orang yang tersesat. Ia butuh dituntun kembali ke asalnya dan diberi kesempatan kedua.

Vaughn menoleh ke arah lukisan Dewa Alvest buatan ayahnya sekali lagi.

Dan Dewa Alvest memilih saat itu untuk mengedipkan mata ke arahnya. Tapi kali ini, Vaughn yakin ia tidak salah lihat.
____

Saat gue nulis cerita ini, gue nggak tau mau nulis tentang apa. Gue terinspirasi oleh sebuah kata "déja vu" dan sebuah kota bermusim dingin seperti di cerita Narnia karangan C. S. Lewis. Lalu karena gue bingung, gue tulis aja apapun yang ada di otak gue. Dan jadilah cerita ini. Gue nulisnya pas kuliah. Gue bosen dengerin dosen ngomong, jadi gue memilih untuk menulis. 

Gue dari dulu bukan penggemar fantasi. Jadi untuk soal imajinasi dunia fantasi gue agak payah. Makanya sewaktu gue baca cerita ini lagi, gue merasa ada yang kurang tapi gue sendiri nggak tau apa. Gue juga lebih sering nulis novel dibandingkan cerpen. Sejauh ini gue cuma pernah nulis tiga cerpen yang asal-asalan. 

Hahaha...

Yah, sudahlah. Seenggaknya gue berhasil menulis sesuatu (menangis terharu). Gue berharap bisa jadi penulis terkenal sekalipun gue terlalu males untuk menyelesaikan satu novel. 

Ayolah (dipecut pake cambuk kuda). Pemalesan!!! Kerja, kerja!!! Nulis cerita, dong!!!

Dreamer is counting days to the next exams... Tick tock tick tock...


:)